Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Informasi Sang Kadaver
Badrun mendekatkan wajahnya ke telinga Karmina. Gadis berambut pendek itu bergidik, sembari bergeser sedikit demi sedikit, berusaha menjauh dari sosok pria tua di sampingnya. Adapun Yuniza yang menyadari gelagat aneh Karmina, langsung memahami bahwa hal ganjil sedang terjadi di ruangan itu.
"Apa pria itu ada di sini?" bisik Yuniza dengan mata membulat.
Karmina mengangguk pelan. Yuniza menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
Sementara itu, Badrun menepuk pundak Karmina, hingga gadis itu terperanjat. "Saya nggak akan nyakitin kamu," ujarnya.
Karmina menoleh, memperhatikan Badrun yang tampak lesu dan ringkih.
"Saya mau bilang, tolong kembalikan tubuh saya ke tempat semestinya. Saya ingin beristirahat dengan tenang," tutur Badrun dengan suaranya yang lemah dan serak.
Memahami keinginan Badrun, Karmina mengangguk, lalu memandang Yuniza. "Bu, sebaiknya jasad bapak ini segera dikembalikan pada keluarganya. Katanya dia ingin kembali ke tempat semestinya dan beristirahat dengan tenang," jelas Karmina.
"Tapi ... gimana caranya? Kami nggak tau tempat tinggal jasad bapak ini. Barangkali kamu bisa tanya sama dia," keluh Yuniza.
Karmina menoleh pada Badrun seraya bertanya, "Apa Bapak masih ingat di mana alamat rumah Bapak?"
"Saya tinggal di kolong jembatan layang. Di sana tempatnya penuh dengan pemulung dan pedagang kecil," jawab Badrun.
Karmina mengangguk, kemudian menoleh pada Yuniza. "Katanya tinggal di kolong jembatan layang. Apa kita perlu mencari alamatnya?"
"Coba tanyakan saja. Barangkali dia masih ingat," ujar Yuniza, masih penasaran.
Dengan tenang, Karmina memandang Badrun. "Kira-kira, Bapak masih ingat alamatnya di mana?"
Badrun hanya tertunduk lesu sambil menggeleng pelan. Ingatannya terkikis sedikit demi sedikit sejak kematiannya dua bulan lalu.
Melihat keputusasaan di wajah Badrun, membuat Karmina iba. Jiwa mana yang tidak ingin tenang dengan jasad dikubur dengan semestinya? Siapa pun berharap kembali ke haribaan Ilahi dalam keadaan baik-baik saat meninggalkan dunia yang fana ini.
"Bu, gimana kalau kita telusuri beberapa daerah kumuh sekitar kolong jembatan dekat sini. Barangkali kita bisa memulangkan dia ke keluarganya. Dan, satu lagi. Bapak ini namanya Badrun. Mungkin kita bisa tanya-tanya sekalian sama warga sekitar," saran Karmina.
"Sepertinya perlu dicoba." Yuniza mengangguk setuju. "Nanti kita telusuri sama-sama."
"Saya juga akan coba menanyakan kepada teman saya. Kebetulan, saat menerawang tadi, saya nggak sengaja lihat teman saya di lokasi kejadian," imbuh Karmina dengan yakin.
"Benarkah?!" Yuniza tercengang. "Semoga saja pencarian kita menemukan alamat jenazah ini berjalan lancar."
Karmina mengangguk sembari mengulas senyum.
"Baiklah ... cukup sampai di sini dulu penyelidikan kita," cetus Yuniza, lalu melambaikan tangan pada penjaga ruangan jenazah yang sedang membereskan peralatan di dekat lemari pendingin. "Pak Rehan, nanti habis dibungkus, tolong masukkan lagi jenazah ini ke situ, ya."
"Iya, Bu," sahut penjaga kamar jenazah itu.
Dengan berhati-hati, Yuniza merapikan kembali jenazah yang sudah diketahui namanya itu. Dibungkusnya kembali tubuh Badrun menggunakan plastik sampai benar-benar tertutup rapi. Selanjutnya, penjaga ruang jenazah datang, kemudian mendorong meja autopsi ke dekat lemari pendingin.
Sementara itu, Karmina menatap nanar proses penyimpanan jenazah ke dalam lemari pendingin. Sosok Badrun tiba-tiba menghilang seiring dikembalikannya lagi jasad itu ke dalam tempat semula. Bergetar hati Karmina, membayangkan betapa dinginnya si mayit berada di sana selama berbulan-bulan dengan jiwa yang tak tenang.
***
Hari berganti, usaha Karmina memperoleh keterangan Dewa semakin menggebu-gebu. Alih-alih menyimpan dendam atas ucapan pedas sang ketos, ia memilih berdamai dengan keadaan. Mengetahui alamat Badrun lebih penting baginya untuk saat ini.
Saat jam istirahat tiba, Karmina menghampiri Dewa yang sedang duduk melamun di sudut kantin. Terlintas peristiwa kemarin yang begitu manis sekaligus menyakitkan mengganggu benaknya. Kendati demikian, gadis berambut pendek itu berusaha tetap tenang dan melupakan kejadian yang telah berlalu.
"Wa, gue boleh duduk di sebelah lo nggak? Ada hal penting yang mau gue omongin sama lo," ucap Karmina dengan canggung.
Dewa melirik sebentar, kemudian bergeser memberi ruang untuk Karmina. Tanpa banyak berpikir, gadis itu duduk di samping sang ketos sambil memandang jauh.
"Mina, gue minta maaf soal kemarin. Gue nggak bermaksud ngerendahin lo, kok," kata Dewa, sembari menoleh memandang Karmina.
"Nggak apa-apa. Gue udah maafin lo," jawab Karmina seraya sesekali menatap Dewa.
"Lo mau ngomongin apa sama gue? Lo mimpiin nyokap bokap gue lagi?" Dewa penasaran.
"Bukan. Ini soal kejadian dua bulan lalu," kata Karmina sambil termenung.
Tertegun Dewa mendengar ucapan Karmina. "Dua bulan lalu? Emang kejadian apa?"
"Coba lo inget-inget lagi. Apa lo pernah nolongin seorang cewek waktu tengah malem, terus ada tukang becak di pinggir jembatan?" Karmina memandang Dewa lekat-lekat, seakan berharap jawaban pasti.
Sejenak, Dewa terdiam. Matanya sesekali menatap ke langit-langit seolah sedang mengingat-ingat kembali peristiwa yang sudah lama berlalu. Hingga beberapa detik kemudian, lelaki itu akhirnya terperangah.
"Lo udah inget?" tanya Karmina memastikan.
Dewa mengangguk cepat, lalu memandang Karmina dengan heran. "Ngapain lo nanyain hal itu? Apa lo kenal sama cewek yang pernah gue selametin malam itu?"
Karmina menggeleng cepat. "Gue cuma pengin tahu cerita lengkapnya dari lo. Kemarin ada dokter forensik yang minta bantuan sama gue buat nyari tau tentang jasad tanpa identitas. Tadinya jenazah itu bakal dijadiin kadaver buat praktik mata kuliah kedokteran. Cuma ... setelah gue menggali lebih dalam tentang informasi jenazah itu, gue ngelihat peristiwa terakhir hidupnya. Dan ... gue nggak sengaja ngelihat lo," jelasnya.
Mendengar pemaparan Karmina, Dewa terdiam sejenak. Sulit baginya untuk terus menerus mempercayai kemampuan Karmina dalam membaca prediksi. Namun, di sisi lain, ia merasa perlu menjelaskan kejadian malam itu agar Karmina tak salah paham.
"Kalau lo nggak mau cerita, nggak apa-apa. Gue cuma mau tau lokasi terakhir kejadian lo ketemu sama cewek itu," ucap Karmina tertunduk lesu.
Dewa mengangguk pelan. "Oke. Gue bakal ceritain semuanya ke lo. Tapi lo jangan bilang sama siapa-siapa, ya. Gue mau cerita sama lo karena gue percaya, lo bisa jaga rahasia."
"Tenang aja. Kasus ini cukup kita doang yang tau. Lagian, udah lama juga jasad tukang becak itu ditemuin," tegas Karmina.
Merasa yakin dengan perkataan Karmina, Dewa mulai membuka mulutnya. "Malam itu gue baru pulang dari rumah temen. Waktu pulang, gue nggak sengaja lihat cewek lagi ditarik-tarik sama dua preman. Gue selametin aja tuh cewek, sampai gue anterin ke terminal bus. Tapi sayangnya, gue nggak bisa nyelametin tukang becak yang ditendang sampai nyebur ke kali sama preman satunya. Seingat gue, cewek itu berasal dari luar kota. Dia dateng ke Jakarta buat nyari kerja, tapi malah dijebak sama germo," jelasnya.
"Gitu, ya." Karmina mengangguk takzim.
"Kalau lokasi kejadiannya, seingat gue sih di jembatan yang nggak begitu jauh dari pasar. Gue agak lupa, sih, soalnya waktu itu udah larut malam," imbuh Dewa.
Dirasa informasi dari Dewa sudah cukup, Karmina beranjak dari tempat duduknya. Sebelum pergi, gadis itu menoleh pada sang ketos seraya berkata, "Terimakasih, ya, udah ngasih tau gue lokasi kejadiannya. Abis ini, gue bakal nyari tempat tinggal tukang becak itu sama Bu Dokter."
"Santai aja." Dewa mengulas senyum.
Di sisi area kantin yang berbeda, Zahra tampak geram melihat Dewa dan Karmina baru saja selesai mengobrol. Gadis itu benar-benar tak suka melihat keduanya semakin akrab seperti sepasang kekasih.
Sebelum jam pelajaran berikutnya dimulai, Zahra bersama teman-temannya masuk ke kelas dan mengkonfrontasi Karmina. Digebraknya meja gadis berambut pendek itu, sambil menatap nyalang.
"Apa?" Karmina mendongak, menatap Zahra dengan berani.
"Lo tuh makin ke sini makin bertingkah, ya. Mentang-mentang diajakin Ketos ke belakang sekolah, lo makin berani deketin dia," cerocos Zahra memelototi Karmina.
"Oh, jadi lo cemburu sama gue? Iya?" tantang Karmina beranjak dari kursinya.
"Ya iyalah! Lo tuh nggak seharusnya gangguin cowok yang gue suka!" bentak Zahra mendorong bahu Karmina.
"Lah? Emangnya lo udah jadian sama dia? Lo udah resmi pacaran sama Dewa? Enggak, kan," balas Karmina semakin menyudutkan gadis berambut panjang itu.
Merasa geram, Zahra mengepalkan tangan sembari menautkan kedua alisnya. "Sialan lo! Bukannya nyadar diri, malah makin nantangin. Awas lo, ya!" sergahnya, menarik kerah baju Karmina.
"Mau apa lo, ha? Mau ngerusak gue kayak yang pernah lo lakuin sama Gracia, gitu?" cecar Karmina menatap tajam kedua mata Zahra.
"Alah, jangan sok tau lo!" Zahra mendorong Karmina sembari melepaskan pegangannya dari kerah baju gadis bertubuh mungil itu.
"Apa? Lo takut semuanya terbongkar? Dasar pengecut!" ketus Karmina memelototi Zahra.
Zahra menjambak rambut Karmina. "Gue bukan pengecut!" bantahnya.
Sambil sesekali meringis kesakitan, Karmina berkata, "Kalau bukan pengecut, terus apa? Harusnya lo ngaku di depan semua orang kalau lo tuh penyebab kematian Gracia!"
Zahra membenturkan kepala Karmina ke meja dan melepaskannya. "Kurang aja lo, ya! Berani-beraninya lo nuduh gue yang enggak-enggak!"
Karmina meringis sambil mengusap dahi. Ditatapnya lagi Zahra yang masih berang itu, lalu berdiri. "Kalau gitu, ayo bilang di depan semua orang! Lo udah nyuruh empat cowok brengsek itu buat ngerusak Gracia, kan? Lo udah ngerekam video nggak senonoh buat ngancam Gracia, kan? Ngaku aja deh, lo!" tuntutnya.
Seketika, semua mata siswa di dalam kelas, langsung tertuju pada dua gadis yang sedang berseteru itu. Zahra segera berlalu ke bangkunya ketika menyadari tatapan para murid mulai sinis terhadapnya. Kepanikan menyeruak ke dalam dadanya, setelah mengetahui Karmina mulai berani mengungkap perbuatan busuknya pada Gracia.
Di sisi lain, Karmina masih mendelik tajam pada Zahra. Cukup lama ia memperhatikan gadis berambut panjang itu, hingga sekelabat bayangan suatu peristiwa melintas di pelupuk matanya.
Dua orang pria dan satu pemuda remaja sedang duduk bersama di sebuah kafe. Karmina tak mengenal kedua pria itu, tapi lagi-lagi ia menangkap sosok Dewa di antara mereka. Seketika, gadis itu terhenyak dan bergumam, "Lagi ngapain si Dewa sama orang-orang itu?"