Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Jalan yang Dipilih
Pertanyaan itu tidak mengejutkan sang dokter. Justru terasa… akhirnya keluar.
“Kamu sudah hidup dengan disiplin sejak lama, Raska,” jawabnya. “Bahkan tanpa seragam.”
Ia menatap remaja di depannya. “Menjadi tentara berarti menghadapi bahaya. Kekerasan. Kematian. Kamu sadar itu?”
“Sadar.”
“Dan kamu tahu,” lanjut sang dokter, “bahwa trauma tidak otomatis hilang hanya karena kamu mengenakan seragam dan disiplin ketat?”
Raska mengangguk. “Saya tahu.”
Dokter menghela napas pelan. “Kalau begitu, kenapa kamu ingin menjadi tentara?”
Raska diam lebih lama dari sebelumnya. “Agar saya berhenti merasa rusak,” katanya akhirnya. “Agar saya punya alasan untuk bangga pada diri sendiri.”
Dokter mengangguk pelan. “Dan?” dorongnya lembut.
“Agar saya layak,” lanjut Raska. “Untuk istri saya.”
Alis dokter sedikit berkerut. “Istri?”
“Menikah siri,” jawab Raska jujur. “Tapi… saya sudah menyakiti dia.”
Dokter Wira tidak menyela.
“Ibu mertua,” lanjut Raska, “mengidamkan menantu tentara. Seorang pria yang bisa dibanggakan. Bukan lelaki kaya yang menjadikan anaknya taruhan.”
Kalimat itu membuat suara Raska sedikit bergetar.
“Saya ingin suatu hari berdiri di depan beliau,” katanya, “tanpa merasa kecil. Tanpa malu.”
Dokter itu menatap Raska lama. Bukan sebagai pasien. Tapi sebagai anak yang tumbuh di hadapannya.
“Kalau alasanmu cuma untuk lari dari trauma,” katanya jujur, “saya akan melarangmu.”
Raska menegang.
“Tapi kamu tidak sedang lari,” lanjutnya. “Kamu ingin menghadapi hidup dengan arah.”
Ia menyandarkan tubuh ke kursinya. “Namun dengarkan saya baik-baik, Raska,” ucapnya tegas namun hangat.
“Menjadi tentara tidak akan menghapus trauma kamu. Tapi bisa memberimu struktur untuk hidup berdampingan dengannya.”
Raska menelan ludah.
“Dan kamu harus siap,” tambah sang dokter, “bahwa jalan ini akan lebih berat dari yang kamu bayangkan.”
Raska mengangguk mantap. “Saya siap.”
Dokter Wira tersenyum tipis. “Kamu baru tujuh belas,” katanya. “Masih terlalu muda untuk memikul semua ini sendirian.”
Ia mengambil pena. “Dan kamu tidak akan sendirian.”
Raska menghembuskan napas panjang. Bukan lega. Tapi… yakin. Untuk pertama kalinya, ia tidak sekadar bertahan.
Ia memilih arah.
***
Raska, Asep, Vicky, dan Gayus duduk di ruang tengah apartemen Raska. Suasana tenang, terlalu tenang, seolah ada sesuatu yang akan jatuh.
“Ada apa lo manggil kita semua ke sini?” Asep membuka suara lebih dulu.
“Muka lo serius banget,” sambung Vicky. “Masalah apa lagi?”
“Bilang aja,” timpal Gayus, suaranya paling tenang. “Kita pecahkan bareng.”
Raska menghela napas panjang. “Gue mau ngasih tahu kalian sesuatu.”
“Apaan sih, Ras?” Asep menyandarkan punggung. “Jangan bikin otak gue penuh tanda tanya.”
“Gue daftar tentara,” potong Raska.
Sunyi.
Asep melongo. Vicky meluruskan punggungnya. Gayus mengerutkan alis, tajam.
“Lo… apa?” Asep berdiri setengah. “Tentara? Yang bangun subuh, lari muterin lapangan segede GBK, baris-berbaris, rintangan segala?”
Raska mengangguk.
Vicky tertawa pendek, tak percaya. “Ras, lo sadar nggak? Hidup lo enak. Usaha jalan. Masa depan kebuka. Ngapain nyemplung ke hidup yang keras begitu?”
Gayus menatap Raska lama. “Ini karena Elvara?”
Raska tak langsung menjawab.
“Karena ibunya?” lanjut Gayus, suaranya tenang tapi menekan. “Karena lo pengin diterima?”
Asep mendengus. “Ras, gue tahu lo cinta istri lo. Tapi jangan ambil keputusan segede ini tanpa mikir panjang. Kalau lo malah tersiksa di sana gimana?”
Gayus menatap Raska lurus. “Jangan ambil keputusan ekstrem demi orang lain. Berkorban boleh, tapi jangan sampai lo lupa mencintai diri sendiri.”
Vicky menghembuskan napas kasar. “Cinta boleh, Ras. Bego jangan.”
Raska menatap mereka satu per satu. “Bukan cuma itu.”
Ia menghela napas lagi, lebih dalam. “Gue capek hidup dikejar bayangan. Capek bangun tidur dengan kepala penuh suara. Disiplin, struktur, tujuan… itu yang gue butuhin.”
Gayus menyela, kali ini lebih tegas. “Tentara bukan terapi. Trauma lo nggak sembuh cuma karena seragam dan disiplin ketat.”
“Gue tahu,” jawab Raska pelan. “Makanya gue tetap lanjut terapi.”
Tatapannya mengunci Gayus. “Tapi gue juga pengin hidup gue ada artinya. Pengin nyokap gue bangga, di mana pun beliau sekarang. Dan kalau suatu hari gue berdiri di depan ibu Elvara…”
Ia berhenti sejenak.
“…gue nggak berdiri sebagai cowok yang lari dari masa lalu.”
Asep menggaruk tengkuknya. “Lo yakin, Ras?”
Raska mengangguk tanpa ragu. “Yakin.”
Asep mendengus pelan. “Berarti udah nggak bisa dinego.”
“Udah final,” sahut Vicky singkat.
Gayus menghela napas panjang. “Kalau dilihat dari risiko, ini keputusan paling nggak rasional yang pernah lo ambil.”
Asep menepuk bahu Raska cukup keras. “Dasar keras kepala.”
Namun kali ini, tak ada nada marah di sana.
Gayus akhirnya mengangguk pelan. “Kalau ini keputusan yang lo ambil dengan sadar, kami cuma bisa dukung sebatas yang kami mampu. Doa, support… dan hal lain yang bisa kami bantu.”
Vicky menatap Raska lekat. “Balik nanti jangan sebagai bocah, ya.”
Raska membalas tatapan mereka satu per satu. “Gue janji.”
Ia menarik napas, lalu melanjutkan, lebih serius. “Karena gue mau fokus ke militer, gue mau minta tolong sama lo bertiga.”
Ketiganya menoleh bersamaan.
“Cuma kalian yang gue percaya.”
Asep memicingkan mata. “Apaan? Bilang aja. Selama masih masuk akal, kita bantu.”
“Usaha nyokap gue,” kata Raska pelan. “Gue nggak bakal bisa bolak-balik. Jadi gue mau kalian yang ngurus.”
“Hah?!”
Tiga-tiganya melongo.
“Ras, kita baru lulus sekolah,” protes Asep. “Kita belum pernah ngurus bisnis beneran. Ini beda jauh sama urusan kecil.”
Vicky mengangguk setuju. “Ini bukan main-main. Tanggung jawabnya gede. Lo nggak takut kita malah bikin usaha lo ambruk?”
Gayus menghela napas lagi, lebih berat. “Secara logika, orang tanpa pengalaman yang langsung terjun ke dunia bisnis berisiko besar gagal. Dunia bisnis itu keras, penuh tekanan, dan intrik.”
Raska mengangguk. “Gue tahu.”
Ia menatap mereka satu per satu. “Makanya gue nggak lepas tangan. Gue bakal minta orang-orang kepercayaan nyokap gue buat dampingi dan ngajarin kalian.”
Ia berhenti sejenak.
“Kalau ada masalah besar, kalian bisa langsung hubungi bokap gue.”
Sunyi sejenak.
Asep, Vicky, dan Gayus saling pandang.
Akhirnya, Asep mengangguk lebih dulu. Vicky menyusul. Gayus yang terakhir.
Vicky tertawa kecil, hambar. “Gila… hidup kita bakal berubah, ya?”
“Iya,” sahut Asep lirih.
Gayus menimpali, lebih tenang, lebih dewasa. “Secara logika ini berat. Tapi kalau berhasil… ini juga bisa jadi fondasi masa depan kita.”
Raska menghembuskan napas lega. “Thanks,” ucapnya tulus.
Dan untuk pertama kalinya, meski jalan di depannya terasa sunyi dan keras, Raska tahu satu hal,
ia tidak berjalan sendirian.
***
Apartemen itu sunyi seperti biasa.
Jam dinding berdetak pelan.
Wijanata berdiri di depan pintu dengan dua kantong belanjaan di tangan, lalu menekan bel.
Hingga detik ini, ia tak tahu password pintu putranya sendiri, meski tiap minggu rutin mengantar sayur, buah, daging, dan bahan memasak lainnya.
Tak lama, pintu terbuka.
Raska menatap ayahnya sekilas, lalu berbalik tanpa sepatah kata. Ia berjalan menuju dinding kaca ruang tamu, menatap hiruk-pikuk kota di bawah sana.
Nata hanya menghela napas pelan. Ia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini.
"Papa harap suatu hari jarak tak kasat mata ini tak ada lagi," batinnya.
Ia tersenyum kecut. Ekspektasi itu terasa terlalu tinggi.
Tanpa berkata apa pun, Nata menuju dapur. Ia memindahkan sayur ke dalam wadah kaca, menyusun daging di kulkas, membuang bahan yang sudah layu atau busuk. Gerakannya rapi, teratur, terlalu tenang untuk seorang pria yang tahu anaknya jarang meminta apa pun.
Setelah selesai, Nata menghampiri Raska.
“Kau belum bilang ke Papa mau lanjut kuliah di mana,” ujarnya lembut, hati-hati. “Dan mau ambil jurusan apa.”
Raska tidak menjawab.
Ia berbalik, lalu meletakkan sebuah map cokelat di atas meja. Seolah hari ini, ia memang menunggu kedatangan Nata.
“Aku butuh tanda tangan.”
Nata menatap map itu lama sebelum menyentuhnya. “Untuk apa?”
“Administrasi,” jawab Raska singkat.
Nata membuka map itu. Matanya membaca cepat. Lalu berhenti.
Persetujuan Orang Tua/Wali – Pendaftaran Calon Prajurit
Matanya seketika melebar. Refleks ia menoleh menatap Raska. “Kamu mau jadi tentara?”
“Iya.”
Satu kata. Tanpa penjelasan. Tanpa pembelaan.
Nata menyandarkan punggung ke sofa. “Sejak kapan?”
“Baru.”
“Kenapa?”
...🔸🔸🔸...
...“Tidak semua orang memilih jalan karena mimpi. Sebagian memilihnya agar tetap hidup.”...
...“Kadang yang kita cari bukan kesembuhan, melainkan cara hidup yang tidak lagi menyakiti diri sendiri.”...
...“Ia tidak memilih jalan yang paling aman. Ia memilih jalan yang membuatnya bertahan.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Kak Nana, Up Babnya 🙏🙏🙏😁