Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16
Di sisi lain restoran, Kinara berdiri di depan meja kerja sang manajer. Ruangan itu sempit, berbau kopi pahit dan asap rokok samar. Di tangannya, kartu ATM yang sejak tadi ia genggam terasa semakin dingin.
“Maaf, Pak … saldonya memang tidak cukup,” ucap Kinara pelan, menahan rasa malu yang menusuk. “Saya akan cari cara lain. Saya bisa tinggalkan identitas atau...”
Manajer restoran itu, pria setengah baya dengan senyum yang terlalu lebar dan menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Kinara dari atas ke bawah tanpa malu.
“Ah, anak muda … zaman sekarang kalau cantik begini masih ribet mikirin uang,” katanya, nadanya rendah dan menjijikkan. “Sebenarnya ada cara lain supaya tagihan ini … beres.”
Kinara menegang. “Cara apa?”
Pria itu berdiri, melangkah mendekat terlalu dekat. “Kita bisa bicara santai. Cuma berdua.l, dan anggap saja … kompensasi.”
Darah Kinara mendidih. Uang di kartu itu memang sisa tabungannya sejak kuliah, hasil kerja serabutan setelah ia diusir dari rumah. Setiap rupiah punya harga diri dan pria ini berani menginjaknya.
“Kurang ajar,” desis Kinara.
Tangannya terangkat lebih dulu sebelum pikirannya sempat menahan.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi sang manajer ruangan itu seketika sunyi.
“Jangan pernah sentuh aku dengan pikiran kotormu,” bentak Kinara, matanya menyala marah. “Aku lebih miskin dari kamu, tapi harga diriku nggak murahan!”
Manajer itu terhuyung, wajahnya merah padam. “Perempuan gila! Kamu tahu dengan siapa kamu...”
Pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka, setelah diketuk beberapa klau tetapi tak ada jawaban.
“Maaf, Pak,” suara pelayan terdengar gugup di belakang. “Asisten Tuan Arman mencari Nyonya. Katanya … urusan penting.”
Rudi masuk tepat di saat suara bentakan masih menggantung di udara. Langkahnya terhenti ketika ia melihat posisi Kinara, wajah manajer yang memerah, dan jarak yang terlalu dekat di antara mereka.
“Ada apa ini?” tanya Rudi, suaranya dingin. Manajer itu hendak berbicara, namun Kinara lebih dulu bersuara, tegas tanpa gentar.
“Dia mencoba melecehkan saya.”
Udara di ruangan itu berubah drastis. Rudi menatap manajer tersebut dengan sorot mata tajam dan tatapan yang biasa ia gunakan sebelum sebuah masalah besar terjadi.
Dan sang manajer belum tahu bahwa ia baru saja membuat kesalahan termahal dalam hidupnya. Rudi tidak langsung bicara. Ia hanya melangkah satu langkah ke depan, berdiri tepat di antara Kinara dan manajer restoran itu. Posturnya tegap, wajahnya tenang, dan itu bahkan terlalu tenang untuk situasi seperti ini.
“Apa yang barusan Anda lakukan?” tanya Rudi pelan.
Manajer itu menelan ludah, mencoba tersenyum kaku. “Ini hanya salah paham. Perempuan ini...”
“Saya tanya,” potong Rudi, suaranya turun setingkat, “apa yang barusan Anda lakukan pada Nyonya kami?”
Kata nyonya membuat Kinara tertegun sesaat. Manajer itu jelas terkejut.
“Nyonya?” alis pria itu terangkat. “Dia cuma...”
Rudi mengeluarkan ponselnya, menekan satu nomor tanpa mengalihkan pandangan dari wajah sang manajer.
“Tuan Arman. Saya menemukan Nyonya Kinara di ruang manajer restoran ini. Terjadi percobaan pelecehan.”
Panggilan terputus begitu saja, Manajer itu pucat seketika.
“T–tunggu! Ini tidak seperti yang...”
Rudi menyimpan ponsel , lalu menatap pria itu datar. “Restoran ini berada di bawah jaringan mitra Mission Bar.”
Manajer itu mundur satu langkah. “Saya bisa jelaskan—”
“Tidak perlu.” Rudi menoleh pada pelayan di pintu. “Panggil keamanan, dan siapkan rekaman CCTV, sekarang!”
Pelayan itu langsung mengangguk panik dan berlari.
Kinara berdiri diam, napasnya belum sepenuhnya stabil. Tangannya masih bergetar dan bukan karena takut, tapi karena amarah yang baru saja meledak.
Rudi menoleh padanya. “Nyonya tidak apa-apa?”
Kinara mengangguk pelan. “Saya baik-baik aja.”
Detik berikutnya, suara roda kursi terdengar dari lorong.
Rudi menegang, dan pintu ruangan terbuka lebih lebar, dan Arman muncul di ambang pintu, didorong oleh seorang staf restoran yang wajahnya sama pucatnya dengan manajer itu. Aura dingin Arman memenuhi ruangan sempit itu tanpa perlu satu kata pun.
Aksa berlari ke arah Kinara.
"Mommy!" Aksa memeluk Kinara. Tatapan Arman langsung tertuju pada Kinara. Baru kemudian pandangannya beralih ke manajer restoran.
“Siapa Anda?” tanya Arman pelan.
Manajer itu gemetar. “S–saya … saya manajer di sini…”
“Bagus.” Arman menyandarkan punggungnya sedikit ke kursi roda. “Karena mulai hari ini, Anda bukan siapa-siapa lagi.”
Manajer itu jatuh terduduk.
“Kontrak diputus,” lanjut Arman tanpa emosi. “Laporkan ke kepolisian. Dan pastikan orang ini tidak pernah bekerja di industri layanan publik lagi.”
Pria itu menangis, memohon, berlutut dan semua percuma. Arman sudah beralih kini pandangan dinginnya kembali pada Kinara. “Kenapa tidak bilang?”
Kinara mengangkat dagu. “Karena saya tidak mau merepotkan.”
Sesaat kemudian hanya sesaat, dan itu ada sesuatu yang bergetar di mata Arman.
Ia memalingkan wajahnya. “Mulai sekarang … itu bukan pilihan.”
Rudi menahan napas, karena baginya ini pertama kalinya, Tuan Arman Pramudya tidak berbicara sebagai CEO, bukan sebagai pria lumpuh, melainkan sebagai suami. Kinara hanya mengangguk pelan.
"Rudi selesaikan semuanya, kita pulang!" katanya dingin dan membalikan kursi rodanya.
"Tuan, Tuan Arman! Saya mohon! Beri saya kesempatan!" teriak menager tersebut, Rudi menghalangi jalan pria tua itu untuk mendekati Arman yang meninggalkan ruangan tersebut bersama dengan Kinara dan Aksa.
"Jika kamu tidak percaya dengan kemampuan saya bisa melindungi kamu, untuk apa kamu bertahan dengan pria seperti saya ini?" kata-kata itu membuat Kinara terdiam tidak mampu menjawab apa yang di maksud oleh Arman.
"Daddy terlalu kaku, jangan terlalu dingin. Mommy tidak akan mungkin tahan dengan sikap Daddy seperti itu," sela Aksa, Kinara hanya diam masih belum mengatakan apapun.
"Bocah kamu sudah pandai mengatur, Daddy mu?" suara dingin itu membuat Aksa menelan ludah.
"Aksa belum berani, Daddy. Tapi kalau ini untuk membela Mommy, Aksa akan berusaha menjadi pria yang kuat dan bisa menjaga Mommy," Bocah itu memegang tangan Kinara yang saat ini tengah mendorong kursi roda Arman.
"Kamu bisa menyetir? Kita pulang ke rumah dulu, Rudi akan menyusul setelah semua urusan beres," katanya, Kinara mengangguk dan membuka pintu mobil untuk Aksa dan membantu Arman untuk menempatkan posisi kursi rodanya dengan benar.
minta balikan lagi sama Arman
nanti pasti Aksa yg di jadikan alat
dasarrrr orang 🤣🤣