Petaka Di Air Terjun Kampung Dara

"Sigit, kenapa kamu murung terus nak? Lihat orang orang itu terus melihat kamu" tanya Wisnu

‎ Sigit mendongakkan kepalanya dia melihat sekitar dan memang orang orang menatapnya dengan tatapan khawatir, mereka di sana sangat menyukai Sigit yang sopan meski dia anak seorang juragan, bahkan banyak para juragan atau kepala desa yang melamarnya untuk anak anak mereka dari kampung itu, juga dari kampung lain.

‎"Sigit mungkin hanya lelah saja pak" jawab Sigit

‎"Istirahatlah di saung sana, mungkin kamu masih pusing karena pukulan rampok kemarin" ucap Wisnu

‎"Iya pak, Sigit memang merasa sedikit lemas tidak tahu kenapa pikiran Sigit juga terus ingat Dirga dan Kenanga" jawab Sigit berdiri dan pergi ke arah saung di mana para anak anak istirahat di sana karena cuaca panas.

‎"Juragan..."

‎"Diam, tidak pernah terjadi apapun, apa mayat mereka sudah kamu temukan?" tanya Wisnu

‎"Mayat Dirga hanyut di sungai, tapi Kenanga tidak di temukan juragan, mungkin juga hanyut karena saat itu arus sungai sedang deras" bisik anak buahnya

‎"Bagus, buat seolah olah Dirga tidak akan kembali ke kampung ini lagi, agar anakku tidak terus melamun" ucap Wisnu

‎"Baik juragan" jawabnya

‎ Wisnu menatap datar Sigit, dia bukan tidak tahu Sigit menyukai Kenanga, tapi sifat egoisnya membuat dia tidak memperbolehkan Sigit untuk melamar Kenanga saat dia menyampaikan keinginan itu, karena Wisnu juga mengincar Kenanga yang setiap hari selalu mengganggu pikirannya.

‎"Aku harus segera menikahkan anak itu" gumam Wisnu

‎ Di tempat Sigit, dia sedang bermain dengan anak anak para warga yang jadi buruh di sana, kebanyakan mereka tidak bersekolah karena sekolah TK tidak ada di sana, hanya ada SD saja dan usia mereka masih balita.

‎"Kak Sigit, lihat kami menemukan bunga yang bagus" ucap seorang anak perempuan menghampiri Sigit

‎"Bunga mawar, ini wangi sekali sini kak Sigit pakaikan di telinga kamu, kamu pasti terlihat cantik" ucap Sigit

‎"Kami juga mau" ucap anak perempuan yang lain

‎"Ish.. Dasar! Setiap ada kak Sigit kalian malah pindah main dengannya" kesal para anak lelaki

‎"Hahaha, Itu karena kalian tidak tampan seperti kak Sigit" ledek Sigit.

‎"Iya, kalian ada ingusnya kak Sigit tidak ada" celetuk seorang anak membuat Sigit tertawa

‎"Kak Sigit, lihat ini, bapak menemukan ini di hutan" ucap seorang anak memperlihatkan kalung dengan liontin mawar hitam yang dia pakai.

‎ Sigit membelalakkan matanya, itu adalah kalung milik Kenanga yang di hadiahkan Sigit saat dia menikah dengan Dirga, bahkan Kenanga masih memakai itu ketika akan berangkat ke Jakarta. Sigit mengusap kalung itu karena dia yakin itu milik Kenanga, itu adalah kalung yang dia pesan secara khusus dan bahannya terbuat dari emas putih.

‎"Hutan, hutan mana?" tanya Sigit

‎"Di dekat air terjun den, kemarin hampir Maghrib saya pulang dari mencari rumput untuk kambing kambing saya, saya menemukan itu di dekat pohon besar tepat di pinggir sungai yang mengarah ke air terjun, pasti harta Karun, tidak akan saya jual" jawab ayah anak itu yang kebetulan sedang beristirahat di sana juga.

‎ Sigit berkeringat dingin, tangannya gemetar karena itu adalah tempat terkahir dia di pukul seseorang dan pingsan, dia bahkan tidak bisa melihat orang yang memukulnya itu siapa.

‎"Pak, apa di sana tidak ada orang?" tanya Sigit

‎"Tidak ada den, tidak ada siapapun, tapi saya lihat ada noda darah di bebatuan di sungai, dan pas saya cek, ternyata itu darah kijang yang mati" jawab bapak itu

‎ Sigit kembali diam, dia berpikir kalau dia harus ke sana, tapi hari sudah hampir sore dan dia tidak mungkin ke tempat itu yang jaraknya satu jam dari kampung dengan menggunakan kendaraan, jadi Sigit memutuskan akan ke sana besok.

‎"Kalian sudah makan?" tanya Sigit

‎"Sudah kak" jawab semuanya

‎ Panen selesai pukul dua sore, hasil penen Wisnu untuk yang sayuran langsung di kirim ke pasar dan untuk padi akan di simpan di lumbung terlebih dahulu dan di jemur sampai kering, barulah setelah itu akan di jual. Hari juga sudah mulai mendung menandakan akan turun hujan jadi para warga memutuskan untuk pulang setelah menerima bayaran mereka dari Wisnu dengan sisa sisa panen yang tidak di ambil Wisnu dari lahannya.

‎~~~

‎ Di sebuah pos ronda rumah Wisnu.

‎"Aku masih tidak percaya kalau aku bisa merasakan keindahan tubuh Kenanga, dia begitu legit dan menggigit" ungkap anak buah Wisnu bernama Rusli, dia sedang mengobrol dengan satu orang lainnya yang ikut dalam tragedi di air terjun Dara.

‎"Iya, aku pikir juragan tidak akan membaginya dengan kita, ternyata dia berikan karena sudah puas" bisik temannya yang bernama Juned

‎"Sejak lama aku menaruh hati pada Kenanga, dia terlalu mahal untuk ukuran seorang gadis kampung, apalagi dia juga tidak pernah keluar malam meski hanya sekedar nonton layar tancep di balai desa" ucap Rusli

‎"Hmmm... Aku jadi ingin merasakannya lagi" ungkap Juned memejamkan matanya sambil mengingat momen mereka menjama* tubuh Kenanga.

‎ Tuk. Tuk.

‎ Dua buah kerikil tiba tiba saja jatuh di atas kepala mereka yang sedang bersantai setelah lelah membantu panen Wisnu.

‎"Aduh! Siapa yang sudah berani melempar kepala kita dengan kerikil!" kesal Rusli

‎"Iya, meski kecil tapi lumayan sakit" jawab Juned

‎ Tempat yang menjelang sore itu terlihat mendung tiba tiba saja mengeluarkan kabut putih yang hanya mengelilingi tempat Rusli dan Juned, mereka sempat panik karena kabut itu datang dengan tiba tiba dan membuat pandangan mereka jadi buram juga terlihat gelap.

‎"Hihihi... Mau yang legit dan menggigit?"

‎ Tiba tiba juga terdengar suara seorang perempuan dari balik kabut asap itu. Suaranya begitu lembut dan halus, tapi tawanya terdengar memekakkan telinga.

‎"Si... Siapa itu?" tanya Juned mulai ketakutan

‎"Keluar kamu! Jangan main main dengan kami!" teriak Rusli

‎"Kak Juned dan kak Rusli lupa ya sama aku? Hihihihi"

‎ Tuk.

‎"Aakhhh! Jangan main main dengan kami!" kesal Rusli karena kembali di lempar kerikil oleh sosok itu.

‎"Hiks... Dingin kak, di sini dingin... Kenanga kedinginan" lirih suara itu

‎"Ke... Kenaga..?"

"Tolong temani Kenanga kak, Kenanga kesepian di sini"

"Itu.. Itu benar benar suara Kenanga Jun" bisik Rusli ketakutan

"Tapi kan tidak mungkin, Kenanga sudah kita buang ke air terjun" bisik Juned

‎

‎