Jangan lupa tinggalkan Jejak,
Tidak disarankan untuk pembaca dibawah umur.
Mengetahui fakta jika wanita yang ditunggunya selama enam belas tahun, telah memiliki anak dari keponakannya, membuat Dimas patah hati, meskipun rasa cintanya begitu besar, tapi dia memilih untuk menyerah, demi kebahagiaan bersama.
Demi menghibur hatinya yang tengah galau, dia berlibur di villa milik keluarganya.
Di tempat berbeda, seorang wanita sedang sibuk menyiapkan acara liburan gratis yang di dapatkan dari tempatnya bekerja.
Sesuatu hal terjadi pada keduanya, sehingga membuat laki-laki itu selalu mengejarnya, dan sang wanita selalu terbuai olehnya, walau seharusnya hal itu tidak boleh terjadi di karenakan wanita itu telah memiliki kekasih..
Apakah Dimas akan mengalami patah hati kedua kali, atau justru berhasil memiliki wanita baru yang dia temui?
P.S. Lanjutan dari cerita sebelumnya berjudul
❤️Pembalasan Atas Pengkhianatan Mu❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ajakan Menikah
Rumi menghela nafas lega, begitu Dimas mengiriminya pesan, jika lelaki itu, tak jadi menjemputnya.
Karena setengah jam sebelum jam pulang, Ari menelponnya, dan mengatakan akan mengajaknya bertemu.
Ari membawanya ke sebuah cafe tak jauh dari showroom, katanya ingin mengatakan sesuatu.
"Jadi apa yang ingin mas katakan? Kabar baik atau kabar buruk nih?" tanya Rumi setelah keduanya duduk saling berhadapan di meja cafe yang letaknya di samping dinding kaca.
Lelaki yang mengenakan kemeja biru muda dilapisi jaket kulit itu, tersenyum manis padanya, "Kabar baik dong, masa buat calon istriku, kabar buruk."
Rumi membalas senyuman, tak kalah manis, matanya berbinar, tak sabar menunggu kabar baik yang akan dia dengar.
Ari mengambil tas ranselnya, dan menunjukan sebuah amplop besar berwarna coklat. "Kamu buka sendiri, dek." ujarnya menyodorkan.
Rumi menerimanya, dan langsung membukanya, lalu matanya melebar, ketika melihat kertas yang sudah berbulan-bulan dia tunggu. Tapi mendadak dia ingat aibnya sendiri, tanpa disadarinya, senyumannya berubah menjadi senyum miris, pikiran dan hatinya mulai dihinggapi rasa bersalah.
"Kenapa dek? Kok kayak nggak suka gitu? Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Ari menunjukan kekhawatirannya, lelaki itu memang benar-benar peka.
Dalam sekejap, Rumi merubah ekspresinya, dia memasang senyum lebar, "Selamat ya mas, akhirnya SK nya udah turun, aku ikut seneng, akhirnya cita-cita mas Ari kesampaian juga,"
"Terima kasih Dek, tapi ini semua mas lakukan buat kamu, maka dari itu, kamu aja yang pegang SK mas," Ari menunjukan wajah berseri-seri, "Dan selain itu, mas mau ajak kamu pulang kampung, menurut kamu, kita lamaran dulu terus nikah, atau langsung nikah aja?"
Mendadak tubuh Rumi menegang, dia mulai gelisah, dia tak menyangka hari itu akan tiba, andai hal ini terjadi sebelum dia liburan, maka dia pasti menjadi salah satu wanita yang paling bahagia di dunia. Tapi kini, setelah apa yang terjadi, kepercayaan dirinya menurun drastis.
Rumi merasa kotor, dan tak pantas berdampingan dengan lelaki sebaik Ari. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa dia harus membuka aibnya sendiri? Atau menyimpan rahasia ini seumur hidupnya.
Ari menyentuh tangannya lembut, "Sayang, kamu kenapa? Apa ada masalah? Ayo cerita sama aku, aku siap mendengarkan." Suara lembut Ari membuat Rumi semakin merasa bersalah.
"Nggak kok mas, aku lagi seneng sekaligus terharu, saking senengnya aku sampai mau nangis, sekali lagi selamat ya mas!" Rasanya saat ini, Rumi tak sanggup membongkar sendiri aibnya. Dia tak ingin merusak suasana.
Ari mengambil tangan wanita yang dicintainya, lalu mengecup lembut punggung tangan itu, "Aku makasih banget sama kamu, karena kamu dengan sabar menunggu ku, kamu dampingi, dan selalu doakan aku, jadi gimana, mau lamaran dulu, atau langsung nikah?"
"Gimana kalau kita omongin sama ibu kamu, dan bapakku dulu, baiknya bagaimana?" Rumi mencoba memberi saran.
Ari mengangguk setuju, "Oh ya dek, mas minta bantuan sama salah satu temen, buat design undangan pernikahan kita, kamu coba lihat deh," Dia mengambil laptop dari dalam ranselnya, menyalakannya, dan menunjukkan beberapa design undangan, "Biar hemat, kita tinggal cetak, soalnya mas mau, setelah kita menikah, aku langsung mau beli rumah, supaya kita nggak perlu ngontrak." Ari antusias menceritakan rencananya.
Rumi semakin merasa bersalah karenanya, dia tak mau melihat wajah lelaki itu kecewa.
Usai mengunjungi cafe, Ari juga mengajak Rumi ke mall, tepatnya toko perhiasan, untuk memintanya memilih model cincin pernikahan, serta mahar yang akan diberikan padanya, saat akad nikah nanti.
Seharusnya Rumi merasa senang, tapi entah mengapa dia merasa hampa, atau mungkin karena rasa bersalahnya.
"Kamu kenapa sih? Dari tadi aku perhatikan, kamu lebih banyak diam, Apa ada masalah? Cerita dong dek, semoga mas bisa bantu." Keduanya sedang makan malam bersama, disalah satu pedagang kaki lima, tak jauh dari tempat kos Rumi.
Rasanya lidahnya kelu untuk mengakui dosa yang telah dia lakukan, selain tak ingin merusak kebahagiaan Ari, Rumi juga belum siap dengan kemungkinan terburuk, apalagi kalau bukan putus.
Rumi mencintai Ari, lelaki itu cinta sekaligus pacar pertamanya. Keduanya dari kampung yang sama, tepatnya tetangga beda RT, keluarga juga saling cocok, sudah mengetahui karakter masing-masing. Tak ada lagi masalah sebenarnya, hanya karena kesalahannya, terbuai dengan ketampanan lelaki lain, dia tega mengkhianati lelaki sebaik Ari.
"Mas, aku sayang banget sama kamu," ungkap Rumi tiba-tiba.
Ari yang sedang memasukan makanan mulutnya sendiri, menghentikan tangannya di udara, dia menatap, lalu tersenyum, "Apalagi aku, maka dari itu, aku ingin secepatnya, memiliki kamu sepenuhnya, supaya kita bisa ketemu setiap hari." Keduanya kembali melanjutkan makannya hingga habis.
Mereka berjalan kaki menuju gang tempat kos Rumi, sementara motor milik Ari dititipkan di warung tenda.
"Jadi besok kamu mulai ajukan cuti nikah, lalu jika sudah disetujui, kita langsung pulang kampung, dan mengenai persyaratan administrasi, aku minta tolong sepupuku buat urus semua," kata Ari, lelaki itu merangkul pundaknya.
"Iya mas, lalu bisakah kita tidak usah mengadakan pesta, aku hanya ingin akad nikah saja, yang penting sah, jadi uang itu bisa buat beli rumah."
"Apa nggak masalah sama keluarga kamu? Bagaimana pun kamu anak pertama loh?"
Rumi menggeleng, "Nanti biar aku jelasin ke bapak, seperti yang kamu bilang, kita mesti beli rumah, setelah kita menikah nanti,"
Ari setuju dengan ucapan Rumi, "Aku harus mulai cari-cari rumah, yang nggak jauh dari kantor, biar kalau jam makan siang, aku bisa pulang ketemu kamu," ungkapnya.
"Tapi kalau rumah dipusat kota gini kan mahal mas, aku pikir kamu mau KPR di pinggir kota."
"Semoga ada rejekinya, dek," ucap Ari percaya diri, "Kita berdua berniat baik, pasti ada jalannya, jadi kamu doain mas ya!"
Rumi memeluk pinggang tunangannya, sepertinya memang seharusnya seperti ini, dia harus mengubur rapat aibnya. Semoga saja sang Maha pencipta mengampuninya.
"Aku sayang banget sama mas Ari, aku nggak mau kita sampai pisah, kita harus bersama selamanya." gumamnya. Rumi mengungkapkan impiannya.
Menikah dengan Ari adalah keputusan terbaik, Ari lelaki yang penyayang, pekerjaan keras, pengertian, dan tulus mencintainya.
Dan Ari bukan tipe lelaki yang suka tebar pesona, sudah hampir delapan tahun bersama, tak sekalipun Ari mengkhianatinya, lelaki itu sedikit pun tak melirik wanita lain, meskipun beberapa kali ada wanita yang terang-terangan mengatakan suka padanya.
Ari juga selalu terbuka, bahkan dia dengan jujur memberitahukan penghasilan pokok, dan tambahan, beserta pengeluarannya.
Menikah dengan Ari, tak akan banyak konflik, jika suatu hari ada, dengan sikap mereka yang dewasa, Rumi yakin bisa melaluinya.
kayaknya seru tuh kalau buat ceritanya
semangat ya aku suka karya mu 😍😍