Vio, seorang penulis novel amatiran yang terlena dalam dunianya, melupakan kehidupan nyata dan asmara setelah beberapa kali merasakan sakitnya patah hati. Saat menyadari usianya akan memasuki kepala tiga, ia, atas desakan kedua orangtuanya di paksa untuk segera menemukan pasangan hidup. Keanehan muncul ketika ia bertemu Ayusa, pria yang tampak sempurna, tanpa menyadari bahwa Ayusa bukan manusia. Ajaibnya lagi, setelah mengenal sosok Ayusa, Vio menjadi peka dan bisa merasakan kehadiran mahkluk dari alam lain, membuatnya percaya bahwa di dunia dan alam semesta beserta isinya ini tidak hanya di diami oleh manusia ataupun mahkluk hidup yang ada di bumi secara kasat mata. Ia percaya kehidupan itu menyebar secara luas dengan tingkat dan dimensi yang mereka huni masing-masing.
...
Kisah ini menggabungkan unsur Fantasi, Horor, dan slice of life.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marthin Liem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Incaran siluman Harimau
Ketika ia berada di luar, beberapa pasang mata entitas terus mengawasinya.
Lagi dan lagi pemandangan seorang wanita berambut panjang dengan gaun putih lusuh yang menutupi mata kakinya, sedang duduk di dahan pohon sambil menggerakkan kepala dan kakinya.
Wajah wanita itu tak tampak sepenuhnya, hanya tertutupi rambutnya yang panjang dan hitam pekat.
"Hei, sendirian saja?" ledek Vio berteriak ke arahnya.
Wanita itu hanya tertawa melengking dengan tatapan kosong ke arah Vio.
"Aku tidak mengajakmu tertawa, ya!" Vio memperingatkan.
Sosok itu tiba-tiba terbang sambil terus tertawa-tawa. "Hihihi.... Hihihi... Hihihi..."
Tubuhnya bagaikan hembusan angin, terlihat sangat ringan, dan ketika melalui Vio, hembusan angin tersebut hampir saja membuatnya terjatuh.
"Dasar!" gerutu Vio kesal akan ulah entitas tersebut.
Bukan hanya satu, ada beberapa makhluk serupa, dengan warna beragam, ada yang merah dan hitam.
Di sudut pohon beringin besar, ia juga melihat sosok makhluk hitam tinggi besar, menyerupai kera, dengan kedua mata merah menyala, memiliki tanduk merah di kepalanya.
Suara makhluk itu menggeram seperti sedang marah saat melihat tingkah laku Vio.
"Hai, Om Wowo..." teriaknya yang usil kepada makhluk tersebut.
Kedua mata mahkluk itu memancar bagaikan bara api.
Saat mendekati sosok itu, entah mengapa hawanya terasa sesak dan panas, energinya ternyata begitu besar.
"Aduh, aku gak sanggup menggapaimu, Om Wowo," gumam Vio.
Sosoknya terus membelalak tajam.
Gadis itu berupaya mengabaikan beberapa gangguan para entitas di luar hotel tersebut.
Kini Vio sedang berjalan di trotoar jalanan, malam itu kendaraan tidak terlalu padat, mengingat di alam manusia sudah pukul 2 malam.
Tak beberapa lama, ia tiba di sebuah cafe, tampak heran ketika melihat para pemuda seperti tak merasakan atau melihat kehadirannya sama sekali.
"Permisi, halo," teriak Vio. Namun, mereka tampak asyik tanpa mempedulikan suara gadis tersebut.
"Apa mereka tak melihat aku ya?" batin Vio. Ia mencoba mengangkat gelas untuk memancing perhatian mereka. Namun, para pemuda itu malah ketakutan, pasalnya yang dilihat hanyalah gelas yang melayang-layang di udara.
"Gais, gais, gais, i... Itu, gelasnya melayang-layang, apa jangan-jangan?" Dio menepuk bahu Fadil, membuat mata mereka membuka lebar, seakan tak percaya saat melihat fenomena ini.
"Se.. se... Setan..." teriak Herry, sementara yang lain khusyuk berdoa dengan kepercayaan masing-masing, membuat Vio semakin yakin jika dirinya tak bisa dilihat orang.
"Knapa mereka tak bisa melihatku?" gumam Vio yang bingung dengan dirinya sendiri.
"Hei, apa salah satu dari kalian ada yang bisa melihatku?" teriak Vio dengan suara yang sudah maksimal, tetapi mereka tampaknya sedang merapat di tengah ketakutan.
"Ya sudah, kalau kalian tidak bisa melihatku." Vio menyerah.
Sebelum pergi, ia berjalan ke arah seorang barista yang tampaknya hanya memasang wajah datar sedari tadi, sangat kontras dengan mereka yang ketakutan.
Vio meraih pena, lalu menulis kopi kesukaannya, setelah itu ia berikan kepada barista laki-laki tersebut.
Sang barista langsung membuatkan kopi yang ia pesan dan meletakkannya di depan Vio.
"Aneh sekali, kok dia gak ada takut-takutnya, sih?" gumam Vio, sambil meraih gelas, dan menyeruput kopi tersebut secara perlahan karena masih panas.
"Hei, kamu bisa lihat aku kan? Cepat katakan!" tanya Vio pada pemuda yang bernama Gerry.
Ia tak menjawab. Namun, hanya menatapnya.
"Ah, pasti kamu bisa lihat aku, cepat katakan!" Gerry hanya memasang wajah kesal.
"Cepatlah, kedai kami mau tutup!" ucap Gerry yang secara tiba-tiba, membuat Vio tersedak.
"Uhuk, benar kan, ternyata kamu bisa lihat aku?" tanyanya penuh goda sambil mengedipkan satu mata genit, dan Gerry pura-pura tak melihat.
"Cepatlah, atau aku akan merebut kembali gelas itu dari tanganmu!" desaknya, Vio merasa sangat malu, ia mengangguk dengan senyum kikuk.
"Hehe.... I... Iya," jawabnya.
Sementara, para pemuda tadi sudah pulang dari kafe, kini hanya ada Gerry dan Vio.
"Sebenarnya aku juga tidak tahu, mengapa aku tidak bisa terlihat, karena aku baru saja pulang dari dunia Elyrian," papar Vio, Gerry tampaknya tak peduli sama sekali.
"Hei, kenapa kamu sedari tadi hanya diam?" tanya Vio kesal, karena pemuda itu seperti tak mempedulikan ocehannya.
"Sudah habis kopinya?" tanya Gerry, Vio meletakan kembali gelas kopi yang hanya ia minum sedikit.
"Aku tidak berselera, terimakasih!" Gadis itu melenggang pergi begitu saja dari hadapan Gerry.
Namun, saat ia berbalik, beberapa entitas sedang menempati masing-masing kursi. Tampaknya hal itu menjadi sesuatu biasa bagi Gerry karena ia memiliki kemampuan khusus.
Vio kembali ke meja Gerry dan menjelaskan.
"Satu hal yang perlu kamu tahu, aku bukan salah satu dari mereka, aku ini manusia sama sepertimu," paparnya, Gerry hanya mengangguk-angguk saja.
"Huh, dasar! Ganteng-ganteng kok sombong!" Vio memekik pelan, lalu bergegas meninggalkan Gerry bersama para entitas tersebut.
Gadis itu kembali berjalan menyusuri malam yang sunyi, sampai akhirnya ia tiba di kediamannya, rumah yang ia rindukan.
Vio menatap bangunan berlatar putih itu dengan sendu. "Meski kalian membenciku, tapi aku sayang sekali pada kalian. Papa, Mama, kak Sandy," batin Vio menatap pilu kediaman keluarganya.
Ia melangkah, lalu membuka pintu, kehadirannya bagai hembusan angin. "Sepertinya mereka sedang tidur." Vio mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan yang gelap.
Namun, ia melihat seekor harimau besar lewat di depannya dan naik ke lantai 2 dengan cepat, kemudian hilang di depan kamar sang kakak.
"Harimau? Aku yakin, itu harimau siluman." Vio berupaya mengejar sosok tersebut, akan tetapi pergelangan kakinya seperti di tahan sosok lain, dan ketika ia mendongakan pandangan kebawah, melihat seorang nenek tua renta dengan kulitnya yang sangat keriput, tangannya memanjang dan mencengkram pergelangan kaki Vio dengan erat.
"Lepas Nek!" teriak Vio berupaya terbebas dari jeratan entitas yang berjalan merangkak itu.
"Hrrm... Hrrh... " Sosok itu tak berbicara hanya mengeluarkan suara aneh.
"Hei, kamu belum tahu ya kalau aku ini istrinya Ayusa! Kalau aku adukan perbuatanmu pada suamiku, bisa habis kamu, dasar nenek tua!" hardik Vio, sosok itu membulatkan matanya yang putih semua, dan membuka mulutnya lebar-lebar.
"Apa hah? Mau menakut-nakuti ku?" tantang Vio, dan akhirnya ia terbebas dari sosok mengerikan itu.
Sementara di dalam kamar, Sandy berteriak-teriak histeris, suara teriakannya menggemparkan seisi rumah.
Pak Burhan dan Bu Alina terbangun, lalu berlari menuju kamar putranya.
"Sandy, apa yang terjadi denganmu?" Pak Burhan mengetuk pintu, sementara Bu Alina tampak sangat cemas dengan keadaan putranya.
"Aargh... Jangan makan aku, jangan mendekat!" teriak Sandy, Pak Burhan langsung mendobrak pintu kamar tersebut.
Ketika keduanya berhasil membuka pintu, mereka terkejut melihat putra mereka, Sandy, mengamuk, sementara matanya masih terpejam.
Sandy meraung-raung sambil mencakar wajah sendiri, menciptakan luka di kedua pipinya.
Pak Burhan dan Bu Alina, dalam usaha menyadarkan Sandy, berupaya memanggil namanya.
"Sandy, sadarlah!"
Pak Burhan bahkan menampar wajah putranya dengan keras, berusaha membangunkannya dari alam mimpi yang mengerikan.
Ketika sang ayah menampar wajahnya, barulah Sandy tersadar dan terbangun dari tidur, tetapi wajahnya penuh dengan luka akibat cakaran yang ia berikan pada dirinya sendiri.
"Kamu kenapa?" tanya Bu Alina dengan kecemasan, Sandy kebingungan dan berupaya menyadarkan diri sendiri dari alam mimpi yang begitu amat mengerikan, baru saja ia alami.
"Tadi aku mimpi mau di terkam harimau," jelasnya dengan wajah tegang, merasakan rasa sakit dan kebingungan yang melanda saat mengingat bayangan mimpi itu.
Seketika, darah mengalir di kedua pipinya yang terluka, menandakan bahwa kejadian di dalam mimpi itu memang nyata bagi dirinya.
"Lihatlah, kamu mencakar wajahmu sendiri." Bu Alina mengarahkan Sandy pada cermin besar di depannya, lelaki itu syok berat melihat luka-luka di wajahnya.
"Kenapa bisa sampai seperti ini?" Sandy menatap wajah ayah dan ibunya secara bergantian, mencoba memahami kejadian yang baru saja terjadi.
"Itu artinya kamu terlalu banyak pikiran, makanya sampai mimpi buruk!" tunjuk Bu Alina pada putranya, Sandy mengangguk, berupaya berpikir positif meskipun masih terbawa kecemasan.
"Sepertinya benar kata Mama, karena aku terlalu memikirkan Sintia," gumam Sandy, ia beranjak, meraih tisu untuk membersihkan darah yang mengalir di kedua pipinya.
Vio ada di antara mereka, akan tetapi kehadirannya tak terlihat.
Gadis itu melihat harimau besar yang sedang bersantai di sudut kamar, kedua matanya terus menyorot pada Sandy.
"Hei siluman harimau, pergilah, jangan ganggu keluarga kami!" usir Vio pada sosok kucing besar itu.
...
Bersambung...
gak terasa makasih thor suka ceritanya 😘
kamu hancur hans Reina otw bahagia banget bakal dapet suami soleh mapan ganteng apalagi coba ...