Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Garis Takdir
Lampu minimarket sudah lama tertutup di belakang punggung Leni. Malam begitu sunyi sampai-sampai suara gesekan sandal jepitnya terdengar jelas. Lagu “Drunk-Dazed” mengalun samar dari earphone yang hanya menempel di satu telinganya, cukup untuk mengusir sepi, tapi tidak cukup untuk membuatnya lupa bahwa jarum jam sudah lewat sebelas malam.
Ia berjalan cepat. Lelahnya masih menempel dari shift panjang tadi, tetapi masalahnya bukan itu. Ada sesuatu yang lain—langkah kaki. Berat, malas, tapi konsisten mengikuti dari belakang. Awalnya ia kira cuma warga lain yang pulang malam. Tapi ketika ia menurunkan volume musik, suara itu tetap ada. Mengiringi. Menjaga jarak.
Leni menoleh. Lampu jalan berkelip seperti mau padam, dan di bawah cahaya yang tidak stabil itu, terlihat bayangan seorang pria bertubuh besar dengan hoodie gelap. Kepalanya sedikit menunduk, wajahnya tidak terlihat jelas. Namun cara ia berjalan… terlalu cepat. Terlalu sengaja.
Perut Leni mencelos. Rasa dingin merambat dari ujung jari ke tengkuk. Nalurinya berteriak untuk lari sebelum terlambat.
Ia mempercepat langkah, kemudian benar-benar berlari. Pria itu langsung ikut berlari, bahkan lebih cepat.
“Hei! Nona! Tunggu sebentar!” teriaknya dengan suara serak yang membuat bulu kuduk Leni berdiri.
Tidak ada alasan bagi seorang pria asing meminta seorang perempuan “menunggu” di gang sempit, tengah malam pula. Leni makin panik. Napasnya terengah, udara menusuk paru-parunya. Ia membelok ke kanan, berharap bisa lolos lewat jalan alternatif menuju jalan raya. Langkah pria itu semakin dekat. Ia bisa mendengar napasnya, bisa mencium bau rokoknya, bisa merasakan ancaman yang semakin nyata.
Leni tidak sempat berpikir panjang. Ia menembus gang terakhir, lalu—
Brakk!
Ia keluar persis ke jalan raya yang ramai, tanpa sempat memastikan aman atau tidak.
Ciiiittt!
Cahaya putih menyilaukan menabrak pandangannya, lalu tubuhnya seperti dihantam sesuatu yang besar. Rasa sakit menyambar cepat, tajam, lalu gelap menyelimuti semuanya.
Atau setidaknya… itu yang ia kira.
Ketika Leni membuka mata, ia tidak sedang tergeletak di aspal panas. Udara yang ia hirup terlalu dingin. Terlalu bersih. Terlalu asing.
Ia terduduk di trotoar yang licin dan rapi, dikelilingi gedung tinggi dengan papan reklame huruf-huruf Hangeul bercahaya. Lampu-lampu kota yang ramai memantul di kulitnya. Ia membeku. Jantungnya berdetak terlalu cepat, bukan hanya karena takut—tapi karena tidak masuk akal.
“Korea…?” bisiknya, nyaris tidak terdengar.
Orang-orang berkerumun. Mereka panik, berbicara cepat.
“Jogiyo, gwaenchanh-ayo?”
“Eotteokhae, chincha!”
Anehnya, ia mengerti semuanya. Bukan seperti mengingat pelajaran… tetapi seperti otaknya tiba-tiba bisa menangkap arti setiap kata tanpa usaha.
Seorang bodyguard besar menatapnya tajam. “Neo nuguya? Eotteohge yeogi wasseo?” Suaranya terdengar seperti teguran keras.
Leni ingin menjawab bahwa ia pun tidak tahu, tetapi lidahnya seperti terlipat. Tubuhnya masih gemetar. Sementara itu, sebuah van hitam mewah yang berhenti di dekatnya perlahan membuka pintu.
Dari balik kegelapan interior, sepasang mata muncul—tajam, rapi, hampir bercahaya karena pantulan lampu billboard. Leni membeku. Ia mengenal bentuk mata itu. Garis alis itu. Cara tatapannya bertahan seolah sedang menilai, namun tetap lembut.
Ia pernah melihat wajah itu puluhan kali sebelum tidur. Dalam poster. Di video. Di mimpi.
Sosok di dalam van itu berkata pelan, suaranya nyaris seperti gumaman, namun Leni mendengarnya jelas.
“Geumanhae… neo, naega bari anasseulkka haetteon geot gata.”
Hentikan… seolah aku sudah menahanmu dari pergi terlalu lama.
Bodyguard yang tadinya galak langsung berubah gugup. “A—aniya, Jae-ssi! Ini cuma—”
Tapi ucapan itu dipotong oleh sosok di dalam van yang mengulurkan tangan pelan.
“Nae son-eul jab-a.”
Raih tanganku.
Leni menatap tangan itu. Hangatnya terasa bahkan sebelum ia menyentuh. Ia masih tidak mengerti apa yang terjadi—bagaimana ia bisa di Korea, bagaimana ia bisa mengerti bahasa di sekitar, atau mengapa pria ini… terasa begitu familiar.
Namun tubuhnya bergerak lebih cepat daripada logika. Ia meraih tangan itu. Dan ketika genggaman hangat itu menariknya masuk ke dalam van, pintu tertutup rapat di belakang mereka.
Kini, di dalam gelap yang wangi dan sunyi, Leni hanya bisa menatap sosok di depan mata.
Dan untuk sesaat, ia lupa cara bernapas.
Karena idolanya… atau seseorang yang sangat mirip dengannya… kini duduk kurang dari satu meter darinya.
...****************...