Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Iya, saya mahasiswa di sini," jawab Fajar dengan sopan meski jantungnya mulai berdegup tidak karuan.
Damar terkekeh—bukan tawa ramah, tapi tawa meremehkan yang sangat menyakitkan. "Serius? Lo mahasiswa Universitas Adidaya? Jurusan apa? Tukang sapu?"
Teman-teman Damar di belakangnya langsung meledak tertawa. Suara tawa mereka keras, menggema di ruangan kelas. Mahasiswa-mahasiswa lain mulai menoleh, memperhatikan apa yang terjadi.
Fajar mengepalkan tangannya di bawah meja. Wajahnya memerah menahan malu dan marah. "Saya jurusan Manajemen Bisnis. Sama seperti Anda."
"Oh, Manajemen Bisnis!" Damar mengangkat alisnya dramatis, seolah-olah terkejut. "Wah, lo mau jadi pengusaha? Dengan penampilan kayak gini?" Ia menatap kemeja lusuh Fajar, celana sobek, dan sepatu bolong dengan tatapan penuh hinaan.
"Penampilan tidak menentukan kemampuan," jawab Fajar dengan suara bergetar—berusaha tegas tapi suaranya mengkhianati.
"HAHAHA!" Damar tertawa lebih keras. "Penampilan tidak menentukan kemampuan? Lo pikir ini motivasi Instagram, Bro? Ini dunia nyata! Lo datang ke kampus sebagus ini dengan tampang kayak gitu, lo pikir lo bisa bertahan? Lo pikir orang-orang akan respect sama lo?"
Damar melangkah lebih dekat, berdiri tepat di depan meja Fajar. Ia membawa segelas kopi dingin Starbucks di tangannya—kopi yang harganya mungkin sama dengan uang makan Fajar tiga hari.
"Lo tahu nggak sih, kampus ini kampus elite," kata Damar dengan nada arogan yang sangat menyebalkan. "Mahasiswa di sini anak-anak orang kaya. Pengusaha, pejabat, artis. Bukan anak orang kampung kayak lo. Lo masuk ke sini karena beasiswa kasihan kan? Beasiswa untuk orang miskin?"
Fajar tidak menjawab. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal semakin kuat hingga kuku-kukunya menancap ke telapak tangan.
"Gue kasih tau ya," Damar melanjutkan sambil menggoyang-goyangkan gelas kopinya dengan santai. "Orang kayak lo itu nggak akan kemana-mana. Lo mau sekolah tinggi-tinggi, tapi ujung-ujungnya juga balik jadi apa? Petani? Buruh? Sama aja. Keturunan miskin ya tetap miskin. Itu hukum alam, Bro."
"Hukum alam bisa dilawan dengan kerja keras," jawab Fajar dengan suara yang mulai bergetar marah.
"KERJA KERAS?" Damar meledak tertawa. "Lo pikir orang kayak gue nggak kerja keras? Bedanya, gue punya modal. Gue punya koneksi. Gue punya nama keluarga. Lo? Lo punya apa? Baju lusuh dan sepatu bolong?"
Semua mahasiswa di kelas sekarang memperhatikan. Tidak ada yang membela Fajar. Beberapa malah ikut terkikik pelan, menikmati tontonan gratis ini.
Damar tersenyum licik. Ia menatap gelas kopi di tangannya, kemudian melirik Fajar.
"Gue kasih lo pelajaran pertama tentang dunia nyata," kata Damar pelan tapi terdengar sangat mengerikan.
Kemudian—
BYUUURRR!!!
Damar menuangkan seluruh isi kopi dinginnya ke kepala Fajar.
Cairan cokelat kental itu mengalir dari rambut Fajar, membasahi wajahnya, mengalir ke kemeja pudarnya, membuat bajunya basah kuyup dan lengket. Bau kopi yang manis bercampur dengan bau tubuh Fajar yang tidak pakai parfum menciptakan aroma yang sangat tidak enak.
Kelas terdiam sejenak.
Kemudian—
"HAHAHAHAHA!!!"
Ledakan tawa menggema. Mahasiswa-mahasiswa tertawa terbahak-bahak. Ada yang sampai memukul-mukul meja, ada yang merekam dengan handphone, ada yang berteriak:
"ASTAGA! GILA BANGET!"
"DAMAR SAVAGE BANGET SIH!"
"KASIAN BANGET TUH ORANG!"
"UDAH MISKIN, BASAH LAGI!"
Damar berdiri dengan santai, meletakkan gelas kosongnya di meja Fajar. "Mandi dulu sana, Bro. Bau miskin lo bikin ruangan ini bau. Kasian temen-temen yang lain."
Ia berbalik, berjalan kembali ke kursi depan dengan senyum puas. Teman-temannya menyambutnya dengan high-five dan tepuk tangan seolah dia baru saja melakukan sesuatu yang heroik.
Fajar duduk terdiam. Tubuhnya basah kuyup. Baju lusuhnya yang sudah ia setrika dengan susah payah sekarang basah dan lengket, menempel di tubuh kurusnya. Rambutnya basah, wajahnya basah, air mata hampir jatuh—tapi ia tahan. Ia gigit bibir bawahnya kuat-kuat hingga hampir berdarah.
Jangan menangis. Jangan menangis di depan mereka.
Tapi dadanya sesak luar biasa. Ia ingin berteriak. Ingin memukul. Ingin lari dari sini dan tidak pernah kembali lagi.
Pintu kelas terbuka. Dosen masuk—Pak Budi, dosen Pengantar Bisnis. Ia melihat Fajar yang basah kuyup, melihat mahasiswa-mahasiswa yang masih tertawa.
"Ada apa ini?" tanya Pak Budi dengan alis terangkat.
"Tidak apa-apa, Pak. Tadi dia kecipratan kopi saya secara tidak sengaja," jawab Damar dengan senyum polos yang sangat meyakinkan. "Maaf ya, Bro. Nggak sengaja. Kalau mau ganti baju di toilet dulu, nggak papa kok."
Pak Budi menatap Fajar. "Kamu mau ke toilet dulu?"
Fajar menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Saya baik-baik saja."
Karena aku tidak punya baju ganti, Pak. Karena ini satu-satunya kemeja yang pantas aku pakai. Karena kalau aku keluar dari kelas ini, aku takut aku tidak akan punya keberanian untuk masuk lagi.
"Baiklah," Pak Budi tidak bertanya lebih lanjut. Ia mulai mengajar seolah tidak terjadi apa-apa.
Sepanjang kuliah, Fajar duduk di pojok dengan baju basah dan lengket. AC ruangan membuat tubuhnya kedinginan—ia sampai menggigil. Bau kopi dari bajunya tercium menyengat. Beberapa mahasiswa di sekitarnya pindah duduk, menjauh, seolah Fajar adalah sampah yang harus dihindari.
Damar sesekali menoleh ke belakang, menatap Fajar dengan senyum sinis, berbisik sesuatu pada teman-temannya, dan mereka tertawa pelan sambil melirik Fajar.
Fajar tidak mendengarkan kuliah. Ia hanya duduk diam, menatap meja kosong di depannya. Pikirannya melayang.
Kenapa aku ada di sini? Kenapa aku memaksa diri datang ke tempat yang jelas-jelas bukan untukku? Mungkin Bu Darmi benar. Mungkin orang miskin seperti aku memang tidak pantas mimpi setinggi ini.
Tapi kemudian ia teringat wajah ibunya yang menangis saat memeluknya. Wajah ayahnya yang menitipkan sepeda dan jarum akupuntur dengan penuh harap. Wajah Rani yang memohon agar ia tidak menyerah.
Tidak. Aku tidak boleh menyerah. Baru hari pertama. Aku tidak boleh menyerah.
Kuliah berakhir setelah dua jam yang terasa seperti dua tahun bagi Fajar. Mahasiswa-mahasiswa berhamburan keluar. Damar berjalan melewati Fajar, dengan sengaja menabrak bahunya keras.
"Hati-hati jalan, Bro," kata Damar sambil tersenyum sinis. "Jangan sampai tersandung kakinya sendiri."
Teman-temannya tertawa. Mereka keluar dengan gaya arogan, meninggalkan Fajar sendirian di kelas.
Fajar duduk lama di kursinya. Menunggu sampai semua orang pergi. Kemudian ia berdiri dengan kaki gemetar. Ia berjalan keluar kelas dengan baju masih basah, kepala tertunduk, berusaha tidak terlihat oleh siapapun.
Di koridor, beberapa mahasiswa yang tadi merekam kejadian itu sedang menonton video sambil tertawa.
"Gila sih Damar, sadis banget!"
"Kasian banget tuh cowok. Tapi emang sih, dia ngapain sih masuk kampus ini. Jelas-jelas nggak level."
"Pasti dia mahasiswa beasiswa miskin. Gue udah denger dari temen gue di admin."
Fajar mendengar semuanya. Setiap kata menusuk seperti pisau. Tapi ia terus berjalan. Tidak menoleh. Tidak berhenti.
Ia keluar kampus, mengambil sepeda tuanya, kemudian mengayuh pulang. Sepanjang jalan, air matanya mengalir. Ia tidak peduli lagi. Ia menangis sambil mengayuh sepeda. Orang-orang di jalan menatapnya aneh—pemuda basah kuyup bau kopi menangis sambil naik sepeda tua—tapi ia tidak peduli lagi.
Sampai di kos, ia langsung masuk kamar, menutup pintu, dan jatuh terduduk di lantai.
Ia memeluk lututnya, menangis sejadi-jadinya.
"Kenapa... kenapa mereka begitu kejam..." isak Fajar. "Apa salahku? Apa salahku dilahirkan miskin? Apa salahku tidak punya pakaian bagus? Apa salahku bermimpi untuk sukses?"
Tidak ada yang menjawab. Hanya dinding berjamur yang menatapnya dingin.
Malam itu, Fajar tidak makan. Ia hanya berbaring di kasur tipisnya, menatap langit-langit yang bocor. Bajunya yang basah masih melekat di tubuhnya—ia tidak melepasnya karena terlalu lelah secara mental.
Di pergelangan tangannya, gelang rajutan dari Rani masih terpasang—sudah basah juga karena kopi, tapi tetap terpasang.
Ia menggenggam gelang itu erat.
"Rani... Ibu... Ayah..." bisiknya pelan. "Aku janji akan bertahan. Meskipun sakit. Meskipun direndahkan. Aku janji tidak akan pulang dengan tangan kosong. Aku janji."
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.