NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 – Mendengarkan Voice Note = HANCUR TOTAL

Langit baru saja menyesap kopi pertamanya pagi itu ketika aroma pahit hangatnya memenuhi mulut dan perlahan mengalir turun ke dada. Asap tipis dari gelas keramik putih naik pelan ke udara, membentuk guratan lembut yang memudar sebelum sempat ia nikmati sepenuhnya. Cahaya matahari merambat masuk melalui tirai tipis ruang makannya, menciptakan garis-garis keemasan yang jatuh di meja kayu dan lantai marmer di bawah kakinya.

Biasanya, inilah momen paling tenang dalam hidupnya— pagi hari, kopi pertama, apartemen yang sunyi, dan dunia yang belum menuntut apa pun darinya. Biasanya, pikirannya sudah dipenuhi strategi bisnis, jadwal rapat, dan angka-angka yang harus ia putuskan dalam hitungan menit.

Tapi pagi itu… tidak sama. Saat ia menunduk sedikit, hendak meletakkan cangkirnya ke meja—

 Ponselnya bergetar. Getaran pendek, ringan, nyaris tidak terdengar. Sesuatu yang seharusnya biasa saja.

Namun entah mengapa… getaran itu justru membuat jantungnya seperti terpeleset— bukan jatuh, tapi seperti tersandung oleh sesuatu yang tidak pernah ia perhitungkan sebelumnya.

Seakan-akan tubuhnya bereaksi lebih dulu sebelum otaknya sempat bertanya kenapa.

Langit mematung sepersekian detik. Lalu perlahan menurunkan gelas. Jari-jarinya, yang biasanya stabil dan presisi, kini terasa sedikit terlalu cepat saat ia menyambar ponsel itu dari atas meja.

Layar menyala kemudian notifikasi muncul.

Dan meski ia belum membuka isinya… ada sesuatu di dadanya yang menegang penuh ekspektasi—sesuatu yang tidak semestinya dimiliki seorang pria sedingin dirinya.

Langit menarik napas pelan. Lalu membuka notifikasi itu.

Dan begitu membaca balasan Embun, tubuhnya benar-benar membeku.

Embun: Pagi :). Dan… iya. Tidurnya nyenyak. Kayaknya gara-gara ngobrol sama lo.

Tiga kalimat sederhana.

Tiga kalimat yang menghantam pria itu lebih kuat daripada rapat direksi dan proyek ratusan miliar yang biasa ia tangani tanpa berkedip.

Langit menatap layar itu lama— terlalu lama. Cahaya dari jendela pagi bahkan sudah berubah arah saat ia masih diam di posisi yang sama. Sesuatu di dalam dadanya bergerak. Pelan, tapi jelas.

Seperti seseorang mengetuk dinding dingin di sekeliling hatinya dan retak pertama muncul tanpa ia sadari.

Ia menyandarkan tubuh ke meja dapur, menunduk sedikit, menutup mulutnya dengan punggung tangan. Bukan karena kaget, tapi karena ada sesuatu yang… hangat. Hangat dengan cara yang tidak pernah ia izinkan sebelumnya.

“Ngobrol sama gue bikin dia tidur nyenyak…”

Ada genggaman kecil di dadanya—nyaman, tapi juga membuatnya kehilangan semua pertahanan.

Sulit percaya bahwa pesan itu datang dari perempuan yang bahkan tidak ia tahu namanya.

Langit menatap layar sekali lagi, dan kali ini… ia tersenyum. Bukan senyum tipis dingin seperti biasa. Tapi senyum yang hanya muncul ketika seseorang benar-benar menyentuh sesuatu di dalam dirinya.

“Sial… dia manis banget.”

Ia mengembus napas pelan, menahan godaan impulsif untuk langsung menelepon atau bahkan video call. Dan mungkin—seandainya perempuan itu ada di dekatnya—Langit akan terlihat seperti seseorang yang baru saja mengalami detik pertama jatuh cinta.

Setelah beberapa detik hening, Langit akhirnya mengangkat ponsel, menekan tombol rekam.

Tapi ia tidak langsung bicara. Ada jeda dan tarikan napas. Hanya terdengar suara dentuman halus dari mesin kopi di belakang. Saat ia mulai berbicara… nadanya turun lebih rendah dari biasanya, lebih pelan dan lebih … jujur

Langit : “Gue seneng kalau lo tidur nyenyak.”

Kalimat pertama saja sudah cukup membuat siapa pun kehilangan pegangan. Tapi Langit tidak berhenti.

Langit : “Dan kalau itu gara-gara obrolan kemarin…”

Ada suara tawa kecil di ujung kalimat, samar, seolah ia sendiri malu mengakuinya.

Langit : “…gue nggak keberatan.”

Ia mengucapkannya perlahan, seolah kalimat itu bukan sekadar jawaban—tapi sesuatu yang ia pilih dengan hati-hati. Lalu ia terdiam sebentar, seakan mempertimbangkan apakah ia akan melanjutkan atau tidak.

Tapi akhirnya ia bicara lagi, lebih lembut… dan justru lebih menggoda tanpa ia sadari.

Langit : “Suaranya lo semalem… bikin malam gue juga lebih gampang tenang.”

Ada jeda. Lalu nada suara yang setengah bercanda, setengah memuji, tapi tetap dengan gaya Langit yang tenang.

Langit  : “Jadi… kalau nanti mau tidur nyenyak lagi, lo tau caranya.”

Ia berhenti, menutup rekaman, menatap layar dengan napas sedikit lebih cepat dari biasanya.

Dan ketika ia melepaskan tombol rekam, voice note itu langsung terkirim, ada sesuatu yang terasa seperti adrenalin menyapu dadanya.

Bukan karena ia malu. Tapi karena ia tahu— yang ia kirim bukan sekadar voice note. Itu pengakuan kecil, sebuah langkah maju. Halus, nyaris tidak terlihat, tapi cukup kuat untuk mengubah arah hubungan itu.

**

Sementara itu,Embun yang saat ini masih goleran di kasurnya begitu ada notifikasi masuk, Embun tidak langsung membuka. Ia hanya menatap HP-nya dari jarak aman—jarak yang menurutnya bisa menyelamatkan harga diri.

Tapi tidak berhasil. Tangannya malah gemetar begitu memegang ponselnya, dan begitu suara Mr. Don’t Know mengalun keluar dari speaker…

Dunia Embun runtuh seperti kue bolu bantet.

Nada rendah itu.

Cara ia menyebut “gue seneng kalau lo tidur nyenyak.” Cara ia tertawa kecil, cara ia melanjutkan kalimat itu dengan lembut, seolah takut membuatnya kaget. Dan kalimat terakhir—

Mr. Don’t Know : “Kalau nanti mau tidur nyenyak lagi, lo tau caranya.”

Embun tidak kuat. Tidak kuat. Ia ingin sekali melambaikan tangannya ke arah kamera.

Reaksi Embun datang begitu cepat, begitu refleks, sampai-sampai tubuhnya bergerak lebih dulu sebelum otaknya sempat memahami apa yang barusan ia dengar dari voice note itu. Dalam satu detik ia masih duduk tegak seperti patung, tapi detik berikutnya—tanpa aba-aba—ia langsung meraih bantal terdekat dan menekankannya ke dada seperti pelampung keselamatan. Dengan tubuh yang dikuasai kepanikan bahagia, ia menendang kaki ke udara, satu, dua, tiga kali seperti orang yang sedang berusaha memadamkan api di ujung jari kakinya sendiri.

Kemudian ia jatuh tengkurap, wajahnya membenam ke kasur, dan dari balik selimut yang tersingkap setengah terdengar jeritan teredam yang sama sekali tidak Anggun,

“GILA… GILAAAAA… GILAAA— DIA NGOMONG APAAN BARUSAN???”

Suaranya pecah, melengking, lalu hilang tenggelam di tumpukan bantal.

Rambutnya berantakan ke segala arah, bagian depan menutupi mata, bagian belakang berdiri seperti baru disetrum cinta. Selimutnya pun kini bukan lagi selimut—melainkan gulungan tekstil tidak beraturan yang terlempar entah ke mana, hasil pergulatan batin yang terlalu intens untuk kapasitas kamar kosmik kecil itu.

Dadanya panas—bukan panas biasa, melainkan panas yang naiknya pelan tapi konsisten, seperti kompor yang lupa dimatikan. Jantungnya berdetak begitu kencang sampai ia yakin tetangga satu rumah bisa merasakannya lewat dinding. Hatinya terasa seperti dilempar ke microwave, meleleh, mendidih, pecah, lalu membentuk manisan.

Sementara itu otaknya… jelas sudah menyerah. Memutuskan untuk pensiun dini. Meninggalkan ruangan tanpa pamit.

Dengan tangan gemetar, Embun meraih ponsel yang sempat terlempar ke samping bantal. Ia membuka chat itu lagi—jempolnya bergetar seperti sinyal WiFi lemah—dan memutar ulang voice note tersebut.

Sekali… Suaranya Langit terdengar lebih rendah dari yang ia ingat. Seolah suara itu menyelinap lewat speaker dan menelusup masuk ke relung paling sensitif di hatinya.

Akhirnya ia menutup ponsel dengan wajah panas. “Bun… lo harus tenang… lo harus main aman… lo harus—”

Tapi notifikasi pesan baru muncul.

Mr. Don’t Know : Jangan dengerin lebih dari dua kali. Nanti gue yang malu.

Embun membeku. “HEH?!”

Dia langsung menutup muka pakai bantal lagi.

Embun masih tengkurap di kasurnya ketika ponsel itu bergetar pelan di dekat pipinya yang memanas seperti kompor level dua. Suara Langit—si Mr. Don’t Know yang tidak tahu sedang merusak kestabilan mental seorang perempuan—masih terngiang di kepalanya.

Napasnya belum stabil. Detaknya masih salah tempo. Dan ia tahu, kalau ia tidak membalas sekarang… ia akan meledak dari dalam.

Dengan tangan yang benar-benar gemetar—tidak berlebihan, ini literal—Embun menekan tombol voice note.

Detik pertama ia hanya diam, menelan ludah seperti orang mau lamar kerja.

Baru setelah itu ia berdeham kecil, suara paling pelan yang pernah keluar dari mulutnya.

Embun (voice note, lirih setengah berbisik): “Ehm… Haii, pagi. Ehm gue… gue udah denger voice note semalem. Dan soal… itu…”

ia terbatuk kecil karena grogi

Embun : “…gue nggak dua kali dengernya tapi udah lima kali gue denger voice note lo yang semalem”

Ia buru-buru melepaskan tombol send sebelum otaknya sempat protes.

Begitu terkirim, Embun mematung.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Lalu— “AAAAAAAAAAAA—”

Ia menjerit teredam, meraih bantal dan mengubur wajahnya sampai suaranya hanya jadi getaran samar. Kedua kakinya menendang-nendang kasur seperti bayi angsa belajar terbang.

**

Sementara itu, di apartemen tinggi dengan cahaya matahari pagi yang masuk lewat tirai putih… Langit mematung dengan ponsel di tangan. Ia sedang bersandar di pinggir meja makan, kemeja putihnya belum dipasang kancing paling atas, rambutnya sedikit acak karena baru diberi handuk. Kopi di mug-nya belum tersentuh.

Begitu voice note Embun masuk, jempolnya refleks menghentikan semua aktivitas.

Ia memutar voice note itu— dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama… seorang Langit Mahendra Atmaja tersenyum seperti orang yang terbawa angin musim semi.

Suara itu… Pelan, agak sedikit gugup dan malu-malu tapi tulus sampai ia merasa tulangnya ikut bergetar.

Ia memutar voice note itu dua kali. Tidak sadar sambil menunduk, memegang mug tanpa meminumnya. Ada sesuatu yang aneh berputar di dadanya. Seperti jatuh, tapi pelan. Seperti tergoda, tapi hangat.

"Apa-apaan sih…" gumamnya, setengah sebal pada dirinya sendiri. Tapi senyum itu tetap menempel. Ia mengambil ponsel. Menahan napas.

Menekan tombol voice note balik.

Langit (voice note, rendah, hangat, nyaris menggoda): “Gue nggak tahu ya… lo sadar atau nggak…”

jeda kecil.

Langit : “… suara lo itu malah bikin pagi gue ribut banget, tapi bikin candu.”

Suaranya turun setengah oktaf di akhir kalimat. Ia sendiri yang kaget dengan nada suaranya, dan  ia sendiri yang merasakan sensasi aneh itu merambat di dada. Lalu ia sendiri yang menekan send—lalu menutup muka dengan tangan.

“Sial… gue kenapa sih.”

**

Kita balik lagi ke Embun yang masih salting sendiri di atas kasurnya,

Notifikasi pesan masuk, sebuah voice note yang masuk. Embun yang sedang tiarap langsung bangkit seperti zombie kena kejutan listrik.

Ia tekan tombol play. Suara itu keluar. Dan hidup Embun… selesai.

Tubuhnya melengkung ke belakang, tangan meraih udara kosong seolah hendak memetik pertolongan dari langit-langit kamar. Pipinya merah, matanya membesar, dan bantalnya jadi korban empuk pelampiasan malu yang tidak tertahankan.

“GILAAAAA… KENAPA DIA SUARANYA BEGITU SIH—”

Ia berguling ke kiri kemudian ke kanan, lalu ke kiri lagi dan hampir jatuh dari kasur. Ia kemudian bangun, duduk tegak seperti prajurit, lalu kembali rebah seketika karena jantungnya tidak sanggup.

Ia membuka room chat. Jari-jarinya mulai gemetar. Ia menekan record lagi.

Embun (voice note, lirih, pecah, malu setengah mati): “Gue… nggak tahu harus bilang apa… tapi… yaaa… kalau pagi lo jadi ribut dan suara gue bikin lo candu… maafin ya… suara gue… ya… emang gitu.”

Ia send. Dan langsung melemparkan dirinya ke kasur, menutup wajah dengan bantal.

Lalu pagi itu dimulai dengan voice note dibalas voice note. Obrolan mereka meluas dari hal receh sampai hal random yang bahkan tidak penting-penting amat—tapi entah kenapa terasa menenangkan. Tentang kopi, tentang cuaca, tentang liburan, bahkan tentang suara burung pagi hari pun tak luput dari obrolan mereka.

Ada tawa pendek dari Embun. Ada gumaman rendah dari Langit.

Sampai-sampai… Embun hampir keceplosan,

"Gue kangen suara lo—" Tapi ia menutup mulut sendiri sebelum kalimat itu selesai keluar.

Detak jantungnya makin tidak wajar.

*

Tepat saat Embun masih senyam senyum sendiri sambil memeluk bantal guling ..

Tok! Tok! Tok!

“Bun?”

Embun melonjak seperti kucing yang kaget lihat timun. Mama Raina berdiri di depan pintu kamar, alis terangkat tinggi.

“Sayang… kamu itu udah jam tujuh lewat, lho. Kamu… nggak ke kantor?”

Embun masih duduk di kasur, rambut berantakan, pipi panas, senyum tidak bisa hilang. “Ke kantor, Ma. Tenang ajaaa…” ucapnya dengan suaranya terlalu bahagia untuk orang yang belum mandi.

“Mama lihat kamu belum mandi.”

Embun nyengir seperti anak kecil yang ketahuan mencuri wafer. “Ehehe… sekarang kok, Ma.”

Ia cepat-cepat meraih handuk, tapi sempat gigit ujung bantal dulu karena senyumannya susah hilang.

Mama Raina menyipit. “Embun… kamu kenapa dari tadi senyum-senyum sambil guling-guling di kasur? Mama kira kamu kesurupan.”

“Enggaaak! Aku cuma… baca chat grup… HAHAHA.” Embun yang tentu saja bohong, bohong yang paling tidak profesional.

Mama Raina tak percaya, tapi malas berdebat. Embun buru-buru masuk kamar mandi.

Embun mandi sambil bersenandung di kamar mandi, busa dari sampo sudah menutupi rambutnya. Sambil berdiri di bawah shower, Embun menggigit bibir sendiri dan tertawa malu.

Ia memutar ulang voice note Langit dalam ingatannya.

Ia memegang dada. “Gila… suara lo kenapa seksi sih di telinga gue…”

Tok. Tok.

“Bun?” Suara mama Raina lagi.

Embun membuka pintu sedikit, kepala penuh busa keluar seperti adegan komedi.

“Iya, Ma?”

“Mama mau ke tempat catering, cek bahan-bahan. Nanti makan siang mama anterin ke kantor kamu, sekalian buat Bia sama Lona, ya.”

“Ma, repot banget bolak-balik kantor aku, kantor Bia, kantor Lona…”

“Enggak, sayang. Sekalian satu arah. Pulangnya mama naik taksi aja, mama suruh drivernya nunggu.”

Embun tersenyum lembut. “Ya udah… tapi mama janji hati-hati.”

Mama Raina tersenyum balik. “Iya, sayang. Kamu juga mandi yang bener, jangan senyum-senyum sendiri terus, kayak orang gila, tahu gak?.”

“MAAA!!!”

Pintu kamar mandi ditutup cepat, tapi tawa Embun terdengar sampai keluar.

**

tbc

1
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
KaosKaki
bener bener dah ya, embun sama langit udah kaya anak abg banget /Facepalm/
Bia_
wow apakah akan ada plot twist Pemirsa 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!