Seorang pemuda tampan yang katanya paling sempurna, berkharisma, unggul dalam segala bidang, dan yang tanpa celah, diam-diam menyimpan sebuah rahasia besar dibalik indahnya.
Sinan bingung. Entah sejak kapan ia mulai terbiasa akan mimpi aneh yang terus menerus hadir. Datang dan melekat pada dirinya. Tetapi lama-kelamaan pertanyaan yang mengudara juga semakin menumpuk. "Mengapa mimpi ini ada." "Mengapa mimpi ini selalu hadir." "Mengapa mimpi ini datang tanpa akhir."
Namun dari banyaknya pertanyaan, ada satu yang paling dominan. Dan yang terus tertanam di benak. "Gadis misterius itu.. siapa."
Suatu pertanyaan yang ia pikir hanya akan berakhir sama. Tetapi kenyataan berkata lain, karena rupanya gadis misterius itu benar-benar ada. Malahan seolah dengan sengaja melemparkan dirinya pada Sinan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yotwoattack., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A M BAB 08 - terlalu ganteng.
Mereka tidak lagi tersiksa oleh paparan cahaya terik di karenakan kelas olahraga yang memang telah berakhir. Setelah melewati beberapa kelas lain sampai jam telah menunjukkan waktu makan siang, para murid lantas langsung berhamburan. Tak lain dengan Sinan dan Dinya yang juga sedang berjalan menuju kantin.
"Kemarin katanya gamau ke kantin. Gak suka banyak orang katanya." Sinan mengejek. Ia masih berada dalam kekangan pandang para murid. "Ngaku gak, pasti udah ketagihan sama makanan-makanan disana."
Gadis yang ia goda lagi-lagi tak bereaksi. Namun tentu itu tak membuat senyum manis Sinan luntur. Kedua tangan miliknya malah terangkat menopang kepala, dengan sedikit mendongak lalu menunduk lagi untuk menyapu wajah Dinya yang hanya mengayun tungkai kecilnya sembari pandangan itu menyorot lurus.
Tap..
Tap..
Sesampainya di kantin, mereka lantas berniat berjalan menuju meja kemarin namun mendapati mejanya yang telah diisi, tangan Sinan lantas hinggap di pundak sang gadis dan membawanya untuk berjalan lagi.
"Mau beli jajanan sambil nunggu mejanya kosong?" Tawar Sinan yang langsung mendapat gelengan. "Kalau gitu.. ayo kita beli terus makan di kelas. Kalau gak kelas taman, kalau gak taman duduk-duduk di kursi belakang gedung."
Berjalan sesuai rencana, setelah membeli beberapa makanan serta minuman mereka lantas mengayun tungkai sampai akhirnya perjalanan keduanya terhenti di sebuah meja kayu lengkap dengan beberapa kursi. Sinan dan Dinya duduk berhadapan-hadapan sambil pihak lelaki mengeluarkan apa yang ia bawa.
Cetak.
Sinan membuka kaleng lalu meneguk minuman soda itu sampai setengah tandas. Di hadapannya, terdapat seorang gadis yang dengan datar mengunyah roti. Sepasang netra bulat itu menatap liar kearah sekitar sampai tatapannya terhenti pada Sinan yang memang dari sejak awal sudah memperhatikan Dinya.
"Dinya, gimana dua harian ini? Seru gak temenan sama aku?" Topik itu Sinan buka sembari menggeser beberapa makanan untuk disodorkan. "Kesan pertama kamu pas kenalan sama aku gimana? Kalau aku sih.. entah kenapa langsung ngerasa akrab."
Mengamati gadis itu mengunyah dengan raut santai membuat Sinan lebih gencar menyodorkan makanan yang seabrek. Entah mengapa ia jadi mendapatkan dorongan untuk membuat Dinya gembul.
Cetak.
Sinan membuka botol air mineral lalu menyodorkan itu, yang ternyata langsung disambut. Bagus. Bagaimana bibir Dinya mengapit sedotan tanpa sadar membuat Sinan menelan ludah.
"Baik. Lo juga orang pertama yang ngajak gue kenalan." Santai gadis itu setelah terdiam cukup lama. "Tapi ada minusnya."
Penuturan itu membuat Sinan terdiam sambil alis ini terangkat. Seingatnya dua harian ini hanya perlakuan baik saja yang ia tunjukkan, Sinan yang selalu percaya diri itu bahkan menjadi jaim agar Dinya menilainya sebagai pemuda berbudi luhur dan pekerti. Pokoknya harus terlihat baik luar dan dalam.
"Apa tuh minusnya." Sinan tampak penasaran lalu sedetik kemudian senyum jahil muncul di wajahnya. "Terlalu ganteng?"
Lirikan tajam bercampur muak itu langsung menghunus Sinan, yang sontak membuat pemuda tampan tersebut menyemburkan tawa. Setelah kekehan sedikit mereda, ia baru bertopang dagu untuk memandangi Dinya.
Menggerakkan tangan untuk mengambil dan menghirup menghirup milkshake bekas gadis datar tersebut.
"Cewek-cewek lo kebanyakan."
Hampir saja Sinan menyemburkan apa yang ada di dalam mulutnya. Terbatuk ia sambil menyapu sisa-sisa yang ada dengan punggung tangan, pandangan itu melotot untuk menatap si pelaku begitu shock.
"Maksudnya cewek-cewek lo kebanyakan itu apa, ya ampun." Tutur kaget pemuda tersebut. Tentu saja Sinan kaget. Jelas. "Dinya, mana pernah aku kayak begitu-begitu. Astaga."
"Kalau bukan cewek berarti apa? Penggemar fanatik?" Datar Dinya seolah tak terganggu dengan keterkejutan si tampan. "Kalau gitu penggemar fanatik lo itu. Mereka ngirim ribuan chat, bahkan alasan kenapa gue minjem seragam olahraga lo tadi pagi juga karena mereka."
Sinan terdiam karena tertampar fakta. Tangannya terangkat untuk mengusap poni sampai kebelakang kepala. Bisa-bisanya ia lupa.
"Maafin, kamu diapain. Duh bisa-bisanya lengah gini." Dengan santai dan tanpa canggung Sinan genggam tangan mungil Dinya. Mengelus punggung tangan si dia dengan jari jempol. "Jadi sekarang gimana, aku bingung. Apa kamu aku pacarin aja biar mereka diem."
Plak.
Tepukan dari tangan Dinya yang satunya membuat Sinan terkekeh. Gadis itu menatap datar dengan raut yang senada. Sungguh khas.
Mengerucutkan. "Habisnya." Lemah pemuda itu sambil memainkan jari-jemari mungil pada telapak tangan. Melirik wajah datar Dinya lalu menundukkan pandangan lagi.
Sinan merasa bersalah sekaligus bingung.
Ingatannya tiba-tiba terlempar pada kejadian dua tahun lalu, ketika seorang gadis yang dirumorkan dekat dengannya pindah sekolah dengan membawa trauma.
Sebenarnya bukan hanya karena belum mendapatkan gadis disuka, tapi Sinan juga mencegah agar tidak terjadi hal-hal yang seperti itu lagi. Meski ia tetap menyapa dan bersikap ramah, tetapi sama sekali tidak ada reaksi lebih yang dirinya berikan sehingga tiada lagi kejadian serupa yang pernah terjadi.
Srek.
Melirik kearah Dinya yang hanya diam sembari memperhatikan bagaimana dia mengelus jari-jemarinya, dan ketika ingatan tentang seberapa brutal Sinan menempeli gadis itu dua harian terakhir.
Sinan seketika meringis.
Jika yang hanya dirumorkan saja bisa sampai pindah sekolah karena trauma, apalagi Dinya yang bahkan sudah Sinan beri boneka tepat satu hari setelah mereka berkenalan.
Belum lagi dengan bagaimana Sinan memusuhi Max—sahabatnya yang notabene mereka tidak pernah terlibat perselisihan. Juga dengan fakta bahwa ia yang mulai berpikir untuk menjauhi, Bianca, Valerie, Parel, Mike dan yang lainnya.
"Dinya." Sinan mengangkat pandangan lesu. Nadanya begitu lemas. "Ayo pacaran. Biar aku bisa terang-terangan ngejagain kamu."
"Gak." Tolak gadis itu langsung.
Sinan mendengus. Sungguh pengalaman menembak pertama yang ironi.
"Lo ama gue baru kenal kemarin. Hadeh."
"Jadi gimana." Sinan tidak tersinggung karena jawaban itu sudah sesuai prediksi. Malahan ia melirik Dinya dengan begitu rumit sebelum kembali menunduk sambil menghembuskan nafas panjang.
Tiba-tiba modus yang ingin duduk berdua sambil makan-makan romantis berubah menjadi pengakuan kejahatan sampai penolakan cinta. Hancur lebur bersamaan dengan situasi yang berubah menjadi begitu memusingkan.
Aih.. Sinan terkekeh.
Ditambah lagi dengan kalimat dari Max dan Bianca yang belum tentu tidak melukai hati gadis di depannya itu. Meski wajah Dinya setia datar, belum tentu gadis tersebut benar-benar tidak perduli. Begitu pikir Sinan.
"Kenapa." Ujar Dinya sambil mengamati bagaimana pemuda tampan tersebut pusing sendiri. "Gak mungkin marah karena ditolak."
Sinan masih dengan lesu mengangkat pandangan lagi, menatap Dinya lalu menggeleng.
"Aku mikirin kamu. Kedepannya kamu di sekolah ini gimana."
"Gak bakal gimana-gimana. Emang bakal kenapa."
Sahutan datar yang terkesan tidak perduli itu menciptakan hembusan panjang milik si pemuda mengudara, masih dengan jempol yang mengelus punggung tangan Dinya, Sinan tersenyum kikuk.
Sorotnya melayang seolah menari-nari ketika mengingat seberapa deras tangis gadis beberapa tahun lalu ketika menyampaikan bahwa ia akan pindah membawa segala penderitaan yang dirasanya.
Srek.
"Gak yang seremeh itu, Dinya." Lembut Sinan dengan nada penuh pengertian dan dengan harapan akan dimengerti. "Tapi untuk beberapa hari kedepannya, kita berdua harus terus nempel. Biar aku bisa jagain kamu. Aku bakal pastikan semua aman."
"Heum.. ini modus atau emang ketulusan seorang ketua kelas dalam menjaga murid baru?"
"Dua-duanya."