Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.
Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...
Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
INIKAH YANG DINAMAKAN JATUH CINTA?
Dada Arum seolah ingin saja meledak. Sesak. Napas yang sejak tadi tertahan akhirnya terhela panjang begitu ia tiba di rumah dan menutup pintu rapat di belakangnya. Suara klik kunci terdengar pelan, namun cukup untuk membuatnya tersadar bahwa ia kini benar-benar sendiri.
Ia menyandarkan punggung pada papan pintu dengan payung yang masih tergenggam di tangannya. Hujan di luar meredup menjadi suara latar yang jauh, sementara jantungnya masih berdebar tak karuan. Arum memejamkan mata, membiarkan napasnya mencari ritme, satu demi satu, hingga dada itu perlahan tak lagi terasa sesak.
"Apakah aku bermimpi?" Tanyanya pada diri sendiri.
Wajahnya kemudian terangkat. Bila matanya menerawang menatap langit-langit kamarnya. "Ya Tuhan..." Gumamnya. "Selama ini tidak pernah ada lelaki yang singgah di hidupku. Tapi kali ini,"
Arum memejamkan bola matanya. Seketika, raut wajah lelaki itu terlintas jelas—garis wajahnya, sorot matanya yang teduh. Senyumnya yang hangat kembali teringat, sederhana namun terasa tulus. Nada bicaranya yang tenang bergaung pelan di ingatan, seolah masih dekat, masih ada di ruang yang sama.
Bahkan aroma parfum khas itu kembali tercium samar—hangat, bersih, dengan jejak kayu yang lembut. Arum menghela napas pelan, dadanya kembali menghangat oleh kenangan yang baru saja tercipta namun terasa begitu membekas.
Ia membuka mata perlahan, menatap ruang tamu yang sunyi. Lampu temaram memantulkan bayangan lembut di dinding, membuat rumah itu terasa lebih hening. Langkahnya kemudian mendekat ke sebuah lemari kayu di sudut ruangan—lemari tua dengan permukaan yang telah kusam oleh masa.
Di atasnya tersimpan sebingkai foto sang Ibu. Arum berhenti tepat di depannya. Jemarinya terangkat, menyentuh kaca bingkai dengan gerakan hati-hati, seakan takut mengganggu keheningan yang menyelimuti wajah di dalam foto itu. Senyum ibunya terpatri tenang, menatapnya seolah tahu ada banyak hal yang ingin ia ceritakan malam ini.
Arum menghela napas pelan. “Bu…” Gumamnya lirih.
Hening menjawab, namun kehangatan menyusup perlahan. Di hadapan foto itu, perasaan di dadanya terasa lebih jujur—tentang hujan, tentang pertemuan tak terduga, dan tentang satu nama yang kembali berputar di pikirannya.
****
Langit menghentikan mobilnya di pekarangan rumah. Mesin dimatikan, meninggalkan sunyi yang segera menggantikan dengung perjalanan. Ia kemudian beringsut turun, meraih sebuket bunga pesanan sang Ibu dari kursi belakang, beruntung kelopaknya masih segar, dibungkus rapi dengan pita sederhana.
Ia melangkah masuk menuju rumah. Ketika pintu terbuka, tercium aroma rumah yang hangat menyambutnya—akrab dan menenangkan.
“Aku pulang!” Ucap Langit setibanya di dalam rumah. Suaranya menggema ringan di ruang tengah, membawa serta sisa-sisa hujan dan perjalanan malam yang belum sepenuhnya pergi dari pikirannya.
"Langit!" Seru seseorang, muncul dari salah ruang dan bergerak cepat menghampirinya.
Langit menoleh, "Ma."
"Ya ampun Langit... kamu hujan-hujanan?!" Tanya Laura cemas. "Kamu kan pakai mobil, kenapa bisa kehujanan, si?"
"Iya udah lah, Ma. Cuma air." Jawab Langit sambil memberikan buket itu pada Ibunya.
Laura mengernyitkan alisnya. "Cuma?" Ulangnya. "Kamu bilang cuma air? Langit... kalau kamu sakit, siapa yang urus?"
Langit melempar senyum sambil meraih punggung jemari hangat Ibunya. "Mama gak usah khawatir, lagipula aku cuma basah sedikit aja, kok." Jelasnya. "Lagian... aku langsung mandi nanti. Tapi... makasih ya, Ma."
"Ma-Makasih apa?" Tanya Laura, tergagap heran. "Justru Mama yang terima kasih sama kamu udah bawain Mama bunga buat di ruang tamu."
Langit mengangguk, "Pokoknya... Mama the best!"
Laura semakin bingung, sebelah alisnya terangkat dan menatap anak semata wayangnya itu penuh tanya.
"Ya udah deh, Ma. Aku ke kamar dulu, ya. Gerah!"
"Biar Bik Retno yang nyiapin air hangat buat kam—"
"Enggak perlu, Ma." Geleng Langit. "Gerah. Aku mau mandi air dingin aja."
"Ge-Gerah?" Ulang Laura. "Gerah darimana? Di luar hujan cuaca dingin, lho!"
Langit hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. Senyum yang sulit ia sembunyikan—ringan, samar, seolah masih menyimpan sisa kehangatan dari sesuatu yang tak bisa ia ceritakan. Tanpa menunggu jawaban lagi, ia melepaskan jemari Laura lalu melangkah menuju kamarnya, meninggalkan wanita berparas awet muda itu yang masih berdiri dengan kening berkerut dan rasa penasaran yang belum terjawab.
"Sering-sering suruh aku ke toko bunga ya, Ma!" Seru Langit saat menaiki anak tangga menuju kamarnya. Langkah kakinya terdengar ringan, nyaris ceroboh, seolah ada semangat yang tak biasa menyusup di setiap pijakan. Senyumnya masih tertinggal, bahkan ketika punggungnya telah menghilang di balik dinding lantai atas.
Laura hanya menggeleng pelan, menatap arah tangga dengan dahi berkerut. Ia mencoba menebak apa yang sedang terjadi pada anaknya—perubahan kecil itu terlalu jelas untuk diabaikan. Ada sesuatu, pikirnya. Sesuatu yang membuat Langit pulang dengan mata berbinar dan alasan-alasan ganjil.
“Anak itu… aneh!” Gumam Laura, sebelum akhirnya ia juga pergi meninggalkan tempat.
****