Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.
Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.
Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.
Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Malam makan malam formal itu tiba. Udara di rumah keluarga Naya terasa tegang, penuh dengan aroma masakan mahal dan parfum mewah. Naya mengenakan gaun koktail berwarna perak, yang dirancang khusus untuk memukau keluarga Darmawan dan putra mereka, Andika.
Di ruang makan yang megah, Hardi tersenyum puas melihat putrinya yang tampak menawan dan Andika yang terlihat tertarik. Pembicaraan mereka mengalir lancar, fokus pada bisnis, perjalanan, dan masa depan yang direncanakan dengan rapi. Naya hanya tersenyum kaku, sesekali menjawab pertanyaan dengan sopan, sementara pikirannya melayang jauh ke stasiun kereta api kecil di pinggir kota.
Detik-detik terasa seperti jam. Naya terus melirik jam tangannya. Pukul 20.30. Ia harus pergi sekarang.
Saat pelayan sibuk membersihkan piring hidangan utama, Naya meminta izin ke toilet. Ibunya, yang sibuk mengobrol, hanya mengangguk tanpa curiga.
Naya tidak pergi ke toilet. Ia menyelinap ke kamarnya di lantai atas, yang sudah ia persiapkan. Sebuah ransel kecil berisi pakaian dan dokumen penting sudah ia sembunyikan di bawah kasur. Ia mengenakan jaket hoodie gelap dan melepaskan gaunnya yang mewah.
Melalui ponsel rahasia, sebuah pesan singkat masuk dari Rian: "Aku sudah di stasiun. Kamu di mana, Nay?"
Naya membalas: "Otw."
Ia keluar dari kamarnya dan menuruni tangga belakang, menghindari area tamu yang ramai. Ia berhasil sampai di pintu belakang dapur. Pengasuh lamanya menunggunya di sana, matanya berkaca-kaca.
"Hati-hati, Nak," bisik pengasuh itu, memeluk Naya erat.
Naya mengangguk, air mata menggenang di matanya. "Terima kasih, Bi."
Naya keluar ke taman belakang. Langkahnya cepat dan mantap menuju celah di tembok belakang yang Rian tunjukkan. Ia berhasil merangkak melewatinya.
Di luar gerbang, sebuah taksi tua yang sudah dipesan Rian menunggunya. Naya masuk ke dalam taksi, jantungnya berdebar kencang. Ia telah meninggalkan kehidupannya yang dulu untuk selamanya.
Taksi tua itu melaju kencang membelah jalanan malam Jakarta menuju stasiun kecil di pinggir kota. Di dalam, Naya merasa campur aduk. Ada euforia kebebasan, namun juga ketakutan yang luar biasa. Ia baru saja membakar jembatan kehidupannya yang dulu.
Ponsel rahasianya bergetar. Pesan dari Rian: "5 menit lagi sampai."
Naya membalas: "Oke."
Tak lama kemudian, taksi berhenti di depan stasiun kecil yang sepi. Hanya ada beberapa lampu redup yang menyala. Naya membayar taksi dan berlari masuk ke dalam stasiun.
Rian berdiri di peron, menunggunya dengan senyum lega. Begitu Naya sampai di sisinya, Rian langsung menggenggam tangannya erat. Kehangatan tangan Rian menenangkan Naya. Keduanya berpelukan sejenak.
"Akhirnya," bisik Rian, matanya bersinar bahagia.
"Kita berhasil," balas Naya, suaranya sedikit gemetar.
Mereka membeli tiket kereta api ekonomi tujuan kota lain. Hanya ada beberapa penumpang di stasiun itu, tidak ada yang memperhatikan mereka. Mereka masuk ke dalam gerbong kereta yang remang-remang dan mencari tempat duduk di pojok.
Kereta mulai bergerak, perlahan meninggalkan Jakarta. Naya menatap keluar jendela, melihat cahaya kota yang semakin mengecil. Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena kelegaan dan harapan.
"Kita akan baik-baik saja, Naya," kata Rian, memeluk Naya erat.
Naya menyandarkan kepalanya di bahu Rian, merasakan detak jantung Rian yang teratur. Di dalam gerbong kereta yang melaju di kegelapan malam, dua jiwa yang terluka menemukan tempat berlindung satu sama lain. Mereka tahu perjalanan mereka baru saja dimulai, tapi mereka siap menghadapinya bersama.
Kekacauan pecah di rumah megah keluarga Hardi. Malam makan malam yang seharusnya menjadi perayaan dan awal perjodohan, berubah menjadi malam terburuk bagi Tuan dan Nyonya Hardi.
Naya tidak kunjung kembali dari kamar mandi. Ibunya mulai khawatir dan menyuruh pelayan mencarinya. Kamar Naya kosong, jendela sedikit terbuka. Gaun sutra perak yang dikenakannya teronggok di lantai.
Hardi panik luar biasa. Wajahnya memerah padam, bukan karena marah, tapi karena ketakutan. Putrinya, permata paling berharga, melarikan diri tepat di hadapan tamu-tamu pentingnya.
"Cari dia! Cari sampai ketemu!" perintah Tuan Hardi kepada para satpam dan pelayannya.
Para tamu mulai berbisik-bisik, suasana pesta yang riuh berubah menjadi sunyi mencekam. Tuan Hardi harus menelan malu di hadapan keluarga Darmawan dan Andika.
Ponsel Naya yang disita tergeletak di meja samping tempat tidur. Di bawah kasur, ransel Naya hilang. Semua bukti mengarah pada satu kesimpulan: Naya melarikan diri, dan ini sudah direncanakan.
Hardi yakin pelarian putrinya ada hubungannya dengan Rian.
"Rian!" geram Hardi. "Aku akan menemukan kalian berdua. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi!"
Malam itu, Hardi mengerahkan semua koneksinya. Polisi, detektif swasta, dan bahkan preman bayaran. Perburuan terhadap Naya dan Rian dimulai.
Kembali ke kota kecil tempat Naya dan Rian memulai hidup baru. Mereka menikmati ketenangan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Setiap hari adalah petualangan baru, setiap tantangan adalah kesempatan untuk tumbuh bersama.
Rian bekerja keras di toko bangunan, Naya sibuk dengan les privat anak-anak. Mereka menabung setiap rupiah, bermimpi untuk menyewa tempat yang sedikit lebih besar, atau bahkan memulai bisnis kecil mereka sendiri suatu hari nanti.
"Aku tidak pernah sebahagia ini, Rian," ujar Naya suatu sore, saat mereka beristirahat di bangku taman lokal, menikmati es krim murah.
Rian tersenyum, mengusap lembut rambut Naya. "Aku juga, Nay. Rasanya seperti... kita berhasil membangun dunia kita sendiri, persis seperti yang kita janjikan."
Mereka berdua merasa aman. Kota kecil ini terasa jauh dari jangkauan Hardi. Mereka tidak tahu bahwa di Jakarta, badai besar sedang mengamuk. Mereka tidak tahu bahwa Hardi telah menyewa detektif swasta terbaik untuk menemukan jejak mereka.
Di dunia kecil mereka, ketakutan terbesar mereka adalah uang sewa yang terlambat atau bahan makanan yang habis. Mereka hidup dalam ketenangan yang semu, tanpa menyadari bahwa bayang-bayang masa lalu perlahan mulai mendekat.
Telepon rahasia Naya tidak pernah berdering, karena mereka sepakat untuk tidak menggunakannya demi keamanan. Mereka terputus dari dunia luar, yang membuat mereka rentan.
...----------------...
Ketenangan Naya dan Rian di kota kecil itu mulai terusik. Tuan Hardi tidak main-main dengan ancamannya. Detektif swasta yang disewanya, seorang mantan polisi yang licik bernama Pak Jaya, berhasil menemukan petunjuk pertama.
Pak Jaya memeriksa rekaman CCTV stasiun kereta api kecil yang sepi itu. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengidentifikasi Naya dan Rian yang sedang membeli tiket.
Dari rekaman tiket, Pak Jaya mengetahui kota tujuan mereka. Ia segera meluncur ke sana.
Di kota kecil itu, Pak Jaya mulai melakukan penyamaran. Ia berpura-pura menjadi agen asuransi dan mulai bertanya-tanya ke warga sekitar, toko-toko, dan warung makan lokal. Warga yang ramah dengan mudah memberikan informasi tentang pasangan muda pendatang baru yang terlihat serasi dan bahagia itu.
"Oh, Mas Rian yang kerja di toko bangunan itu ya? Istrinya cantik sekali, Nona Naya namanya," ujar seorang ibu pemilik warung makan sambil tersenyum ramah. "Mereka sering makan di sini."
Pak Jaya tersenyum puas, mencatat alamat kontrakan mereka yang diberikan oleh ibu warung makan itu. Ia segera menghubungi Tuan Hardi di Jakarta.
Apa yang akan terjadi selanjutnya dengan Naya dan juga Rian?
Bersambung...