Ina dan Izhar memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan secara mendadak oleh Bu Aminah, ibunya Ina.
Keduanya duduk terdiam di tepian ranjang tanpa berbicara satu sama lain, suasana canggung begitu terasa, mereka bingung harus berbuat apa untuk mencairkan suasana.
Izhar keluar dari kamar mandi dan masuk kembali ke kamar setelah berganti pakaian di kamar mandi, sementara itu, Ina kesulitan untuk membuka resleting gaun pengantinnya, yang tampaknya sedikit bermasalah.
Ina berusaha menurunkan resleting yang ada di punggungnya, namun tetap gagal, membuatnya kesal sendiri.
Izhar yang baru masuk ke kamar pun melihat kesulitan istrinya, namun tidak berbuat apapun, ia hanya duduk kembali di tepian ranjang, cuek pada Ina.
Ina berbalik pada Izhar, sedikit malu untuk meminta tolong, tetapi jika tak di bantu, dia takkan bisa membuka gaunnya, sedangkan Ina merasa sangat gerah maka, "Om, bisa tolong bukain reseltingnya gak? Aku gagal terus!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Izhar membukakan pintu mobilnya begitu sampai di depan sebuah rumah berpagar.
Izhar menuntun gadis itu keluar dari mobilnya.
"Makasih banyak, Om." Ucap gadis yang tadi sempat
mengomel dan menuduh Izhar sembarangan.
"Sama-sama, biar saya antar sampai ke dalam," jawab
Izhar.
Izhar kemudian memapahnya lagi, membawanya masuk ke halaman rumah gadis tersebut.
Rumahnya sangat sederhana, tetapi rapi dan terawat.
Izhar mendudukkan gadis itu di teras, kembali ke mobilnya untuk mengambilkan sepeda si gadis.
"Orang tua kamu kemana? Kenapa rumahnya sepi?"
Tanya Izhar.
Rumah si gadis sangat sepi, seperti sedang tidak berpenghuni.
"Mama saya kerja dan Papa udah meninggal, kalau siang ya gini sepi, soalnya Mama pulang nanti malam," jawabnya.
Izhar mangut-mangut, sekarang ia paham kalau si gadis memang sering sendirian di rumahnya di siang hari, karena tak ada teman.
"Ya sudah, kalau begitu saya pamit, karena saya harus pulang. Kamu istirahat ya, semoga lukanya cepat sembuh,"
Izhar berpamitan.
Ia harus segera pulang, karena akan di adakan acara syukuran untuk menyambut pernikahannya di rumah.
"Sekali lagi, makasih banyak, Om. Maaf juga soal tadi sempat bikin kesal," gadis itu meminta maaf lagi.
"Nggak apa-apa," jawab Izhar.
Si gadis bangkit dari duduknya dengan susah payah,
kemudian meninggalkan Izhar yang masih berada di teras rumah dan masuk ke dalam rumahnya.
Izhar sempat menatap punggung gadis yang baru saja celaka olehnya itu, ia berharap bahwa lukanya tidak akan infeksi.
Izhar kemudian pergi dari rumah itu untuk pulang, dia masih harus menghafal lagi untuk akad nikah nanti.
Sepeninggal Izhar, si gadis masuk kamarnya.
Meletakkan tas sekolah di atas meja belajar, membuka sepatu dan duduk di tepian ranjang.
"Aduhhh... Kok jadi kerasa banget ya sakitnya? Katanya kalau luka cium aspal itu suka lama sembuhnya," keluhnya.
"Ah, dasar si Om-om buta, mentang-mentang kaya, nyetir pun seenaknya, gitu tuh kalau orang kaya, nyebelin!" Umpatnya pada Izhar.
Dia meniupi luka di bagian lutut yang lebih sakit dari luka di bagian siku, semakin dirasa lukanya semakin sakit.
"Tidur siang ah, siapa tahu aja nanti sembuh setelah tidur, karena ada peri yang sembuhin!"
Gadis itu menjatuhkan diri ke atas kasur, berharap akan ada ke ajaiban yang dapat menyembuhkan lukanya dengan cepat.
Safina Arthana Diva, seorang gadis belia berusia 17 tahun yang masih duduk di bangku SMA kelas XI.
Gadis yang ceria, centil, jahil dan cerewet.
Dia adalah anak bungsu dari dua bersaudara, kakaknya sudah menikah dan dibawa merantau oleh suaminya ke Medan. Ibunya seorang pedagang di pasar, yang menjual aneka ikan segar dan akan pulang ketika malam hari.
Ina, biasa ia disapa, biasanya akan pergi ke pasar setelah pulang sekolah untuk membantu sang ibu berjualan. Tetapi, karena hari ini kaki dan tangannya terluka, Ina terpaksa harus diam di rumah karena luka di kaki dan tangannya sakit kalau di gerakkan.
Ina tidak pernah malu walaupun ia terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, ia malah senang dapat membantu sang ibu di pasar jika memang ia sedang tidak sibuk.
Ayahnya Ina meninggal di saat Ina berusia 10 tahun, sudah sangat lama.
Ina menjadi anak yatim, kehilangan sang Ayah karena kecelakaan kerja di proyek yang saat itu di jadikan ladang mencari nafkah.
Ayah Ina mengalami kecelakaan, terjatuh dari lantai 10 yang tengah di kerjakannya saat itu dan meninggal seketika.
Ina yang saat itu masih kecil dan sedang nempel-nempelnya dengan sang Ayah, menangis pilu ketika harus kehilangan Ayahnya dengan cara yang tragis. Sejak saat itulah, Ina dan kakaknya hidup tanpa Ayah, Ibunya yang mengambil peran ganda sebagai orang tua tunggal mulai merintis berjualan ikan di pasar dengan modal yang di tabungnya semasa Ayah Ina masih hidup, dengan itu pula Ina dan kakaknya bisa teta hidup dan bersekolah.
Kakak Ina bernama Hasna, dipinang oleh kekasih semasa sekolahnya bernama Haris dan menikah 3 tahun lalu. Kini mereka sudah memiliki seorang anak dan tengah menunggu kelahiran anak kedua.
Sayangnya, Ina tidak bisa sering bertemu dengan sang kakak, dikarenakan jarak yang sangat jauh dan terkendala di biaya transportasi untuk bisa ke Medan.
Hasna hanya akan pulang ketika lebaran atau saat
suaminya sedang cuti bekerja saja, kebetulan suami Hasna berasal dari keluarga yang cukup berada.
Mata Ina mulai terpejam, rasa kantuk sudah menguasai dirinya, gadis cantik dengan mata besar itu terus menguap.
'ting'
Ina. Ponselnya berbunyi, sebuah pesan chat masuk untuk
Ina yang sudah akan tidur, langsung membuka mata lebar, menoleh ke arah ponsel yang ada di dalam tas nya.
Ina mengambil ponsel dari dalam tas, memeriksa siapa yang mengiriminya chat.
'Beb, main yuk!' itu adalah pesan dari Kinara, teman sekaligus sahabatnya di sekolah.
'Gak bisa Beb, gue gak bisa kemana-mana nih,' balas ina.
'Kenapa? Masih bete gara-gara tadi di tolak si Rian?'
'Bukan, gue emang gak bisa kemana-mana, kaki sama tangan gue luka, Beb.'
'Luka kenapa? Bukannya tadi lu baik-baik aja ya?'
'Tadi gue sedikit dapet musibah waktu balik sekolah, gue jatuh dari sepeda, makanya gue luka.'
'Terus, lukanya parah gak? Kalau parah gue mau kesitu.'
'Nggak kok, cuma lecet doang, jangan khawatir.'
'Seriusan?'
'Iye, gue kagak kenapa-kenapa, cuma lecet doang kok, tapi ya sakit juga sih.'
'GWS ya Beb, mudah-mudahan aja besok lu masih bisa masuk sekolah, gue sepi kalau gak ada lu di sekolah.'
'Thank's ya, Beb.'
Setelah itu, Ina kembali merebahkan tubuhnya, ia tidak ingin kemana-mana hari ini, terlalu sakit untuk berjalan.
Ina akhirnya tertidur, tanpa mengganti seragam sekolah atau mencuci muka.
Malamnya...
"Assalamu'alaikum," ucap Bu Aminah, Ibunya Ina yang baru pulang dari pasar.
Ina yang masih terlelap, tidak mendengar ucapan salam dari sang Ibu, dia tidur sangat nyenyak.
"Ina, kamu lagi apa? Kenapa lampu rumah masih belum di nyalakan?" Bu Aminah bertanya pada anaknya, sambil menyalakan lampu di rumah yang belum menyala.
Tidak ada jawaban dari Ina, Bu Aminah jadi khawatir dan memeriksa kamar Ina.
"Na, kamu ada di kamar 'kan, Nak?" Tanya Bu Aminah lagi, tangannya meraba-raba dinding kamar, mencari saklar lampu untuk menyalakan lampu kamar Ina yang masih padam.
'ctek'
Saklar lampu di tekan dan kamar Ina pun jadi terang benderang.
"Astagfirullah... Ina!!!" Bu Aminah langsung berteriak pada putrinya yang tidur nyenyak itu.
Teriakan sang Ibu sontak membuat Ina terbangun saking terkejutnya, dia langsung duduk dengan kelimpungan.
"Kamu tidur sejak kapan, hah?!" Bu Aminah berkacak pinggang dengan mata melotot.
"Sejak pulang sekolah," jawab Ina, sambil mengucek matanya yang masih mengantuk.
"Ya Allah... Itu artinya kamu gak shalat dzuhur, gak shalat ashar dan gak shalat maghrib?!"
"Ya nggak tahu, 'kan Ina tidur, Ma." Jawab Ina seolah tak merasa berdosa.
"Cepat masuk kamar mandi, wudhu dan segera shalat isya, besok kamu harus qadha shalat-shalat yang kamu tinggalkan tadi itu, cepat!" Titah Bu Aminah sangat murka.
Bu Aminah adalah orang yang taat dalam urusan agama, ia selalu mengajarkan anak-anaknya agar tidak pernah meninggalkan kewajiban mereka sebagai seorang muslim.
Ina yang terkadang ngeyel dan susah di atur itu, tak jarang dapat omelan dari Ibunya, gara-gara sering kali tidak shalat.
Walaupun begitu, Ina tetaplah Ina, tidak pernah kapok sama sekali meskipun Ibunya selalu memarahinya.
"Iya, iya!" Ina dengan sangat malas bangun dari duduknya.
"Awww... Aduh..." Ina mengaduh.
"Kenapa? Jangan alasan deh, ayo cepat shalat dulu!"
"Kaki Ina sakit, Ma. Siapa yang beralasan, tuh lihat sendiri!"
Ina menunjukkan luka di kaki dan tangannya yang di tutupi kasa.
Bu Aminah mendekat.
"Ini kenapa?" Tanya nya.
"Tadi waktu Ina pulang sekolah, ada mobil yang melaju kencang, hampir menabrak Ina. Tapi mobil itu di belokkan ke samping, cuma tetap aja Ina jatuh dari sepeda karena kaget, ini deh hasilnya," Ina bercerita.
"Terus, orang itu tanggung jawab nggak? Ganti rugi gak?"
"Ini di obati sama dia, kebetulan dia itu Dokter juga, jadinya Ina langsung di obati," jawab Ina.
"Syukurlah, apa lukanya dalam?" Bu Aminah tampak cemas.
"Nggak kok, cuma luka biasa aja."
"Tapi yang namanya luka karena aspal itu susah sembuhnya, kamu harus di obati dengan baik, kita ke klinik deh."
"Ih, nggak usah, Ma. Ina gak apa-apa, nanti pasti sembuh sendiri."
"Ya sudah, cepat ke kamar mandi dan wudhu, kamu harus shalat isya dulu, terus kita makan, Mama bawakan sate ayam kesukaan kamu tuh, mumpung masih anget!"
"Oke!"
"Ck, dasar anak itu, selalu saja bikin kesal!" Bu Aminah geleng-geleng kepala dengan menatap punggung anaknya yang memasuki kamar mandi.
Ina dengan riang gembira keluar dari kamarnya menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur rumahnya, Ina sangat suka sate ayam, Ibunya akan membelikan Ina sate ayam ketika ada uang lebih dari hasil penjualan ikan di pasar.
Walaupun kehidupannya sederhana, Ina selalu bahagia bersama Ibunya, sebuah kehidupan bahagia yang bagi Ina sendiri tak semua orang dapat merasakannya.
...***Bersambung***...