Cewek Tengil Itu Istriku

Sebelum pergi kekantor, Saga mengantarkan Anna pulang kerumahnya. Gadis itu hendak mengemas pakaian dan lain lain karena nanti malam mereka akan terbang ke Thailand.

Sebenarnya Saga maupun Anna, keduanya tak ada niat untuk honeymoon, tapi Elgar yang memaksa dengan menghadiahi mereka tiket ke Thailand. Mengetahui besannya telah mempersiapkan apartemen beserta isinya sebagai hadiah pernikahan Saga dan Anna, Elgar tak mau ketinggalan. Tapi kerena Saga sangat sibuk dengan pekerjaannya, dia memutuskan untuk mencari tempat honeymoon yang dekat saja.

Selain mengemasi pakaian, Anna juga pulang untuk meminta kembali ponselnya yang telah lama disita. Dia sudah sangat gatal ingin menyentuh benda itu.

Anna tersenyum senang saat benda pipih kesayangannya kembali kegenggaman. Setelah ini, dia tak akan kesulitan lagi untuk menghubungi Evan. Bahkan rencananya, setelah menyiapkan barang barang, dia akan menemui pria itu.

"Mobil juga Pah." Anna menengadahkan tangan, meminta kunci mobilnya dikembalikan.

Karena Anna sudah bersedia dinikahkan, tak ada alasan untuk Jeremi menahan mobil itu. Dia membuka laci meja kerjanya lalu menyerahkan kunci mobil Anna.

"Atm, kartu kredit?" Ternyata tak sampai disitu, Anna meminta semua fasilitas yang dulu disita.

Jeremi menghela nafas, kembali lagi membuka laci dan mengambil dua benda tersebut.

"Jatah bulanan jangan lupa ditrasfer tepat waktu." Ujar Anna sambil menatap dua kartu yang dulu selalu bisa membuatnya bahagia.

"Kamu udah nikah, kenapa masih minta uang jajan sama papa?"

Anna berdecak pelan lalu berjalan mendekati papanya yang duduk dikursi kerjanya. "Uang bulanan dari Kak Saga kurang." Adu Anna sambil mengerucutkan bibir. Semalam sepulang dari mall, mereka memang membahan soal uang bulanan.

"Emang Saga ngasih kamu berapa?"

"Kak Saga itu bukan bos. Dia hanya bisa ngasih 15 juta sebulan. Bayangin Pah, uang segitu buat sebulan, mana cukup. Buat makan, buat shopping..."

Anna terus mengoceh panjang lebar yang intinya hanya satu, uang itu tidak cukup, membuat Jeremi mengelus dada mendengarnya. Dia dan Luisa memang salah dalam mendidik Anna. Terlalu memanjakannya hingga kebablasan.

"Berhenti mengeluh." Potong Jeremi yang jengah dengan ocehan Anna. "Diluar sana banyak istri yang mungkin hanya dapat jatah 2 juta perbulan, bisa bisanya 15 juta kamu bilang kurang? Bukan nominalnya yang kurang, tapi kamunya yang kurang bersyukur."

Anna hanya nyengir mendengar omongan papanya. Bukannya tak mau bersyukur, tapi dia memang sudah terbiasa hidup glamor, jadi uang yang terasa banyak untuk sebagian orang, hanya terasa sedikit baginya.

"Ya udah, nanti urusan tagihan kartu kredit, biar papa saja yang bayar. Tapi ingat, jangan terlalu boros, dan jangan bilang Saga, papa takut dia tersinggung."

Anna langsung mengangguk cepat. Baginya, yang terpenting adalah bisa hidup tanpa mikir saat hendak membeli sesuatu.

Setelah beres mempacking baju, Anna pamit untuk pulang. Tapi bukannya pulang, dia malah berniat untuk menemui Evan.

"Evan udah pulang An. Hari ini kami ada 1 kelas saja." Ujar Willy, teman Evan yang dihubungi via telepon oleh Anna. Anna ingin memberi surprise dengan langsung datang ke kampus Evan, tapi sebelum itu, dia ingin memastikan apakah Evan ada dikampus atau tidak.

"Mending langsung kamu samperin di apartemennya saja."

"Apartemen? Sejak kapan Evan punya apartemen?"

"Waduh, kalau urusan itu, aku tidak tahu. Tapi yang pasti, Evan tinggal diapartemen sekarang, udah gak tinggal dirumah ortunya lagi."

Anna meminta alamat apartemen Evan dan langsung menuju kesana.

Mungkinlah Evan sudah kerja, makanya dia bisa beli apartemen?

Heran juga Anna mengetahui Evan punya apartemen. Setahu dia, Evan berasal dari keluarga menengah kebawah. Ayahnya memang bekerja di sebuah perusahaan bumn, tapi adiknya banyak, dan ibunya tak bekerja, membuat hidup mereka hanya pas pasan.

Anna melajukan mobilnya menuju alamat yang diberi Willi. Sesampainya disana, gegas dia menuju unit tempat Evan tinggal. Rasanya masih belum percaya Evan bisa tinggal diapartemen ini. Meski bukan apartemen mewah, tapi lumayan juga.

Setelah memastikan nomor unitnya benar, Anna menekan bel. Sekali, dua kali, tak ada yang keluar, tapi dia belum menyerah, masih terus menekan bel hingga terdengar suara pintu dibuka.

"Sayang." Anna langsung memeluk Evan yang baru saja membuka pintu. Meluapkan rasa rindu setelah hampir sebulan tak bertemu.

Evan, pria itu tampak tengang. Sampai sampai dia lupa membalas pelukan Anna.

"Aku kangen banget sama kamu." Anna makin mengeratkan pelukannya, berharap Evan membalas dengan melingkarkan lengan dipinggang atau membelai rambutnya. Tapi harapan itu tak sesuai kenyataan, karena Evan hanya berdiri kaku, tanpa melakukan apapun. Hingga akhirnya Anna melepaskan pelukannya dan menatap pria itu.

"Sayang, kamu kenapa? Kok kayak gak suka gitu lihat aku datang?" Anna memperhatikan wajah Evan yang terlihat tegang.