Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 21
"Maafkan aku, Pa." Hanya kalimat itu yang berhasil keluar dari bibir Gisela.
"Sebenarnya, papa sudah menaruh curiga sejak mama kamu bilang ada teman kuliahmu dulu, tinggal satu atap denganmu dan Abram. Bukan hanya papa, tapi mamamu lebih curiga lagi. Mama menyuruh papa untuk menyelidiki semuanya." Hendarto terdiam sesaat. Menatap putrinya yang makin menundukkan kepala.
"Kamu tahu, Gis. Patah hati seorang ayah adalah ketika melihat anak perempuannya jatuh kepada lelaki yang salah. Disakiti oleh lelaki lain, padahal dia sudah memperlakukan putrinya dengan penuh kasih sayang. Hati papa rasanya terluka. Lebih baik papa kehilangan harta yang papa miliki untuk menebus kebaikan Abram yang pernah dilakukan untukmu, daripada kamu harus tinggal bersama dia dan disakiti olehnya."
Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Hendarto mampu membuat jantung Gisela berdebar tak karuan. Rasanya ngilu. Sebegitu besarnya ia telah menyakiti dan membuat kecewa hati sang papa.
"Ma-maafkan Gisela, Pa." Air mata Gisela tidak mampu dibendung lagi. Ia menangis. Antara merasa bersalah kepada sang papa dan penyesalan karena hanya menuruti egonya saja.
"Papa sudah memaafkan semua kesalahanmu bahkan sebelum kamu meminta maaf. Sekarang lebih baik kamu tinggal kembali di sini dan papa akan melaporkan lelaki brengsek itu ke polisi. Biarlah dia mendapat balasan atas perbuatannya," ujar Hendarto.
Lelaki itu bangkit berdiri dan hendak pergi, tetapi Gisela langsung menahan tangan sang papa.
"Jangan, Pa." Ia begitu memohon kepada sang papa. "Lebih baik aku bercerai daripada Papa melaporkan Mas Abram ke polisi," ucapnya tanpa sadar.
Lagi-lagi, Hendarto hanya bisa mendes*hkan napas secara kasar ke udara saat mendengar permintaan putrinya.
"Kamu yakin akan bercerai dengan Abram?"
"I-iya, Pa." Gisela mengangguk lemah. Hatinya masih dipenuhi keraguan, tetapi ia tidak bisa menunggu lama untuk memberi keputusan karena Hendarto bukanlah orang yang sabar menunggu. Apalagi dalam keadaan seperti ini.
"Baiklah kalau itu keputusanmu maka papa akan langsung mengurus perceraian kalian secepatnya." Hendarto memeluk Gisela sangat erat. Setidaknya rasa kecewa yang ia rasakan sedikit berkurang setelah mendengar keputusan Gisela. Ia berharap semoga setelah ini tidak ada lagi lelaki yang akan menyakiti putrinya.
***
Gisela menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya sudah sangat berantakan karena penuh dengan bekas air mata. Senyumnya pun tidak terlihat sama sekali. Menatap dirinya sendiri justru membuat kedua mata Gisela kembali berkaca-kaca.
Pernikahan yang baru sebentar bahkan belum ada benih yang tumbuh, ia harus bercerai dari suaminya. Meskipun Gisela menyadari kalau keputusan itu adalah yang terbaik untuk dirinya. Akan tetapi, Gisela masih merasa berat. Hatinya tetap saja terluka dalam seperti tertusuk sembilu.
"Aku harap setelah ini kita akan hidup bahagia meski dengan jalan masing-masing. Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu, Mas," gumam Gisela.
Ia membiarkan air mata terus saja membasahi wajah cantiknya. Yang diinginkan wanita itu saat ini hanyalah hati yang lega dan pikiran yang tenang. Dengan gerakan cepat Gisela menghapus air mata lalu berjalan ke ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana. Ia membenamkan wajahnya di bantal untuk meredam tangisan agar tidak mengeras.
Tangisan itu mereda perlahan saat Gisela mendengar ponselnya berdering. Ia menatap layar dan merasa enggan saat melihat nama Abram tertera di layar. Rasanya sangat malas dan tidak ingin berhubungan dengan lelaki itu lagi. Namun, satu hal yang disadari oleh Gisela, semua masalah ini harus benar-benar tuntas. Gisela tidak ingin ada masalah selanjutnya.
"Hallo, Mas."
"Aku tidak menyangka kalau kamu berani menggugat cerai atas diriku. Lihat saja! Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang!"
Jantung Gisela berdebar sangat kencang saat mendengar ancaman Abram. Belum juga Gisela membuka suara, Abram sudah mematikan panggilan tersebut secara sepihak.
Ya Tuhan ... bagaimana ini?