Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pintu Yang Tidak Boleh di Buka
Tok. Tok. Tok.
Suara itu lahir dari kegelapan, muncul dari balik kayu tua yang telah berusia lebih dari satu abad. Setiap ketukan seperti detak jantung yang terlupakan, memecah kesunyian malam merasuk hingga ke sumsum tulang.
Raga menahan napas, udara di paru-parunya terasa beku. Koridor panjang di rumah panggung menyempit, dinding-dindingnya bernapas bersama aroma melati yang semakin pekat. Wanginya bukan lagi sekadar bunga, melainkan sudah menjadi entitas sendiri—menyapu setiap sudut, merasuk ke dalam pori-pori kayu, dan mengisi ruang dengan kepadatan yang hampir dapat diraba.
Ibu, di sampingnya, menggigil hebat. Pelukan tubuhnya sendiri semakin erat, mencoba mencegah jiwa yang hendak terlepas dari ketakutan. Matanya yang teduh kini melotot, menerawang ke arah pintu bilik di ujung koridor.
Pintu itu, semenjak Raga kecil, selalu dalam keadaan tertutup rapat. Kuncinya besar, berkarat, dan diikat dengan tali ijuk yang telah menghitam. Tak seorang pun diizinkan mendekat, apalagi membukanya. Larangan itu adalah hukum pertama dalam keluarga mereka.
“Bujang,” suara Angku terdengar kembali, padat dan mengakar akar beringin, tubuh ringkih dibalut baju putih sederhana berdiri tegak sebagai penghalang pertama. “Ingat sumpah datuk mu. Ingat darah yang mengalir dalam nadi mu. Jangan sekali-kali mendekati pintu itu, apa pun yang terjadi.”
Raga mengangguk, tapi pertanyaannya tak tertahan. “Kalau… kalau itu dia, Angku? Kalau itu Arumi?” Nama itu menggantung di udara, menambah beban menyesakkan, sebuah perjanjian mengikat darah keturunannya.
Angku memejamkan mata sejenak. Keriput di wajahnya semakin dalam. “Kalau Arumi, tidak perlu mengetuk dapat muncul seperti kabut di pagi buta, atau bayangan di sudut matamu. Yang mengetuk itu … adalah yang meminta izin. Dan kita tidak boleh memberikannya.”
Ibu menutup mulut menahan jeritan meledak.
Raga, di tengah kepungan ketakutan, merasakan gelora lain: penasaran yang menusuk-nusuk. Bagaimana wujud bilik itu di dalam? Apa yang dijaganya selama puluhan tahun? Mengapa darahnya, sebagai cucu laki-laki satu-satunya dari garis Tuanku Haji Rusdi, begitu penting?
Ketukan kembali terdengar. Tok… Tok… Tok… Lebih pelan, lebih dalam, seperti buku-buku jari kehilangan daging. Disusul suara gesekan halus—ssst… ssst…—kain sutra atau rambut panjang diseret di atas lantai kayu yang berdebu.
Angku bergerak membuka bungkusan kecil kain hitam bersusun rapi, daun sirih segar, segenggam garam kasar, sepotong kapur sirih, dan beberapa kuntum bunga kenanga kering. Ilmu untuk membuka atau mengunci sesuatu yang tidak seharusnya terbuka.
“Dengar baik-baik, Bujang,” Angku berbisik sambil mengunyah sirih bercampur kapur sirih . “Pintu ini bukan sekadar kayu dan paku. Ini perbatasan. Di sini, di rumah ini, dunia kita bersinggungan dengan dunia lain. Perjanjian Tuanku Haji Rusdi adalah tapal batasnya. Kita yang hidup adalah penjaga tapal batas itu.”
Ia mengunyah perlahan, lalu menyemburkan campuran sirih dan kapur merah menyala ke arah daun pintu berdesis panas.
Seketika, ketukan berhenti, sunyi datang. Raga bisa mendengar denyut jantungnya sendiri, deru darah di telinganya, dan napas pendek ibu. .
Lalu terdengar suara napas halus, dangkal, berjarak sehelai daun pintu dari mereka. Hhh… Hhh… Teratur, tapi terlalu pelan untuk manusia. Terlalu… mengandung niat.
Raga bergidik. “Angku…” Ia ingin lari, tapi kakinya tertanam di lantai. “Ada… ada yang berdiri di sana. Di balik pintu.”
“Angku tahu,” jawabnya tegang untuk pertama kalinya. “Angku tahu siapa yang berdiri di sana setiap malam Jumat Kliwon. Tapi ia bukan yang kamu kira, Bujang. Yang kamu dengar itu bukan Arumi. Bukan nenek buyutmu yang merindukan cucu.”
Ibu menarik lengannya mundur. “Ayo, Nak. Kita pergi dari sini. Biarkan Angku yang urus.”
Tapi Raga tak bisa bergerak. Ada tarikan aneh di dalam jantungnya terhubung kebalik pintu. Sesuatu yang kontradiktif: ketakutan yang membuat lututnya lemas, tapi sekaligus kerinduan mendalam akan nyanyian dari masa kecil terlupakan.
Aroma melati segar, bersih, seperti bunga bermekaran setelah hujan pertama. Udara terasa lebih ringan. Dan dari balik pintu, terdengar suara samar menghujam memanggilnya
“…Raga…”
laki laki itu menggigil mengenal suara yang muncul dalam mimpinya, perempuan muda, lembut, penuh kasih seperti resonansi dari balik kayu tua.
“Jangan jawab, Nak!” Ibu menjerit,“Itu tipuan! dia bukan suara manusia!”
Tapi suara itu terlalu menggoda. Terlalu akrab. Sebelum sadar, kata-kata telah meluncur dari mulutnya: “A-aku di sini…Arumi ."
Braakk!
Pintu bergetar keras seperti ditendang atau dihantam kekuatan besar dari dalam. Seluruh rangkanya berderak, debu beterbangan dari sela-sela papan.
Ibu menjerit panjang. Raga terhuyung mundur, punggungnya membentur dinding. Angku nyaris terjatuh, tetapi berhasil bertahan dengan berpegangan pada tongkatnya.
“Raga!” teriak Angku, suaranya pecah oleh kemarahan dan ketakutan. “Kamu baru saja memberinya izin! Dengan menyebut ‘aku di sini’, Kamu menjawab panggilannya, Raga ! Jika kamu menjawab sekali lagi, berarti kamu menerima undangannya masuk!”
Raga terpana, mulutnya terbuka tidak tahu. Larangan selama ini hanya ‘jangan dekati pintu’, tidak pernah dijelaskan ‘jangan menjawab panggilan’.
Ketukan kembali terdengar. Tapi kali ini berbeda. Bukan satu tangan, tapi dua—atau lebih, berirama cepat, bersahutan.
Aroma melati segar berubah menjadi bau tanah yang baru dibongkar, lembap, berat, dan bau kuburan.
Angku memicingkan mata, wajahnya penuh konsentrasi mencium udara.“Ini bukan Arumi,” bisiknya hampir tak terdengar. “Ini berbeda.'
“Lalu siapa, Ngku?!”
Angku mengambil segenggam garam, “Perjanjian Tuanku Haji Rusdi rumit, Bujang. Ia tidak hanya berurusan dengan arwah Arumi yang terikat di dunia ini. Tapi ada hierarki, penjaga perjanjian.
"Dan ada utusan memastikan syarat-syarat terpenuhi.” Ia menghela napas“Yang mengetuk sekarang… adalah penagih. Ia muncul ketika garis darah terpilih mulai goyah, ketika janji hampir dilanggar. Ia datang untuk menagih hutang perjanjian.”
Raga terhuyung seperti pukulan menghantam dadanya. “Penagih… hutang? Hutang apa?”
“Hutang darah,” jawab Angku singkat. “Keturunan laki-laki dari garis Tuanku Haji Rusdi dijaga, dilindungi, diberi berkah tertentu. Tapi sebagai gantinya, suatu hari, salah satu dari kalian harus memenuhi perjanjian itu, masuk bilik, dan tinggal di dalamnya.”
Tok! Tok! Tok!
Ketukan kali ini semakin keras,
“…Bujang… buka pintu… buka…”
Suara perempuan rintih tidak memiliki emosi. Tidak ada kerinduan, tidak ada kasih sayang, dari cangkang meniru bentuk kehidupan.
Angku memegang dadanya, wajahnya semakin pucat. “Ia menggunakan suara untuk memancing, Arumi, suara yang paling kamu rindukan, tapi itu hanya perangkap.”
Raga memejamkan mata, menutup telinganya Tapi suara itu menembus langsung ke dalam benaknya“…kamu dipanggil… sudah waktunya… buka…”
Pintu kembali bergetar, retakan kecil muncul di kayu yang sudah tua. Dari celah itu, keluar hembusan angin dingin membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang manis tapi berbau menyengat— bunga di areal
kuburan.
Ibu histeris. “Ayah! Pintu itu akan jebol! Lakukan sesuatu!”
Angku berdiri tegak, mengangkat tongkat kayu hitamnya tinggi-tinggi. “Raga! Pegang erat ibumu! Jangan lepaskan dia, dan jangan bergerak dari tempat.!”
Raga merengkuh ibunya, tubuh terasa ringan dan rapuh,
Angku menutup mata, menarik napas dalam mulai melantunkan doa. Ini bukan ritual biasa tapi gesekan batu dan desis ular. Lantunan doa mengisi udara membuat giginya bergemeretak.
Rumah beraksi, lampu gantung sisa dari zaman kolonial berayun-ayun keras. Angin berputar membentuk pusaran kecil di tengah koridor, mengangkat debu dan sobekan kain.
Dinding-dinding kayu berderit, kapal tua diterjang badai bergoncang hebat. Bukan hanya dari dalam, tapi seluruh struktur rumah menolak menekan pintu itu tetap tertutup.
BRAAAKKK!
Retakan panjang menganga di tengah pintu, dari atas ke bawah. Dari celah selebar jari itu, keluar cahaya redup kehijauan bagai kunang-kunang di kuburan.
Aroma melati hilang berganti bau tanah lapisan dalam, bau akar membusuk, bau besi berkarat, dan daging mati.
Suara parau, serak, berasal dari tenggorokan penuh tanah. Dan yang paling mengerikan bertumpuk menjadi satu, nada dan kecepatan berbeda. “…RA–GAAA… DATANG… KESINI… JANJI… HUTANG…”
Ibu menjerit histeris, tubuhnya lemas.Laki laki itu memeluknya erat, berusaha menahannya berdiri. Tapi kakinya sendiri seakan terbuat dari agar-agar.
Angku membuka mata, biasanya bijak dan tenang kini merah—bukan merah karena marah, tapi seperti orang menahan sakit yang sangat besar. Ada garis-garis air mata di pipinya yang berkerut.
“Bujang…” suara Angku berat, terpatah-pata. “Dengarlah kata-kataku. Kalau pintu itu jebol… ia tidak akan langsung mengambil mu. Itu bukan caranya.”
Raga menatapnya, tak mengerti.
Angku menunjuk ke arah Ibu yang setengah pingsan di pelukan Raga. “Penagih akan mengambil yang paling kau cintai terlebih dahulu. Untuk membuatmu menderita. Untuk membuatmu menyerah. Ibumu… akan menjadi tebusan pertama.”
Rasa dingin yang bukan berasal dari udara menyebar di tubuh Raga memandang wajah ibunya yang pucat, mata tertutup, bibir bergetar berdoa. Ibunya, yang selalu melindunginya, yang berkorban segalanya untuknya.
“Tidak…” rengek Raga. “Angku, tolong… jangan biarkan…”
Braak
Kali ini, suaranya seperti petir. Sebagian dari pintu terbelah. Sebuah papan kayu panjang terlepas dan jatuh ke lantai dengan suara keras. Dari celah yang sekarang selebar lengan, keluar secarik kain putih—kain kafan, lama, kotor oleh tanah dan jamur. Kain itu terseret keluar seperti diseret oleh sesuatu di dalam.
Lalu, muncul jari-jemari pucat. Bukan pucat orang hidup, tapi pucat seperti lilin yang sudah lama disimpan. Kuku-kukunya panjang, kotor, dan hitam. Jari-jari itu mencengkeram tepi kayu yang pecah, mencoba membuka celah itu lebih lebar.
Angku berteriak dengan suara yang mengguncang jiwa: Raga tutup matamu sekarang, jangan lihat wajahnya.
Insting mengambil alih. Raga memejamkan matanya rapat-rapat, memeluk ibunya sambil menundukkan kepala.
Tapi… ia terlambat sedetik.
Sebelum matanya tertutup sempurna, sebelum kegelapan total menyelimuti penglihatan menangkap gambar dari celah pintu yang terbelah, sosok perempuan berdiri di baliknya.
Bukan Arumi yang dalam gambaran selama ini—tapi perempuan cantik dengan kebaya dan sanggul rapi, lebih tinggi, rambutnya hitam panjang, kusut, menjuntai menutupi sebagian wajah dan dagu yang terlalu runcing, dan… senyuman.
Bibirnya meregang lebar, menunjukkan gigi-giginya yang putih, terlalu rapat, terlalu banyak. Senyuman itu membentang dari telinga ke telinga, tidak wajar penuh dengan kesenangan jahat, janji penderitaan.
Dan dibalik kegelapan bilik, Raga melihat ada cahaya-cahaya kecil lainnya bergerak-gerak seperti mata, banyak mata.
Lalu ia menutup tersisa hanyalah kegelapan, teriakan ibunya, lantunan doa Angku yang semakin keras, dan suara pintu pecah perlahan-lahan.
Di kegelapan itu, hanya ada satu pikiran di benaknya, ini salahku, aku yang memanggilnya, dan aku yang membuka celah ini.
Sekarang ia harus membayar harganya
dengan darah. Atau dengan jiwa orang yang paling ia cintai.