Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ramen dan Pertanyaan dari Mami
Mobil Revan menepi di depan sebuah kafe bergaya vintage yang tampak tenang, jauh dari keramaian kampus. Tempatnya nyaman dan sesuai janji Revan cukup tertutup. Setelah memarkirkan mobil, Revan membukakan pintu untukku.
Kami duduk di sudut kafe, memesan ramen pedas dan minuman dingin. Sepanjang menunggu pesanan datang, Revan sengaja tidak menyentuh topik berat yang baru saja kami diskusikan di mobil. Ia bercerita tentang dosennya yang eksentrik di kampus barunya dan teman-teman barunya di sana. Aku pun tertawa mendengarkan kisah-kisahnya.
"Kamu terlihat lebih tenang sekarang," kata Revan, setelah mangkuk ramen kami diletakkan di meja.
"Kamu yang membuatku tenang," balasku jujur, mengambil sumpit. "Kamu seperti penenang, Van. Tapi juga sumber kegelisahan utama."
Revan hanya tersenyum tipis. "Aku tahu. Tapi, kita lupakan dulu kegelisahan. Sekarang mari kita fokus pada ramen yang luar biasa ini."
Kami makan dalam diam yang menyenangkan selama beberapa saat. Ketika mangkukku hampir kosong, Revan meletakkan sumpitnya dan menatapku dengan mata yang cerah.
"Mami tadi telepon," katanya tanpa basa-basi.
Aku mengangkat alis, terkejut. Hubunganku dengan Mami begitu aku memanggil ibu Revan memang dekat sejak dulu. Mami adalah wanita yang hangat, yang melihatku bukan sebagai kekasih putranya yang Muslim, melainkan sebagai anak perempuan yang ia sayangi.
"Ada apa, Van? Apa Mami menanyakan soal kuliahmu?"
"Bukan. Mami menanyakan kabarmu, Indira Safitri. Tepatnya, Mami bertanya kenapa sudah lama kamu tidak main ke rumah." Revan tersenyum menggoda.
"Aku... aku agak sibuk, Van. Tugas-tugas kuliah menumpuk," elak ku, padahal aku tahu alasan sebenarnya adalah perasaan canggungku setelah perubahan agama Revan.
Revan menghela napas, nadanya berubah serius. "Mami tahu kamu berbohong. Mami juga tahu sejak aku pindah, kamu mulai menjauh, padahal tidak ada yang berubah dari perasaan Mami padamu."
"Van, ini bukan tentang Mami. Ini tentang... aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Rumah kalian sekarang... berbeda." Aku menunjuk kalung salibnya. "Aku harus bersikap bagaimana jika ada simbol-simbol gereja yang... ya, kamu tahu maksudku."
"Mami mengerti. Tapi, Mami ingin kamu tahu, rumah itu tetap rumah. Dan Mami tetap Mami. Mami tahu batasannya, Ra. Mami hanya ingin kamu datang sebentar akhir pekan ini. Mami bilang, dia rindu masakan rendangmu."
Aku terdiam. Rendang. Itu selalu menjadi 'kode' Mami. Sejak dulu, jika Mami merindukanku, dia akan memintaku memasak rendang. Aroma rendang buatan kami berdua selalu memenuhi dapur, menjadi perpaduan tradisi yang menyatukan kami.
"Tolong, Ra. Datanglah," pinta Revan, suaranya mengandung permohonan tulus. "Mami tahu kita sedang berada di Garis Batas yang membingungkan ini, tapi Mami tidak mau garis itu memisahkan kita sebagai keluarga."
Aku memandangi mata Revan, melihat bayangan diriku sendiri di sana. Jika aku datang ke rumah mereka, aku akan merasa bersalah kepada diriku sendiri dan keluargaku. Tapi jika aku menolak, aku akan menyakiti wanita yang sudah kuanggap ibuku sendiri, yang menerima kerudungku sama tulusnya dengan dia menerima Revan.
"Baiklah," putusku akhirnya, dengan tarikan napas berat. "Aku akan datang akhir pekan ini. Tapi hanya sebentar, ya. Dan hanya untuk Mami."
Revan tersenyum lebar, senyum yang mampu meluruhkan semua beban yang kurasakan. Ia tampak sangat lega.
"Terima kasih, Indira. Kamu tidak akan menyesal. Dan aku janji, tidak akan ada bahasan berat, hanya kamu dan Mami di dapur." Ia lalu meraih tanganku, dan segera mengurungkan niatnya sebelum tangannya sempat menyentuhku. Ia ingat batasannya.
"Sekarang," kata Revan, bangkit berdiri. "Ayo, aku antar kamu pulang. Kamu harus istirahat, besok sudah hari Jumat."
Aku mengangguk, mengagumi kehati-hatiannya. Cinta ini memang penuh dengan 'tetapi,' namun di tengah semua batasan itu, ia adalah satu-satunya hal yang terasa paling benar.