Medina panik ketika tiba-tiba dia dipanggil oleh pengurus pondok agar segera ke ndalem sang kyai karena keluarganya datang ke pesantren. Dia yang pernah mengatakan pada sang mama jika di pesantren sudah menemukan calon suami seperti kriteria yang ditentukan oleh papanya, kalang kabut sendiri karena kebohongan yang telanjur Medina buat.
Akankah Medina berkata jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada orang tua, jika dia belum menemukan orang yang tepat?
Ataukah, Medina akan melakukan berbagai cara untuk melanjutkan kebohongan dengan memanfaatkan seorang pemuda yang diam-diam telah mencuri perhatiannya?
🌹🌹🌹
Ikuti terus kisah Medina, yah ...
Terima kasih buat kalian yang masih setia menantikan karyaku.
Jangan lupa subscribe dan tinggalkan jejak dengan memberi like dan komen terbaik 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Belas
Viko nampak sangat kesal lalu menendang motornya, begitu pemuda itu turun. Dia tidak dapat menerima begitu saja karena kalah dari Hamam yang hanya seorang pemuda kampung. Juga, karena di mata Viko Hamam hanyalah seorang santri yang sehari-harinya hanya mengenakan sarung.
Berbeda dengan Medina. Meski dia belum dapat mempercayai jika Hamam, lah, yang keluar sebagai pemenang, tetapi dalam hati Medina mengagumi penampilan pemuda itu malam ini. Diam-diam, Medina terus memperhatikan Hamam yang tengah sibuk melepaskan jaketnya. Tanpa sadar, senyuman manis pun terbit di sudut bibirnya.
Sebenarnya, Medina juga merasa sudah memiliki ketertarikan dengan Hamam bahkan sebelum mereka berdua dipertemukan karena kesalahan hari itu. Terbukti, gadis itu tahu banyak tentang kebiasaan Hamam yang sering berada di masjid, dan tidur di kamar pengurus putra.
Hanya saja, Medina terus mengelak karena malu untuk mengakuinya. Dia menilai jika ini terlalu dini.
Selain itu, Medina juga ingin mengetes kesungguhan, serta sejauh mana Hamam berusaha untuk mendapatkan dirinya. Jadi, bukan semata-mata karena orang tua, Hamam mau menikahinya.
"Bagaimana, Dik. Kamu udah bisa menerima kemenangan Kak Hamam, 'kan?" tanya Aksa yang berhasil menyeret Medina dari lamunan.
"Eh, iya, Bang. Dina akui, Kang Hamam memang jago," balasnya tanpa berani menatap Hamam karena khawatir binar indah di matanya akan disadari oleh putra bungsu sang kyai.
"Lu juga mengakuinya 'kan, Vik?"
"Iya, Bang," balas Viko yang masih terlihat kesal karena kekalahannya kali ini.
Ini adalah aib bagi Viko. Sebab, sudah beberapa tahun ini, juara bertahan di sirkuit itu dipegang olehnya. Namun malam ini, gelar juara itu harus terlepas, dan berpindah pada pemuda yang sebelumnya sama sekali tidak dia perhitungkan.
"Aku berhasil mencapai finish duluan, bukan karena aku lebih jago dari Viko sebenarnya. Tapi, hanya faktor keberuntungan saja karena kebetulan rivalku--Viko, dia sedang lengah," kata Hamam sembari mendekat lalu menyematkan tangannya di pundak Viko.
"Maksudnya?" tanya Viko seraya menoleh ke arah Hamam.
"Ya, kamu lengah karena sebelumnya kamu meremehkan aku, bukan?"
Viko pun mengangguk, membenarkan.
"Nah, andai saja sedari awal kamu tidak meremehkan aku, kamu tentu akan menyiapkan diri semaksimal mungkin agar bisa menang. Sama seperti ketika kamu menghadapi lawan yang seimbang atau lebih jago dari kamu. Benar, tidak?"
Viko kembali mengangguk.
"Itu yang aku lakukan sejak tadi siang, setelah mendengar tantangan dari Dik Dina. Lama tidak pernah lagi pegang motor sport--tepatnya sejak lulus sekolah lima tahun silam, mengharuskanku untuk berlatih."
"Kang Hamam berlatih? Kapan?" tanya Medina.
"Iya, Dik. Tadi sore, adu balap sama abangmu di kompleks. Kalau tidak latihan dulu, aku takut keder karena udah lama enggak bawa motor. Lagipula, jika kita maju dengan persiapan, InsyaAllah kita akan turun dengan penghormatan. Benar begitu, bukan?"
Viko, Medina, dan Aksa mengangguk-angguk, membenarkan penjelasan Hamam.
"Jadi intinya, tetap lakukan persiapan, dan jangan pernah anggap remeh lawan. Begitu 'kan, Kak?"
"Benar, Aksa. Karena, terkadang orang yang kita anggap remeh, ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Pun sebaliknya, bisa jadi orang yang kita anggap luar biasa, ternyata biasa saja."
Hamam lalu menepuk-nepuk pelan pundak Viko. "Kamu sudah hebat, Viko. Tapi, jangan puas hanya sampai di sini saja. Terus asah bakatmu dan bergabunglah bersama tim profesional, bukan balapan liar seperti ini."
Viko kembali mengangguk. Pemuda itu membenarkan semua perkataan Hamam. Dan Viko pun menjadi malu sendiri karena sempat meremehkan Hamam sebelumnya.
Sambil menunggu kedua teman Aksa yang akan mengambil motor, Aksa lalu terlibat perbincangan seru dengan Viko. Sementara Hamam dan Medina yang masih berdiri di samping motor masing-masing, sama-sama terdiam. Hanya sesekali, Medina nampak mencuri-curi pandang pada Hamam. Dan seperti biasa--bukannya tidak tahu, tetapi pemuda itu pura-pura tidak mengetahuinya agar Medina tidak merasa malu.
"Untuk besok, jadinya bagaimana, Dik? Mau tunangan dulu atau kita langsung nikah?"
Pertanyaan Hamam yang mengurai keheningan, membuat Medina gelagapan karena tak menyangka jika pemuda itu akan langsung menembaknya.
bersambung ...
ya salam
sesuai janjiku, di akhir bulan ini aku umumkan siapakah penghuni ranking pertama yang kasih dukungan pada kisah Medina-Hamam. Dan ... pendukung teratas adalah Kak Greenindya 🥰
Untuk pemenang, silakan chat aku, ya, untuk kirim alamat lengkap. Insyaallah novelnya aku kirim pertengahan bulan Juni, karena masih dalam proses cetak 🙏
Buat kalian yang pengin meluk aku, eh.. meluk novelku, bisa hub aku, yah, via chat di sini atau yg sudah save nmr wa ku bisa langsung japri.
mksh banyak untuk kalian semua. lope sekebon 😘😘