" Tapi sekarang kamu jauh dari abang. Siapa yang melindungimu kalo dia kembali merundung? " Arya menghela napas berat. Hatinya diliputi kebimbangan.
" Kalo dia berani main tangan pasti Diza balas, bang! " desis Diza sambil memperhatikan ke satu titik.
" Apa yang dia katakan padamu? " Arya menyugar rambut. Begitu khawatir pada keselamatan adiknya di sana. Diza menghela napas panjang.
" Mengatakan Diza ngga punya orang tua! Dan hidup menumpang pada kakeknya! " ujarnya datar.
" Kamu baik-baik saja? " Arya semakin cemas.
" Itu fakta 'kan, bang? Jadi Diza tak bisa marah! " pungkasnya yang membuat Arya terdiam.
Perjuangan seorang kakak lelaki yang begitu melindungi sang adik dari kejamnya dunia. Bersama berusaha merubah garis hidup tanpa menerabas prinsip kehidupan yang mereka genggam.
Walau luka dan lelah menghalangi jiwa-jiwa bersemangat itu untuk tetap bertahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isha iyarz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Pagi ini Diza dan Zeta terlambat. Tatiana yang kebetulan mata kuliahnya sama berangkat lebih pagi bersama Mentari. " Lewat mana, Diz? Aduh, maaf, ya gara-gara aku kita jadi telat! " Zeta yang sedang menyalakan motor menunggu Diza memasang helm.
" Ngga papalah sekali-sekali terlambat " Diza terkekeh. Dia segera duduk di boncengan motor. Vario biru itu segera melesat meninggalkan halaman.
" Eh, pagar ngga ditutup, Ze! " Diza menoleh.
" Ah, biar ajalah! Yang penting pintu dikunci! " sahut Zeta tetap mengebut.
" Lewat perempatan aja. Udah ngga macet pasti. Kan udah lewat jam kantor dan anak sekolahan ini " Diza menjenguk kearah depan. Melihat lalu lalang kendaraan yang memang tak begitu ramai.
Matanya menoleh saat melewati gedung kosong yang nampak dari tempat mereka. Ternyata Zeta juga memandang kearah sana. Keduanya terdiam saat melihat sebuah pemandangan yang sekilas mereka dapati.
" Kamu liat ngga, Diz? " Zeta melambatkan laju motor.
" Ya! " sahut Diza pelan. Gedung sudah berganti. Mereka tak lagi bisa menoleh.
" Duh, aku jadi penasaran. Mau balik lagi tanggung. " Zeta mengeluh tertahan.
" Ngga usah mengada-ada! Kemarin cuma dipelototi laki-laki kerempeng itu kamu udah gemetar. Maksa pulang segera! " Diza mencebik. Zeta nyengir bak kuda.
" Kan reaksi pertama pasti begitu, Diz! Aku ini anak yang sopan. Dia bilang tempat itu milik mereka. Kan ngga sopan kita tanpa izin naik kesana. Jadi sebetulnya aku bukan takut sama dia, tapi lebih ke perasaan tengsin gitu, deh! " alasan Zeta yang membuat Diza menguap.
Di perempatan, nasib baik lampu hijau masih menyala sehingga mereka bisa langsung melewati jalan utama tanpa berhenti lagi. Diza yang merasa diikuti menoleh. Seorang pria yang mengendarai ninja berwarna hitam dengan helm full face tampak sesekali berada dekat dengan mereka.
Dan sesaat sebelum Zeta berbelok ke kiri motor itu melewati mereka sambil membuka helmnya. Menatap Diza sambil tersenyum misterius. Diza termangu. Dia merasa mengenali tatapan mata itu. Namun karena terlalu cepat dia tak bisa menangkap jelas, selain area wajahnya yang hanya terlihat separuh.
Zeta memarkir motor di area khusus roda dua. Kemudian mereka setengah berlari menuju kelas yang berada di lantai dua. Zeta melambaikan tangan saat tiba di lorongnya.
" Tunggu aku di parkiran nanti, Diz! " serunya sedikit panik. Diza mengacungkan jempol. Lorong tampak kosong, Zeta memejamkan mata sejenak sebelum mengetuk pintu kelas. Dia memang terlambat.
Diza yang juga berlari hampir menabrak beberapa kakak tingkatnya yang bergerombol sambil melangkah entah membicarakan apa di persimpangan lorong.
" Hei, Diza! Kamu telat? " Erin tertawa saat menyadari Diza hampir menubruknya. Diza mengulas senyum sambil mengangguk.
" Kuliah apa? " tanya Erin.
" Kayaknya mata kuliah pak Irun. Tadi aku lihat dia masuk di kelas itu " seorang gadis berkacamata menyela.
" Beliau rada murka emang kalo ada mahasiswa yang masuk belakangan dari dia. Tapi sodorkan aja hapalan rumus permintaan dan penawaran. Biasanya, sih kalo di kelas awal ampuh! " Erin menatapnya yakin.
Diza tertawa. " Benarkah? Makasih, ya, kak! " Diza menatap kelima gadis di depannya penuh rasa terima kasih. Mereka mengangguk. Lalu memberi Diza jalan agar bisa lewat.
" Kita jalannya juga ngga nyadar memenuhi lorong begini " gadis berkacamata itu tertawa pelan. Mereka kembali melangkah bersisian. Teman-temannya mengangguk.
" Kamu kenal dia, Rin? " gadis dengan rok setengah betis menoleh.
" Pernah ngasi tau sebelum mereka front di kantin sama Witri " sahut Erin.
" Iya, aku tau dia! Witri kayaknya musuhan banget. Dan auranya bukan kayak sekedar gara-gara di kantin waktu itu. Arkan kan sering ngecengin cewek tadi diam-diam. Aku beberapa kali pernah liat " gadis berkacamata menyahut.
" Wah, danger, tuh! Kasian siapa tadi namanya? Hidupnya bisa ngga tenang selama Witri masih kuliah di sini ". Dan percakapan itu terus membahas segalanya hingga mereka tiba di lantai bawah.
*****
Zeta duduk menunggu di teras mushala kampus. Dia sedang berhalangan. Diza menyelesaikan ashar segera begitu adzan terdengar. Dia punya rencana sebelum pulang ke rumah. Jadi tak perlu khawatir jika pulang kesorean.
" Mau lewat mana? " Diza yang sedang memasang kait pengaman helmnya heran saat Zeta keluar dari gerbang samping. Mereka memang jarang lewat kesana.
" Tadi di tangga waktu aku baca pesanmu ngga sengaja ngeliat anggota geng Witri menuju parkiran. Mereka bisik-bisik sambil ngeliatin anak-anak yang lewat. Aku yakin mereka nungguin kamu. Makanya aku cepet bawa motornya lewat sini " tutur Zeta sambil menambah kecepatan motor.
" Kamu takut kita bentrok di gerbang depan? " Diza berseru. Angin cukup kencang membuat suaranya nyaris hilang.
" Aku lagi ada proyek! Kalo free, sih, emang mau kuladeni " jawab Zeta balas berseru. Diza tertawa. Mereka mengambil jalan memutar.
Dan Diza tak tau harus bersyukur atau tidak. Ternyata Zeta sepemikiran dengannya. Mereka berhenti di ujung jalan yang tidak begitu jauh dari gedung kosong tiga lantai itu.
" Kamu niat mau kesini? " Diza menurunkan kaca helmnya. Agar tak mudah dikenali.
Zeta tertawa. " Sedari pagi! " gumamnya. " Aku tau kamu pasti mau kesini juga buat mastiin 'kan? Sebelum kamu pergi sendiri baiknya aku temani " Zeta mematikan mesin motor.
" Kita parkir di situ aja, Diz! " Zeta menunjuk rumah yang tampak sepi. Diza mengangguk. Mereka mendorong motor menuju pagar yang terbuka separuh. Membuka helm dan memakai masker yang selalu dibawa di tas masing-masing.
Bersisian mereka mendekati gedung dari arah samping. Karena saat melewati jalan yang baru mereka lalui tadi pintu kecil itu terlihat. Sedikit ke bagian belakang walau tidak mencapai area sana.
Semak tampak tumbuh tinggi. Namun tempat itu dianggap lebih aman karena tandanya tak pernah dilewati. Mereka melangkah dalam senyap dengan Diza sebagai pemimpin.
Gadis yang mengenakan rok plisket itu menempelkan telinga di daun pintu begitu mereka tiba di sana. Sepi. Perlahan Diza mendorong pintu sambil memutar kusen. Terbuka. Keduanya menyelinap segera. Jangan tanya debar di dada mereka. Berdetak dua kali lebih cepat membuat titik keringat mulai muncul di dahi.
Pintu itu masuk ke sebuah ruangan mirip pantri. Tentu saja perabotannya mulai keropos. Kosong, penuh debu, sarang laba-laba dibagian atas. Diza menghentikan langkah. Dia buru-buru membuka celana kulotnya. Lalu memasangnya lagi sebagai bagian luar sehingga rok plisket itu tersembunyi di dalam.
Memilih cara itu agar memudahkan pergerakan. Pintu penghubung kembali terbuka. Kini di depan mereka terdapat lorong panjang. Tak ada tempat bersembunyi jika seseorang memergoki mereka diujung lorong.
Namun Zeta mendengus tanda menyuruh meneruskan langkah. Ternyata lorong itu penghubung menuju tangga ke lantai dua lewat jalan lain. Bukan tangga yang mereka lalui beberapa waktu lalu.
Keduanya melanjutkan langkah meniti tangga hingga tiba di lorong. Dan percakapan beberapa orang terdengar dari dalam sebuah kamar. Diza menoleh Zeta sekejap sebelum memutuskan dengan berani membuka pintu kamar di sebelahnya.
Diza termangu. Kamar itu tampak bekas di tempati. Seprai ranjang tidak begitu rapi. Dan beberapa baju berserak diatasnya. Zeta membuka lemari kayu di dekatnya. Beberapa tas besar ada di sana. Entah apa isinya dia tak ingin tahu.
" Jadi baju-baju yang tergantung dibalkon tadi ... " Zeta berbisik di dekat Diza. Gadis itu mengangguk.
" Gedung ini memang memiliki penghuni. " sahutnya juga berbisik.
" Kita cari tau mereka siapa? " Zeta tampak bersemangat.
" Buat apa? " Diza mendelik.
" Siapa tau mereka mafia kota? Kelompok pengedar narkoba? Pembunuh bayaran? " imajinasi Zeta berkeliaran tak terkendali. Diza memberinya hadiah jitakan.
" Lebih baik kita segera keluar. Perasaanku ngga enak! " desisnya cepat. Dia berbalik segera menuju pintu. Dan percakapan terdengar menuju kearah mereka. Keduanya saling melempar pandang.
" Sebenarnya barang sudah tiba. Stok juga banyak. Tapi jika bergerak terlalu cepat Tama bisa curiga! " suara itu terdengar jelas. Diza tersengat.
Helaan berat terdengar.
" Aku ngga tahu bagaimana bisa dia selamat! Hingga bisa kembali ke kota. Jika pun tidak mati kemarin, luka-lukanya tak bisa sembuh semudah itu. Dan seharusnya dia juga cacat! " suara itu terdengar frustasi.
" Ada pengkhianat? " lelaki pertama kembali bersuara.
" Entahlah! Aku tak yakin! Semua berjalan sempurna sesuai rencana. Hanya waktu eksekusi memang laporan mengatakan dia kabur. " suara kedua menyahut.
persepupuan compleks... 😒