Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 21 Benar-benar Menjadi Simpanan
"Kak!" pekik Andini terkejut Edwin dipukul oleh Bima--kakaknya.
Pagutan Edwin dan Andini seketika terlepas seiring Bima yang memukul Edwin. Bima menarik Andini bangkit dari pangkuan Edwin lalu menjauhkan dari pria itu.
Bukannya marah, Edwin justru tersenyum senang karena berhasil menunjukkan pada Bima bila Andini tidak menolak saat dirinya mencium gadis itu.
"Kenapa kamu diam saja dicium Pak Tua itu?" tanya Bima menatap tajam pada Andini yang justru menundukkan kepala.
Edwin bangkit dari duduknya lalu menghampiri Bima yang sedang memarahi Andini.
"Sudahlah, Bim, jangan kamu marahi Andini. Sebaiknya kamu datangi kekasih mu agar bisa berciuman dan tidak iri pada adikmu."
Bima melotot. Dia memarahi Andini bukan karena iri pada adiknya yang berciuman melainkan marah karena Andini tak menolak saat ada seorang pria yang menciumnya.
"Heh, Pak Tua! Saya tahu anda haus belaian seorang wanita, tapi jangan anda jadikan Andini sebagai pelampiasan anda."
"Aishh kamu ini, Bima, berfikirmu terlalu jauh. Sebaiknya kamu pulang, kencani kekasihmu siapa tahu dia hamil dan kamu akan direpotkan olehnya jadi tidak mengurusi lagi urusan saya dengan Andini."
Bima menatap kesal pada Edwin bisa-bisanya dia diusir dari sini padahal dia kakaknya Andini gadis yang dijadikan simpanan oleh pria itu. Meski kesal namun Bima menuruti perkataan Edwin demi kebaikan bersama karena tak tahan dengan Edwin yang semena-mena pada adiknya
"Maafkan kakak saya, ya, Pak," kata Andini setelah kepergian Bima dari apartemennya.
Edwin mengangguk. "Tak apa, sikap posesifnya itu menandakan bila dia sangat menyayangi kamu."
"Iya, Pak, dia sangat menyayangi saya."
"Kalau begitu bisa kamu obati rahang saya yang dipukul kakakmu?" tanya Edwin menunjuk rahangnya yang tadi dipukul Bima.
"Bisa, Pak, saya siapkan kompresnya dulu."
"Heem, saya tunggu dikamar ya."
Andini mengangguk dan Edwin masuk kedalam kamar. Andini menyiapkan kompres untuk mengobati bekas pukulan dirahang Edwin.
Sementara Edwin yang sudah masuk kamar langsung menaiki ranjang lalu duduk bersandar dikepala ranjang menunggu Andini datang mengompres rahangnya.
Tangan Edwin membuka ponsel yang sejak tadi dia abaikan. Ada 20 panggilan tak terjawab dari Mona dan rentetan pesan yang dikirim Mona agar dirinya mau menjawab panggilan telepon tersebut. Edwin hanya melihat dan membaca pesan itu namun tak ingin menelpon balik maupun membalas pesan dari istrinya itu.
Menghembuskan nafas berat Edwin meletakkan ponselnya diatas nakas. Tak lama Andini datang dengan membawa baskom beserta es batu dan handuk kecil.
Andini naik keatas ranjang duduk berhadapan dengan Edwin yang sedang bersandar lalu mulai mengompresnya.
"Tidak memar," kata Andini yang sedang mengompres bekas pukulan Bima dirahang Edwin.
Edwin terkekeh geli, dia memang sengaja meminta Andini untuk mengobati bekas pukulan Bima bukan karena sakit atau memar melainkan agar Andini menyentuh dirinya.
"Masa sih? Tapi kenapa rasanya ngilu sekali?" tanya Edwin sambil menggerak-gerakkan rahangnya.
"Mungkin karena kak Bima mukulnya tepat dirahang anda, Pak."
"Mungkin saja."
Edwin membiarkan Andini tetap mengompresnya. Dia menatap wajah Andini yang begitu dekat dengannya. Gadis dihadapannya ini sangat menarik, membuatnya selalu berdesir saat bersamanya. Edwin lalu mencekal tangan Andini yang sedang mengompresnya, menarik tengkuk gadis itu lalu menciumnya.
Andini membalas ciuman Edwin mereka saling berpagut cukup lama hingga hampir kehabisan nafas barulah mereka saling melepas ciuman itu. Edwin mengusap bibir Andini yang basah dengan air liurnya lalu tersenyum senang.
"Sudah malam sebaiknya kita istirahat," kata Edwin mengambil alih kompresan ditangan Andini lalu meletakkannya diatas nakas.
"Iya, Pak, besok juga saya harus kerja."
Edwin mengangguk lalu merebahkan tubuhnya lebih dulu merentangkan tangannya dan menepuk tempat disebelahnya meminta Andini untuk tidur disana.
Andini mengangguk dia lalu merebahkan tubuhnya disebelah Edwin, meletakkan kepalanya dilengan pria itu membuat Edwin langsung mendekapnya erat. Mereka tidur dalam satu ranjang dan selimut yang sama dengan saling berpelukkan.
...****************...
"Besok pagi aku pulang, Mas."
Edwin baru saja membaca pesan yang dikirimkan Mona padanya. Selama satu minggu ini Mona selalu mengiriminya pesan namun tak pernah dia balas. Mona menelponnya juga tak pernah dia angkat meski dia sangat merindukannya.
"Bila anda merindukannya kenapa tidak pernah menjawab panggilan teleponnya?" tanya Andini yang tiba-tiba datang sembari membawa secangkir kopi ditangannya.
Andini melihat Edwin sedang menatap ponselnya yang menampilkan foto pria itu dengan istrinya namun yang Andini amati selama satu minggu ini Edwin tak pernah menjawab panggilan telepom dari sang istri.
Selama satu minggu ini Edwin memang tinggal diapartement bersamanya sehingga Andini tahu bila Edwin selalu mengabaikan panggilan telepon dari istrinya.
"Tidak, An."
Andini mengangguk, dia tak bertanya lagi dan memilih meletakkan kopi yang dia buat dihadapan Edwin lalu duduk di sebelah pria itu.
"Besok ibu saya akan dilakukan akupuntur. Saya sudah izin pada manager restoran bila tidak masuk kerja," kata Andini memberi tahu Edwin.
"Ya, temani saja dulu ibumu lagi pula sebentar lagi kamu akan aktif kuliah."
"Iya, Pak, tapi kalau saya sudah aktif kuliah malamnya masih bisa bekerja kan?" tanya Andini.
"Sebaiknya kamu berhenti saja bekerja jadi malam hanya menemani saya dan beristirahat."
"Tapi, Pak, saya takut dengan pandangan orang karena saya hidup nyaman tanpa bekerja."
"Tidak usah perdulikan pandangan orang, bila ada orang nyinyir berarti dia iri padamu. Nikmati saja apa yang saya berikan padamu."
"Iya Pak," kata Andini.
Edwin lalu menarik Andini mendekat padanya, menghidupkan televisi dan menonton bersama.
Setiap malam mereka menghabiskan waktu bersama, makan bersama, menonton bersama dan tidur bersama. Sebelum tidur mereka berciuman lebih dulu bertukar saliva satu sama lain tapi malam ini Edwin ingin lebih dari itu.
"Puaskan saya, An," pinta Edwin setelah mereka pindah kekamar dan saling berpagut disana.
Ini permintaan Edwin yang kedua setelah minggu lalu Andini tak mengiyakan permintaannya. Andini bimbang, bingung hendak menolak dia tak bisa tapi mengiyakan dia tak tahu caranya.
Andini menatap Edwin yang sudah mengungkungnya lalu menganggukkan kepala.
"Ajari saya cara memuaskan anda tanpa penyatuan, Pak."
"Tentu," kata Edwin dengan bibir tersenyum lebar.
Edwin mengarahkan Andini untuk menyenangkannya, memuaskan dirinya tanpa penyatuan karena bagaimanapun dia pria normal yang kebutuhan biologisnya ingin terpenuhi namun dia tetap harus menjaga kesucian gadis yang sedang bersamanya.
Edwin menggeram nikmat saat miliknya mengeluarkan sesuatu yang sudah seminggu tak dikeluarkan.
Wajah Andini memerah dia malu pada Edwin dan dirinya sendiri. Karena ajaran Edwin Andini jadi sebinal ini. Sungguh Andini tak menyangka bila dirinya kini benar-benar telah menjadi simpanan Edwin. Memberi perhatian dan memuaskan pria itu.