Suatu hari, Rian, seorang pengantar pizza, melakukan pengantaran di siang hari yang terik.
Namun entah kenapa, ada perasaan aneh yang membuat langkahnya terasa berat saat menuju tujuan terakhirnya.
Begitu sampai di depan pintu apartemen lokasi pengantaran itu, suara tangis pelan terdengar dari dalam di ikuti suara kursi terguling.
Tanpa berpikir panjang, Rian mendobrak pintu dan menyelamatkan seorang gadis berseragam SMA di detik terakhir.
Ia tidak tahu, tindakan nurani itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
Sistem memberi imbalan besar atas pencapaiannya.
Namun seiring waktu, Rian mulai menyadari
semakin besar sesuatu yang ia terima, semakin besar pula harga yang harus dibayar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 - Sistem
Dan di apartemen kecil itu, dengan cahaya senja menembus jendela, Yuna tidur untuk pertama kalinya tanpa rasa takut di pangkuan seseorang yang akhirnya berkata,
“Kamu gak akan sendirian lagi.”
Dan saat itu…
[Ding!]
Panel biru itu muncul lagi tepat di depan wajah Rian tepat ketika Yuna sudah tertidur pulas di pangkuannya. Cahaya birunya memantul di pipi Yuna yang masih lembap oleh air mata.
Pelan, Rian mengangkat kepalanya untuk membaca nya.
[Sistem Berhasil Terhubung dengan Host]
[Selamat! Host telah berhasil menyelesaikan Misi]
[Deskripsi : Menyelamatkan Yuna di Jalan Burung Gagak No. 10, Apartemen Lantai 3, Kamar 30]
[Reward : Rp. 15.000.000 & Mata Emosi]
Rian memicingkan mata, menahan suara agar tidak membangunkan Yuna.
“…Mata Emosi? Apaan lagi itu…” gumamnya setengah berbisik.
Lalu ia melirik angka yang tertera.
Dia bahkan harus memastikan dua kali.
“…dan… lima belas juta? Seriusan?”
Belum sempat otaknya memikirkan ini realita atau hanya bohongan, ponselnya tiba-tiba bergetar di kantong celana.
Rian langsung menggerakan tangannya pelan, takut Yuna kebangun.
Dengan hati-hati, ia merogoh ponsel, membuka layar di kecerahan serendah mungkin.
Satu notifikasi muncul,
Instan Bank
Berhasil Isi Saldo Rp. 15.000.000 ke rekening 79xxxxxx9
Rian sampai harus menahan mulutnya dengan tangan kiri agar tidak reflek bersuara keras.
“…ha… hah? Gila… ini beneran masuk…?”
Ia melihat saldonya lagi, memastikan itu bukan mimpi halu:
[Saldo Total : 15.300.000]
Tangannya gemetar sedikit bukan ketakutan, tapi campuran antara kaget, syok, dan… rasa lega yang datang begitu cepat sampai dia sendiri kewalahan menahannya.
Ia menatap layar ponselnya lagi, memastikan angka itu nyata.
Benar. Angkanya masih ada di sana.
[Saldo Total : Rp. 15.300.000]
Saldo itu Beneran masih ada!
Rian mengembuskan napas tak percaya.
“Gila… sistem ini beneran ternyata…” bisiknya pelan, seolah takut kalau suara keras bisa bikin angka itu hilang begitu saja.
Kepalanya langsung penuh bayangan kecil yang hangat ibunya, yang tiap hari cuma makan seadanya, pakai baju yang udah sedikit usang tapi tetap dipakai karena “sayang kalau beli baru.”
“Kalo begini…”
Suaranya merendah, hampir seperti gumaman.
“Aku bisa beliin ibu makanan enak di restoran, baju yang bagus… mungkin bisa renovasi rumah peninggalan ayah juga…”
Namun sebelum pikirannya melayang terlalu jauh, matanya turun menatap gadis kecil yang tertidur pulas di pangkuannya.
Yuna, siswi SMA.
Wajahnya yang basah, napas yang masih tersengal-sengal kecil habis menangis.
Tubuhnya yang sedikit kurus, memeluk dirinya bahkan dalam tidur… seolah ketakutan akan kehilangan sesuatu lagi.
Rian menatapnya lama lebih lama dari yang ia sadari.
“Apalagi…” katanya pelan, hampir tak terdengar.
“… Udah ada Yuna.”
Ia mengusap kepala gadis itu pelan, menyelipkan beberapa helai rambut agar tak menutupi wajahnya.
“Aku gak tega ninggalin dia… udah kayak…”
Ia menahan napas sebentar.
“…adik ku sendiri.”
Ada sedikit getaran hangat di dadanya, campur rasa protektif yang muncul tanpa peringatan.
“Mau gimana pun… aku gak akan biarin bocah ini ngadepin semuanya sendirian lagi.”
Rian bersandar ke dinding lusuh apartemen itu. Lampu kuning redup memantul di pipi Yuna, membuatnya tampak rapuh, seperti seseorang yang benar-benar harus dijaga.
Dalam hati, ia menghela napas panjang.
"Huh...Untung aja ada sistem…"
Kalimat itu melintas begitu saja, bukan sombong, tapi penuh rasa syukur.
“Jadi aku bisa nyekolahin Yuna kayak siswi SMA lainnya…” gumamnya lirih, tangannya masih mengusap rambut gadis itu perlahan.
“Soalnya biaya sekolah lumayan berat…”
Rian punya dua adik, satu masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dan satunya lagi baru masuk Sekolah Menengah Atas tahun ini.
Sejak ayah mereka tiada 4 tahun lalu , keadaan di rumah memang nggak pernah benar-benar mudah.
Ibunya bekerja serabutan membantu tetangga, mulai dari mencuci baju, menyetrika, sampai pekerjaan kecil apa pun yang bisa menghasilkan.
Pendapatannya pun tidak seberapa, hanya cukup untuk menjaga agar dapur tak benar-benar padam.
Beruntung saja masa-masa itu cuma berlangsung enam bulan. Setelah aku lulus, aku bisa ikut bantu keluarga.
Gaji Rian memang nggak besar hanya sekitar Rp1.600.000 per bulan tapi setidaknya makan siang di tempat kerja gratis, jadi gak perlu mikir makan siang lagi.
Karena itu… waktu Rian mikirin Yuna, perasaannya campur aduk banget.
Ia kepikiran buat ngerawat dia juga.
“Kalau aku bawa dia… apa itu nambah beban buat Ibu?”
Pertanyaan tersebut udah muter-muter di kepala Rian dari tadi.
Tapi… saat sistem muncul, hadiah yang jatuh kayak keajaiban… rasanya kayak ada batu besar yang akhir nya pecah dan rian pun tertidur pulas.
Dua jam lewat begitu saja.
Rian kebangun karena merasa ada cahaya tipis yang datang dari arah depan wajah nya. Ia mengedip-ngedip, ngangkat kepala dan sedikit kaget.
"Yuna..? "Dimana dia..?"
Yuna sudah tidak ada di pangkuan nya.
Refleks, Rian bangkit berdiri, napasnya naik turun sedikit panik.
Tapi cuma butuh sepersekian detik buat lihat pemandangannya.
Gadis itu ternyata ada tepat di depannya, jongkok sambil nunduk rapih-rapihin isi koper kecil.
Rian mengembuskan napas panjang.
“Huh… kirain kemana…”
Yuna seketika menoleh, lalu berdiri pelan. Matanya agak merah tapi senyumnya kecil kelihat rapuh.
Ia meraih sesuatu dari meja kecil di samping kasur springbed itu, mie instan cup yang masih ngebul halus, air panasnya bikin tutup styrofoam sedikit melengkung.
“Nih, Kak…”
Ia menyodorkannya dengan dua tangan.
“Aku udah masakin mie. Hehe… di makan ya…”
Ada getar lembut di suara Yuna campuran ingin berguna, ingin membalas sedikit kebaikan… dan rasa takut ditolak.
“Iya, kakak makan ya…”
Rian tersenyum kecil dan menerima mie itu dengan kedua tangan dan kembali duduk di kasur.
Matanya menoleh sebentar melihat Yuna, langsung terpaku pada sesuatu di atas kepala gadis itu.
♡ : 31
Rian mengernyit.
“…lah, apa itu?” Gumam Rian.
Belum sempat ia mikir panjang, panel biru muncul begitu saja di depan wajahnya begitu dekat sampai Rian refleks mundur sedikit.
[Ding!]
[♡ 10–30 : Putus Asa]
[♡ 31–40 : Takut]
[♡ 41–60 : Normal]
[♡ 71–100 : Ceria/Senang]
Rian menatap angka itu sekali lagi.
31.
Yuna berada di Level takut.
Dan pas ia lihat ke arah Yuna lagi… barulah dia sadar kenapa.
Gadis itu berdiri sambil meremas ujung bajunya, kepala sedikit menunduk, bahunya ragu, seolah sedang menunggu… sesuatu.
Kepastian? Reaksi? Atau Hal sekecil “dia suka gak ya yang kubuat?”
Rian menggaruk lehernya, menahan napas sebentar.
“Yuna,” panggilnya pelan.
Gadis itu mengangkat kepala perlahan, matanya masih menyimpan sisa takut yang bahkan angka ♡ : 31 itu gak bisa bohongin.
Rian tersenyum tipis, hangat senyum versi paling lembut yang dia punya.
“Makasih ya… kakak suka banget.”
Dan entah kenapa… angka itu berkedip pelan, ♡ : 31 »32» 34 … meningkat sedikit dan berhenti di angka 36.
Setelah beberapa saat,
♡ : 36 » 31
"Lah, Kok turun lagi?!" Gumam Rian.