Renata menatap dingin dua sejoli yang berdansa mesra di depannya sambil meneguk minuman dinginnya.
Joandra, tunangannya seakan ngga mempedulikannya dan terus saja berdansa dengan Saraswati, model di perussahaan mereka.
Renata dan Joandra dijodohkan kedua orang tua mereka demi perjanjian bisnis keluarga. Tepatnya orang tua Renata berhutang cukup besar pada keluarga Joandra.
Tapi jauh sebelum itu Renata dan Joandra sudah saling mengenal. Joandra bahkan sempat menyatakan sukanya pada Renata lewat teman dekat Renata. Tapi karena sesuatu hal, Renata teepaksa menolak.
Tapi takdir mempermainkan mereka. Mereka kembali disatukan lewat perjodohan bisnis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan yang Meledak
Kembali Saraswati mengunjungi Joandra. Renata membiarkannya. Hanya sekitar tiga puluh menit dia berada di ruangan bosnya itu.
Renata dapat melihat kekesalan di wajah gadis itu.
"Hei, apakah gadis yang bernama Silvia tadi datang?" bentaknya tiba tiba di dekat meja Renata.
"Engga, nona," jawab Renata tanpa melihat.
Renata merasa dongkol melihat dua kancing baju gadis itu yang terbuka. Padahal tadi saat masuk masih terkancing rapi.
Tentu saja pikiran negatif Renata bermain main dengan liar di kepalanya.
"Hemm," dengusnya sambil melangkah pergi
Renata menghela nafas panjang.
Dia harus menemui Joandra. Dia harus menjelaskan segalanya. Ngga peduli Joandra akan menolaknya setelah mendengarnya.
Dia lebih berhak atas Joandra dari pada gadis sombong itu dan juga gadis yang bernama Silvia.
Dengan menguatkan hati, Renata mengetuk pintu ruangan Joandra.
Begitu mendengar kunci pintu terbuka, Renata mendoromgnya.
"Apalagi yang kamu mau," sentak Joandra kesal. Sepertinya dia masih mengira kalo Saraswati yang datang kembali.
Renata menatap Joandra bingung setelah membuka pintu itu cukup lebar.
Saat ngga mendengar jawaban, Joandra mengangkat wajahnya dan mengubah ekspresi kesalnya dengan dingin dan datar.
"Ada apa?" tanya Joandra ngga ramah. Kemudian dia menunduk lagi, melihat laptopnya.
Renata menutup pintu ruangan Joandra kemudian melangkah mendekat.
"A aku ingin menjelaskan kejadian empat tahun yang lalu," jelas Renata.agak gugup.
Joandra ngga mengalihkan tatapannya dari laptop. Ngga bereaksi apa pun.
Renata menguatkan hatinya untuk tetap berani meneruskan apa yang ingin dia katakan. Bahkan sudah dihapalkannya sejak tadi.
"Waktu itu, eh," kaget Renata ngga jadi meneruskan ucapannya karena melihat Joandra langsung berdiri dari duduknya dengan kasar. Kursinya sampai terdorong kuat ke belakang.
Joandra meraih laci mejanya, dan menariknya juga dengan kasar.
"Ini yang kamu mau jelaskan!" seru Joandra dingin dan sinis sambil melemparkan beberapa lembar foto ke arah Renata yang langsung berjengkit mundur.
Renata menatap lembaran lembaran foto yang berserakan di lantai.
Dia langsung memungutnya.
Hatinya mencelos dan matanya menatap ngga percaya pada foto foto itu.
Itu foto foto dirinya dengan laki laki yang berbeda beda.
Karena merasa sangat aneh Renata langsung memungut semuanya yang dilempar Joandra. Ada enam lembar foto.
Di sana ada gambar dirinya yang sedang berpelukan dan bergayut mesra dengan dua laki laki yang berbeda.
Renata merasa pernah melihat foto foto ini. Dia seperti mengenal suasana yang tergambar di sana. Tapi dia lupa. Kesalahan fatalnya, lupa di saat saat yang paling krusial untuk hidupnya selanjutnya.
"Aku kira kamu polos. Ternyata kamu gampangan," sarkas Joandra saat menyakiti hati Renata. Dia yang sedang berjongkok menatap foto itu saru persatu jadi tercengang. Tubuh dan kedua tangannya gemetaran menahan rasa sakit akan hinaan dari laki laki yang masih selalu dia rindukan
Dengan perlahan walaupun gemetaran, Renata berdiri dan kini mereka saling berhadapan. Hanya dipisahkan oleh meja kerja Joandra.
"Mak maksud Kak Joandra apa, ya?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Ya, itu. Ternyata kamu ganpangan. Bisa dengan mudah dipeluk laki laki yang berbeda beda," ulang Joandra dengan sangat kejam.
PLAK!
Renata menamparnya saat keras di pipi kanannya sampai wajah Joandra sedikit berpaling.
Joandra tersenyum sinis setelah mendapat tamparan itu.
Sementara tubuh Renata semakin gemetaran menahan gejolak marahnya yang semakin mendesak di dadanya.
Tangannya terasa sangat sakit dan panas saat menampar Joandra tadi. Dia yakin, Kak Joandra ngga merasakan sakit di pipinya. Kekuatannya lemah sebagai perempuan.
"I ini me memang a aku. Tapi ... a aku yakin ka kalo fo foto ini diedit ," bela Renaata gugup masih dengan suara yang bergetar.
"Aku jadi kepengin lihat foto kamu polos yang diedit," sinis Joandra dengan mulutnya yang sangat kurang ajar. Dan sangat menyakitkan hati yang mendengarnya
Renata jadi ternganga mendengarnya. Ngga menyangka akan mendengar penghinaan yang begitu kejam dari mulut yang selalu santun jika berucap. Dulu.
"Ra rasanya sia sia aku akan menjelaskan ke kakak," lirih Renata berucap. Air matanya ditahannya sekuatnya agar ngga menetes di hadapan laki laki yang sudah membuatnya menjaga hati dan tubuhnya selama empat tahun ini.
Tapi apa balasannya. Hanya penghinaan penghinaan yang dia dapatkan.
Renata pun membalikkan tubuhnya. Dan berjalan ceoat meninggalkan ruangan Joandra.
BRAKK!
Renata pun membatin pintu dengan sangat keras.
Dia melangkah cepat menuju pantri dan berharap ngga ada orang di sana.
Renata menutup mulutnya menahan isaknya yang mau keluar. Bahunya sampai terguncang guncang. Air matanya pun mengalir dengan sangat deras.
Jahat! Kamu jahat, kak! rutuknya berkali kali dalam hati.
Sementara Joandra cukup terkejut melihat keberanian Renata membanting pintu ruangannya.
Ngga lama kemudian terdengar suara ketukan pintu berkali kali.
"Masuk!" serunya ngga ramah.
Bu Inggrid masuk dengan tatapan khawatir dan bingung.
Ngga ada siapa siapa. Renata juga ngga ada di mejanya.
"Maaf, pak. Apa ada masalah?" tanya Bu Inggrid ragu melihat wajah marah anak bos besarnya.
"Keluarlah, Bu. Aku lagi kesal."
"Ma maaf, pak," ucap Bu Inggrid segera berlalu. Jantungnya berdebar mendengar suara bentakan anak bosnya.
Dia pun bersandar di balik pintu ruangan Joandra yang sudah dia tutup.
Matanya menatap kesal pada meja Renata. Kosomg. Ngga ada Renata di situ.
"Anak itu kemama lagi," gumamnya kesal.
BUG BUG BUG BUG
Bu Inggrid sampai berjengkit saking kagetnya mendengar suara tembok yang dipukul dengan sangat keras. Berulang kali.
Ada apa sebenarnya? tanyanya dalam hati ngga mengerti.
Hendak bertanya lagi, beliau merasa waktunya ngga pas.
Tadi saja Joandra sempat mengusirnya dengan nada penuh tekanan. Baru kali ini Joandra melakukannya.
Kenapa Joandra kesal begitu ya? Apa ini ulah Renata? batinnya sibuk bertanya tanya.
Di dalam ruangannya Joandra terus meninju dinding ruangannya dengan sangat keras. Bercak merah terlihat di dinding yang dia jadikan samsak, begitu juga dengan jari jarinya.
Sampai kemudian Joandra menyandarkan tubuhnya ke dinding dan melorot jatuh ke lantai.
Ngga dipedulikannya jari jatinya yang mengeluarkan darah. Ngga dirasakannya perih akibat lukanya.
Aneh.
Seharusmya dia puas karena sudah mengatakan kalimat kalimat yang sudah disimpannya bertahun tahun yang lalu.
Harusnya dia puas sudah memberitahukan pada Renata kalo begitulah kenyataan dirinya yang sebenarnya.
Tapi mengapa dia merasakan sakit yang teramat sangat di hatinya saat mengatakannya.
Mengapa?
Dia pun masih ingat tubuh Renata yamg gemetaran. Bibir dan tangannya juga.
Joandra memegang pipinya.yang tadi ditampar Renata dengan sepenuh hati.
Apa dia memang pantas mendapatkannya?
Joandra membiarkan celana panjangnya yang menjadi berdebu karena membiarkannya menyentuh lantai.
Apa aku sudah sangat keterlaluan?
CEKLEK
Joandra menoleh cepat saat mendengar pintunya yang dibuka. Dia berharap Renata yang masuk ke ruangannya.
Tapi harapannya tinggal harapan kosong.
"Jo, kamu kenapa?" seru.Silvia kaget mendapati Joandra duduk di sudut lantai ruangan kerjanya. Dan yang lebih mengejutkan melihat jari jari itu terluka dan mengalirkan darah.
Dia pun mendekat. Memegang wajah yang biasa tegas, datar dan kaku itu nampak layu. Tapi cuma sesaat.
Kini ekspresinya kembali seperti semula. Kaku dan dingin
"Aku ngga apa apa," sahutnya datar. Sambil.menepis kedua tangan Silvia di wajahnya.
"Ngga apa gimana? Kamu terluka, berdarah, Jo," seru Silvia khawatir.
Joandra ngga mempedulikannya. Dia pun berdiri dan melangkah menuju kursi kerjanya.
"Sebentar, aku ambilkan obat dulu," kata Silvia kemudian melangkah keluar dari ruangan Joandra.
Dia ngga mendengar respon Joandra.
Ada apa sebenarnya, Jo? Kamu aneh hari ini, batinnya melirik Joandra sebelum pergi.