Rania Putri Handono kaget saat matanya terbuka dan berada di ruangan asing dan mewah. Lebih kaget lagi, di sampingnya terbaring dengan laki-laki asing dalam kondisi masing-masing polos tak berbusana.
Tak lama, pintu kamar dibuka paksa dari luar. Mahendra, suami Rania mendekat dan menampar pipi putih hingga meninggalkan bekas kemerahan.
Kejadian yang begitu cepat membuat Rania bingung.
Apakah rumah tanggganya selamat atau hancur?
Simak aja kisah ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IGD
Sementara Raditya tak henti-hentinya memandang wajah sayu yang masih terpejam di pangkuannya itu.
Sampai di IGD, Raditya dengan cepat mengangkat tubuh wanita yang akhir-akhir ini mengusik pikirannya.
Rania ditaruh di atas brankar, dan seorang petugas IGD membawanya masuk ruangan.
"Maaf tuan, anda tak boleh masuk" cegah perawat itu saat Raditya ikutan mendorong masuk ruangan.
Raditya mengacak rambutnya kasar. Wanita yang sedang ditelusurinya ternyata sedang hamil.
Sementara Beno dan bu Marmi memandang aneh tuan tampan di depan mereka.
"Bu Marmi, kenapa nggak dihubungin aja atuh suaminya" kata Beno yang sudah mengenal nama wanita berumur itu.
"Suami yang mana, neng Rania itu janda" bisik bu Marmi tak ingin kedengaran yang lain. Tapi masih tetap saja Raditya mendengar.
"Suaminya tega sekali. Menceraikan wanita yang sedang hamil" umpat Beno.
"Sudahlah tuan, panjang sekali ceritanya" ungkap bu Marmi.
"Oh ya tuan-tuan. Makasih ya atas bantuan kalian. Semoga Rania baik-baik saja" bu Marmi meninggalkan Beno dan Raditya untuk duduk di kursi penunggu pasien.
Beno yang baru ngeh dengan nama Rania yang disebutkan bu Marmi pun terkesiap. Beno menoleh ke Raditya, "Ya, dia orangnya" kata Raditya menimpali.
"Alamakkkkkkk" ucap Beno.
Raditya dengan cepat membungkam mulut Beno yang kalau tak dicegah bagaikan ember bolong itu.
"Diam!" Raditya melotot ke arah Beno.
"Keluarga pasien dari nyonya....?" perawat itu terhenti, karena memang belum bisa mengorek nama dari Rania yang mungkin saja masih pingsan.
"Apa pasien yang hamil tadi suster?" Bu Marmi tergopoh mendekati.
"Benar bu" tukasnya.
"Oh ya, namanya Rania sus" terang bu Marmi.
"Ada apa ya sus?" tanya bu Marmi berikutnya.
"Begini bu, pasien ini musti dirawat. Besok kita konsulkan dengan dokter kandungan. Karena sepertinya ada masalah dengan kandungannya" beritahunya.
"Oh ya, silahkan menghadap ke dokter jaga. Beliau akan menjelaskan semua" suruh perawat itu sopan.
Bu Marmi masuk mengikuti arahan perawat.
"Apa kita akan di sini saja?" sela Beno.
Raditya diam tak menanggapi.
"Bos" panggil ulang Beno.
"Yaaaaa....???" tukas Raditya membego.
"Yaelah...aku ngomong sedari tadi apa kau tak dengar?" ujar Beno.
"Kamu bilang apaan?" Raditya memang tak mendengar apa yang Beno katakan.
Beno menepuk jidatnya, "Bisa-bisa jidat gue akan jadi lapangan tenis meja, gara-gara sering gue tepuk" ungkap Beno yang geregetan.
"Apa kita akan terus disini saja?" tanya Beno dengan memamerkan senyum terpaksa.
Bu Marmi keluar dari ruangan. Terlihat raut muka sedih di sana.
"Ada apa bu?" Raditya mendekat.
"Loh, kalian belum pulang? Bisa nggak aku minta tolong sekali lagi tuan-tuan?" kata bu Marmi dan dijawab anggukan cepat Raditya. Sementara Beno hanya geleng kepala.
"Rania butuh darah. Dokter bilang dia kurang darah" ucap Bu Marmi.
"Anemia?" Raditya menimpali.
"Ya...ya...itu..yang ada mia-mianya" tukas Bu Marmi.
"Terus? Berapa kantong yang dibutuhkan?" tanya Radit.
"Ini ada pengantar, katanya suruh ke bank darah" ujar bu Marmi.
"Beno, berangkatlah. Dan ini pengantarnya" Raditya menyerahkan ke Beno.
"Kamu?"
"Aku akan menunggu di sini" jawab Raditya.
Beno ngedumel tak karuan karena suruhan Raditya.
"Besok kutransfer bonus kamu" ucap Raditya membuat Beno secepatnya menjauhi Raditya dengan membawa surat pengantar yang diberikan oleh bu Marmi tadi.
"Makasih tuan" sela bu Marmi setelah kepergian Beno.
"Sama-sama bu" timpal Raditya.
Lama mereka terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Tuan"
"Bu"
Ucap mereka bersama-sama.
"Silahkan tuan duluan" ucap Bu Marmi.
"Bu Marmi saja dulu, apa yang ingin disampaikan" kata Raditya penuh wibawa.
"Nggak kok, hanya pertanyaan receh aja" imbuh bu Marmi sembari senyum.
"Panggil Raditya saja bu" pinta Radit.
"Nggak tuan, nggak enak saya" tolak bu Marmi. Orang seganteng dan setampan ini minta hanya dipanggil namanya aja. Batin bu Marmi.
"Tuan sudah menikah?" tanya bu Marmi karena hanya itu yang ingin ditanyakan pada tuan tampan di sampingnya.
"Belum bu. Nggak ada yang mau" tukas Raditya dengan penuh canda.
"He...he...andai Rania mendapat suami seperti anda. Pasti dia akan bahagia" ucap Bu Marmi dengan mata menerawang.
"Loh, mantan suaminya apa kabar?" tanya Raditya sekaligus memulai penyelidikan. Mumpung ada saksi yang mau bicara jujur...he...he...
"Nggak usah dibahas itu, laki-laki tak punya hati. Sudah selingkuh, eh malah istrinya yang dituduh selingkuh. Pakai acara jebak menjebak segala" kata bu Marmi berapi-api.
"Maksudnya?" sela Raditya. Jadi malam itu Rania dijebak? Tanya Raditya dalam hati.
"Mantan suami Rania itu selingkuh dengan teman kerja Rania duluan. Tapi dengan jahatnya malah menuduh Rania nakal dan suka selingkuh. Dan terjadilah kejadian penggerebekan itu" sambung bu Marmi masih penuh semangat.
"Dan lebih kasihan lagi, Rania hamil sesudah itu" lanjut bu Marmi.
Dua kemungkinan, bisa jadi Rania hamil anak suaminya atau anakku. Pikiran Raditya berkecamuk.
"Sudah mengerti Rania hamil, tapi tetap saja dicerai" ujar bu Marmi meneruskan.
Raditya terdiam, seolah tak ingin ikut campur.
Tapi karena lama tak mengeluarkan uneg-uneg, cerita bu Marmi semakin berlanjut.
"Karena mantan suaminya yakin, jika itu bukan anaknya. Karena setiap kali melakukan dengan Rania dia mengaku pakai pengaman" bu Marmi sampai tahu sebegitunya, karena curhatan Rania yang menganggap bu Marmi satu-satunya keluarganya saat ini.
Entah mengapa, melihat Raditya bu Marmi seakan percaya saja menceritakan semua.
Deg, benak Raditya mendengar penuturan bu Marmi.
"Apa bu Marmi ibu Rania?" tanya Raditya.
"Bukan tuan, aku hanya ibu kontrakannya. Rania diusir oleh orang tua kandungnya karena dianggap telah melakukan kesalahan" terang bu Marmi selanjutnya.
Malang nian nasibnya. Batin Raditya.
Raditya mulai mengerti sedikit jalan cerita tentang Rania. Dan bisa melakukan analisa kalau malam itu dirinya dan Rania dalam kondisi sama-sama terjebak oleh orang yang berbeda dan tak ada sangkut pautnya.
Dan kebetulan nasiblah yang mempertemukan mereka malam itu.
Beno datang membawa darah yang diminta. Dia menyerahkan ke Raditya sembari menguap.
"Ngantuk bosss" keluhnya. Dan dengan santainya merebahkan tubuhnya di kursi tunggu di depan IGD. Tak lama terdengar dengkuran nyaring dari mulut Beno.
"Maafin ya bu, seharian dia kerja. Terus tak ajak ke kota ini" terang Raditya.
"Owh, jadi tuan-tuan bukan dari kota ini?" tukas bu Marmi dan dijawab anggukan Raditya.
"Oalah, maafin bu Marmi ini ya tuan. Sudah merepotkan kalian" kata bu Marmi.
"Sama-sama bu. Darahnya nggak dianterin bu?" kata Raditya mengingatkan.
"Oh iya, sampai lupa" kata bu Marmi sambil menepuk jidat.
Raditya duduk sembari memikirkan sesuatu. Apa mungkin anak yang dikandung Rania adalah anakku?
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
To be continued
aku dulu ngidam gak gitu amat