NovelToon NovelToon
Gadis Magang Milik Presdir

Gadis Magang Milik Presdir

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Black moonlight

Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Selentingan

Sovereign Corporation, lantai 50—ruangan tempat para eksekutif bekerja. Di antara semua lantai yang dipenuhi karyawan dan aktivitas harian, lantai 50 selalu memiliki aura berbeda: sunyi, rapi, dan sangat steril dari hiruk-pikuk. Hanya orang-orang tertentu yang boleh melangkah masuk. Semua tahu, lantai itu merupakan pusat kendali perusahaan—dan di sanalah ruang presiden direktur berada.

Liam Aldric Maheswara, pria 31 tahun yang memimpin Sovereign, dikenal memiliki dua sisi: cerdas hingga menakutkan, dan dingin hingga tidak ada seorang pun yang berani bercanda di dekatnya. Prestasinya membawa Sovereign naik dua level dalam tiga tahun, tapi karakternya… membuat jarak antara dirinya dan karyawan seperti menembus dinding kaca.

Namun, hari itu, Liam terlihat sedikit lebih rileks dari biasanya. Ia duduk di ruang rapat kecil pribadi, ruangan yang hanya digunakan ketika ia ingin berdiskusi santai dengan orang-orang terdekatnya. Di salah satu dinding ruangan terpampang layar besar berisi data statistik perusahaan. Tangannya memegang tablet, menelusuri laporan triwulan.

Suara ketukan pintu terdengar.

“Masuk,” jawabnya pendek.

Gema, asisten pribadinya yang sudah bekerja bersamanya selama empat tahun, melangkah masuk. Berbeda dengan staf lainnya, Gema menjadi satu dari sedikit orang yang bisa berbicara dengan Liam secara lebih manusiawi tanpa tenggorokan tercekat.

“Bos, laporan tim analis sudah saya kumpulkan,” ucap Gema sambil meletakkan folder fisik—Liam menyukai dokumentasi cetak meski sudah ada versi digital.

Liam mengangguk. “Terima kasih.”

Namun Gema tidak langsung pergi. Ia berdiri di sisi meja, menimbang-nimbang sesuatu, tampaknya ragu apakah ia seharusnya menyampaikan informasi tambahan.

Liam melirik sekilas. “Ada lagi?”

Gema menarik napas kecil. “Sebenarnya ini bukan laporan resmi, tapi… ada pembicaraan di lantai 35. Tentang salah satu anak magang.”

Liam berhenti mengetuk tablet. Sudut alisnya terangkat sedikit. “Magang?”

“Ya,” jawab Gema. “Katanya ada satu anak magang di Operasional Strategis yang performanya mencolok.”

Liam menghela napas kecil, tidak menunjukkan reaksi berlebihan. “Kita punya hampir seratus magang dari berbagai divisi, Gem. Setiap tahun pasti ada satu dua yang menonjol.”

Nada suaranya datar, tetapi bukan tidak tertarik. Liam hanya tidak suka menyimpulkan tanpa data.

“Tentu,” Gema menyambung. “Tapi yang ini… pembicaraannya agak berbeda. Cukup banyak karyawan membicarakannya dalam dua minggu terakhir.”

Liam menutup tabel laporannya, kini memberikan perhatian penuh.

“Siapa namanya?”

“Anna, dari jurusan manajemen bisnis. Penempatan magangnya di bawah divisi Jordan—eh, maksudku di bawah supervisi Jordan.”

Gema tersenyum kecil, mencoba bersikap formal meski mereka sebenarnya teman lama.

Liam bersandar ke kursi kulitnya yang kokoh. “Apa istimewanya?”

Gema tahu bahwa Liam bukan tipe pria yang terkesan hanya karena seseorang kerja keras. Bagi Liam, kinerja harus terukur. Prestasi harus objektif. Jadi ia menyampaikan dengan hati-hati.

“Katanya dia cepat belajar. Sangat cepat. Bahkan Jordan bilang, dia bisa membaca pola data lebih akurat dari beberapa analis baru.”

Liam mengevaluasi penjelasan itu. “Apa itu laporan resmi atau gosip?”

“Belum ada laporan resmi. Tapi percakapan ini datang dari dua analis senior yang saya kenal baik.”

Gema berpikir sejenak, lalu menambahkan, “Dan saya juga sempat tanya ke Jordan langsung. Bukan dalam konteks formal. Cuma obrolan pas makan siang.”

Liam mengetukkan jarinya di meja. Kebiasaannya ketika ia sedang menghitung probabilitas informasi.

“Dan Jordan bilang?”

Gema tersenyum kecil—penuh kesadaran bahwa ini pertama kalinya dalam beberapa minggu ia melihat Liam tampak tertarik pada sesuatu yang tidak berkaitan langsung dengan angka.

“Dia bilang… kalau anak itu punya intuisi yang jarang dimiliki pemula. Analitis, teliti, dan nggak gampang panik. Bahkan Jordan bilang, ‘Kalau Anna diberi waktu, dia bisa mencapai level analis junior dalam lima bulan magang.’”

Liam terdiam.

Ucapan “level analis junior” bukan hal kecil. Itu artinya Anna dipandang punya skill di atas rata-rata.

“Dan,” lanjut Gema hati-hati, “katanya anak itu juga menunjukkan sikap profesional yang bagus. Rendah hati, tenang, mau belajar. Tidak mengeluh meski beban kerja tinggi.”

Liam mengangguk perlahan, ekspresi tak terbaca. “Baik. Teruskan.”

“Beberapa manager juga mulai mendengar namanya. Karena waktu rapat mingguan kemarin, dia berani presentasi analisis kecil—dan valid. Ia menemukan anomali performa pabrik cabang yang tidak disadari manager-nya sendiri.”

Kini Liam menyilangkan tangan. Itu baru benar-benar menarik.

“Seorang magang berani menyampaikan itu di dalam rapat lintas divisi?”

“Dengan sopan dan terstruktur. Menurut Jordan, itu bukan keberanian nekat. Anak itu sudah menyiapkan data pendukung,” jawab Gema.

Keheningan menggantung sesaat di ruangan.

Untuk pertama kalinya, nama itu mulai membentuk citra di kepala Liam. Tidak banyak—hanya sebuah siluet samar tentang anak magang dengan ketajaman analitis di luar ekspektasi. Namun bagi Liam, itu sudah cukup untuk membuatnya mengingat nama tersebut.

“Anna,” gumamnya.

Gema mengangguk. “Ya.”

Liam berdiri dan berjalan menghampiri jendela besar yang menghadap ke seluruh kota metropolitan. Cahaya matahari sore memantul di kaca-kaca gedung, menciptakan warna keemasan. Dari sini, dunia tampak kecil. Namun ia tahu, setiap karyawan yang bekerja di bawahnya membawa cerita hidup masing-masing—cerita yang sering kali tidak pernah ia tahu.

Namun sebagai presdir, ia punya tanggung jawab. Jika ada yang berprestasi, ia wajib mempertimbangkan pengakuan. Ia tidak suka mempromosikan orang hanya karena koneksi atau penampilan. Ia percaya pada meritokrasi.

“Tidak sering aku mendengar anak magang dibahas oleh tiga divisi sekaligus,” ucap Liam akhirnya.

“Makanya saya pikir bos perlu tahu. Walaupun ini baru gosip internal,” sahut Gema sambil tersenyum santai.

“Gosip pun bisa jadi indikator tren,” jawab Liam, nada suaranya datar namun tegas.

Gema tertawa kecil. “Itu kenapa saya suka kerja sama bos. Semua jadi data statistik—bahkan rumor.”

Liam hanya mengangkat alis.

Percakapan itu mereda sejenak. Gema berdiri menunggu apakah Liam ingin instruksi lebih lanjut.

“Gem,” panggil Liam sambil tetap menatap keluar jendela. “Saat periode magang selesai… ingatkan aku.”

Gema mengerjap. “Ingatkan… mengenai Anna?”

“Ya.” Liam memutar tubuhnya dan kembali ke meja. “Kalau performanya terbukti konsisten, aku ingin dia diberi recognition.”

“Reward?” tanya Gema memastikan.

“Minimal penghargaan internal,” jawab Liam mantap. “Kalau dia layak. Tidak lebih, tidak kurang.”

Gema tersenyum kecil. “Siap. Saya catat.”

“Bukan karena gosip,” lanjut Liam dengan nada profesional. “Tapi karena kerja keras harus dihargai. Dan anak seperti itu… langka.”

Gema mengangguk pelan.

Ia tahu Liam bukan tipe pria yang mudah terpikat sesuatu. Jika ia mengatakan seseorang “langka”, itu berarti orang itu benar-benar punya nilai.

“Baik, saya jadwalkan pengingat di akhir periode magang,” ucap Gema.

Liam membuka kembali tablet laporan triwulan.

“Dan Gem,” panggilnya lagi tanpa menoleh.

“Ya, bos?”

“Pastikan tidak ada pihak yang mengeksploitasi performanya. Anak magang sering diberi beban terlalu tinggi. Pantau kondisi divisi.”

Gema terpaku beberapa detik. Ia mengenal Liam—dingin, pekerja keras, tegas. Tapi ia juga tahu: Liam sangat menghargai keadilan.

Dan kalimat barusan… menunjukkan perhatian kecil yang nyaris tidak pernah ia tunjukkan pada orang lain.

“Baik, bos. Saya pastikan dia tetap bekerja sesuai kapasitas. Tidak lebih dari yang seharusnya.”

Liam hanya mengangguk tipis.

Setelah Gema keluar dan pintu tertutup, Liam kembali menatap layar tablet. Namun pikirannya tidak sepenuhnya fokus.

Nama itu—Anna—masih tersisa di sudut ingatannya. Bukan karena siapa orangnya, bukan karena rumor, dan bukan karena cerita Jordan.

Tapi karena sesuatu yang ia lihat sebagai pemimpin:

Potensi.

Dan bagi Liam Aldric—presdir yang selalu mengutamakan rasionalitas—potensi adalah aset terpenting.

Ia belum pernah melihat Anna.

Belum tahu wajahnya.

Belum tahu latar belakangnya.

Tapi ia tahu satu hal:

Jika kabar itu benar, Sovereign memiliki seorang magang yang kelak bisa menjadi bagian masa depan perusahaan.

Dan untuk pertama kalinya, Liam menandai sebuah nama intern dalam memorinya.

1
Noer Edha
karya ini membuat kita masuk dalm arus ceritqnya...setiap kalimatx tersusun..dan memuaskan bagi sqya yang membacanya..
Evi Lusiana
sial bner nasib ana thor punya boss ky gk puny hati
Evi Lusiana
dasar boss aneh,msih mencari² titik lemah ny seseorang yg bnr² cerdas
Evi Lusiana
kesempatan datang bwt ana
Drezzlle
udah jatuh tertimpa tangga ya rasanya pasti
Evi Lusiana
betul kt lusi,ceo kok gk profesional
Evi Lusiana
egois gk sih si liam,jd bos besar hrsny profesional kko pun mo memberi hukuman sm ana y gpp tp jgn smp smua org jd mengucilkany krn kmarahan liam sm smuany
Evi Lusiana
bagus critany thor,perusahaan yg tdk hny mnilai fisik lbih k kmampuan calon karyawan ny
Evi Lusiana
percayalah ana tiada perjuangan gg sia2
Evi Lusiana
mewek bacany thor,bayangin hdp merantau sndr menanggung beban sndri
Evi Lusiana
semangat ana kebahagiaan menantimu
Valen Angelina
makanya Liam jgn jahat2 ..nnti jatuh cinta gmn wkwkwkw🤣
Valen Angelina
bagus ceritanya...moga lancar ya 💪💪💪
Valen Angelina
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!