NovelToon NovelToon
Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Pada Ibu Pertiwi Kutitipkan Cintaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Crazy Rich/Konglomerat / Obsesi / Diam-Diam Cinta
Popularitas:237
Nilai: 5
Nama Author: Caeli20

Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ep.6 : Legenda Ilmu Purnama Nira

FLASHBACK ON

Legenda Ilmu Purnama Nira

Konon, berabad-abad sebelum padepokan itu berdiri, hiduplah seorang pertapa bernama Ki Wira Aksara, manusia yang disebut-sebut sebagai “penjaga batas antara terang dan gelap.” Ia bertahun-tahun bertapa di puncak Gunung Ranti, tidak makan apa pun selain embun pagi dan tidak berbicara sepatah kata pun selama dua windu.

Pada malam purnama yang ke-108 dari pertapaannya, langit mendadak tersibak. Bulan terasa begitu dekat, seolah hendak jatuh ke bumi. Cahaya putih keperakan menyelimuti seluruh tebing. Dalam cahaya itulah Ki Wira Aksara melihat bayangan seorang wanita: berbusana putih, rambut tergerai panjang, wajahnya tidak berubah-ubah, seakan ia bisa menjadi siapa pun yang melihatnya.

Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Bathari Nira Wening, perwujudan sari cahaya purnama. Ia berkata begini:

“Wahai Wira Aksara, engkau memiliki satu jiwa yang tertempa. Maka aku berikan kepadamu sari kekuatan bulan. Namun ingatlah… kekuatan ini harus tinggal pada satu jiwa. Bila terbagi, ia tidak lagi menjadi berkah, tapi berubah menjadi musibah,"

Bathari Nira Wening kemudian meniup ubun-ubun Ki Wira Aksara. Dari hembusan itulah lahir ilmu yang kelak dinamakan Ilmu Purnama Nira.

"Namun ada syarat pamungkas yang tidak boleh dilanggar," ujar Bathari Nira Wening.

"Ilmu ini tidak dapat hidup dalam raga yang memikul dua jiwa. Perempuan yang tengah mengandung, atau lelaki yang menanggung roh lain dalam dirinya, takkan mampu menampung sari purnama. Ilmu ini akan retak, pecah, lalu menghukum pemiliknya,"

Sejak saat itu, kitab-kitab tua mencatat bahwa pemilik Ilmu Purnama Nira hanya bisa satu dalam satu generasi.

Catatan paling kelam berasal dari masa penjajahan Mataram, ketika seorang pendekar perempuan bernama Nyai Srikandhi Wulung, yang hamil muda tanpa sepengetahuan gurunya, memaksa diri menguasai ilmu ini. Pada malam purnama, tubuhnya bergetar hebat. Cahaya putih yang seharusnya menyatu, justru terpecah menjadi dua arah, menuju dia dan bayi dalam kandungannya. Keduanya tidak kuat. Padepokan menyebut kejadian itu sebagai Wisikan Pecah Purnama, tragedi yang membuat para guru menetapkan satu aturan:

Ilmu Purnama Nira hanya boleh diwariskan pada satu jiwa yang benar-benar utuh, tidak terbagi, tidak berbeban jiwa lain.

Sejak itu, ilmu tersebut dianggap bukan hanya kekuatan, tetapi amanat. Sesuatu yang hanya diberikan ketika alam sendiri mengizinkan.

FLASHBACK OFF

**

Sinar matahari pagi menembus kisi-kisi jendela kamar kecil itu, memantulkan cahaya lembut pada dinding bambu yang telah menguning dimakan usia. Dhyas duduk di tepi dipan kayu, tubuhnya masih tampak ringkih. Meski lukanya telah membaik berkat penanganan Pak de Rusdi, bekas nyeri di pundaknya masih memaksa ia bergerak pelan. Rambutnya digelung sederhana, wajahnya pucat namun tetap memancarkan kewibawaan yang telah lama ia miliki.

Ayudiah sedang membantu merapikan selempang kain yang akan disampirkan di bahu Dhyas. Raras duduk di dekat pintu, memegang selendang yang hendak dikenakan Dhyas setelah siap pulang. Suasana kamar hangat oleh tawa mereka bertiga.

“Aku sungguh tidak mengira,” ujar Raras sambil terkikik pelan, “Bahwa Yudistira akan berani mengutarakan maksud melamarku waktu itu. Wajahnya saat itu… merah padam seperti kepiting rebus,"

Ayudiah menutup mulutnya sambil menahan tawa,

“Yudistira memang demikian adanya. Gagah di medan laga, tetapi luluh segala keberaniannya jika berhadapan dengan perkara hati,"

Dhyas tersenyum tipis, meski gerak bibirnya masih tampak menahan nyeri,

"Dia sungguh menaruh hati yang tulus padamu, Raras. Jangan sering engkau goda lelaki itu. Kasihan jika gugupnya kambuh,"

Raras tertawa makin keras,

"Ahh, Dhyas. Justru melihat dia gugup itulah yang membuat hatiku hangat,"

Ayudiah menyahut sambil menggeleng lemah,

“Kalian ini, baru membicarakan lamaran saja sudah demikian ributnya. Bagaimana jika hari itu sungguh datang?,"

Raras bersandar pada dinding bambu, matanya menerawang,

“Jika tiba saatnya, aku akan lega. Hidup dalam masa penjajahan ini tidak menawarkan banyak kebahagiaan. Jika ada yang Allah titipkan, walau kecil, patut kita jemput,"

Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari luar. Ketiganya menoleh. Pintu geser terbuka perlahan, dan tampaklah Cakra berdiri di ambang. Wajahnya masih letih, tapi penampilannya sudah bersih dari sisa-sisa perang. Hanya goresan-goresan luka yang terlihat di beberapa bagian tubuhnya.

“Dhyas,” ujarnya dengan suara rendah namun mantap, “Sudah siap pulang?,"

Dhyas mengangguk pelan.

Ayudiah dan Raras saling pandang lalu mundur memberi ruang. Cakra melangkah mendekat. Tatapannya tertambat pada diri perempuan yang selama ini menjadi pelindungnya.

Dhyas menegakkan duduknya.

“Bagaimana keadaanmu, Cakra? Luka-lukamu telah diobati?,"

“Sudah. Hanya luka goresan biasa. Tidak masalah," Cakra melempar senyumannya.

Ayudiah menepuk pundak Raras, memberi isyarat agar mereka keluar meninggalkan keduanya. Pintu ditutup perlahan. Tinggallah Cakra dan Dhyas dalam keheningan yang kental dengan rasa yang sulit terucap.

“Sebaiknya kita lekas kembali,” ujar Cakra. “Ayah dan Ibumu mungkin tentu menunggumu. Sudah tiga hari kamu belum pulang rumah,"

Dhyas mengangguk pelan, berdiri dengan perlahan sementara Cakra sigap menopangnya. “Terima kasih… Cakra.”

Sorot mata laki-laki itu melembut, namun ia lekas mengalihkannya. Rasa yang ia simpan terlalu besar untuk diutarakan saat itu.

**

Rumah keluarga Dhyas di Dusun Wanarengga tampak hidup pagi itu. Nyai Rindi membuka pintu lebar-lebar begitu melihat anaknya datang. Air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. Ia memeluk Dhyas seakan tak ingin melepasnya lagi.

“Ya Allah, Nak… Ibu sungguh khawatir. Setiap malam Ibu berdoa agar engkau dipulangkan dalam keadaan selamat,"

Dhyas membalas pelukan ibunya dengan hati haru,

“Maafkan Dhyas, Ibu. Dhyas membuat Ibu khawatir,"

Cak Din berdiri sedikit jauh di balik tirai pintu. Wajahnya datar, namun jelas terlihat kerut-kerut kekhawatiran yang telah lama mengendap. Ia mengangguk singkat pada Cakra.

“Terima kasih telah mengantar,” katanya. Suaranya sopan, namun kurang hangat.

Cakra membalas hormat dengan membungkuk,

“Sudah kewajibanku, Pak.”

Namun raut wajah Cak Din menunjukkan bahwa ada jarak yang ingin ia pertahankan. Tatapannya terhadap Cakra lebih banyak mengandung keraguan daripada penerimaan. Cakra menyadari itu. Maka setelah memastikan Dhyas duduk dengan selamat di dalam rumah, dia memohon diri.

“Saya permisi pulang, Pak, Bu.”

Nyai Rindu sempat hendak menahannya, tetapi melihat suaminya diam membisu, ia urung. Cakra melangkah pergi dengan perasaan yang sulit dia jelaskan, seolah tempat itu bukan tempat yang mengizinkannya menetap lebih lama.

**

Sore hari ketika sinar matahari mulai memerah, Cak Din memasuki kamar Dhyas. Perempuan itu baru saja beristirahat setelah minum ramuan dari ibunya. Melihat ayahnya masuk, dia lekas duduk tegak.

“Ayah ingin berbicara sebentar,” ujar Cak Din.

Dhyas menunduk hormat. “Silakan, Ayah.”

Cak Din duduk di kursi bambu tua dekat dipan,

“Dhyas… kamu sudah dewasa sekarang. Kamu juga telah banyak menanggung beban perjuangan. Ayah bangga, meski Ayah tak selalu bisa menunjukkan rasa bangga ini,"

Dhyas memandang ayahnya dengan hati hangat. Jarang sekali ayahnya berkata demikian.

“Namun,” lanjut Cak Din, “Ada hal penting yang hendak Ayah sampaikan. Tentang dirimu… dan Cakra.”

Sorot mata Dhyas melemah. Ia menegakkan duduknya.

“Cakra itu anak baik,” ujar Cak Din. “Ayah tidak menafikan itu. Tapi kamu harus menyadari jarak antara dia dan kamu. Usiamu lebih tua tiga tahan dari Cakra. Dan kamu… berasal dari keluarga yang berbeda kedudukannya. Keluarga kita berbeda dengan keluarganya. Apalagi ayahnya seorang saudagar yang kaya raya,"

Dhyas terdiam. Dia telah lama tahu ayahnya memandang demikian.

“Kamu perempuan,” lanjut ayahnya, “Dengan masa depan yang harus engkau pikirkan. Cinta seorang lelaki lebih muda seperti Cakra… belum tentu bisa dipercaya. Jangan terlalu dekat. Jaga dirimu.”

Kata-kata itu menembus dada Dhyas seperti angin dingin. Tapi dia hanya mengangguk,

“Baik, Ayah,"

Meski demikian, hatinya memberontak. Cakra sudah lama mengisi relung hatinya. Lelaki yang telah dia relakan darahnya untuk melindunginya. Rasa sayang itu telah tumbuh jauh melampaui sekat usia atau kedudukan.

Namun Dhyas tidak membantah. Dia hanya menyimpan semuanya dalam dalam hatinya.

Percakapan mereka terhenti ketika terdengar suara dari luar rumah,

“Cak Din! Cak Din!,"

Seorang lelaki setengah baya berlari tergesa. Napasnya memburu. Wajahnya pucat. Namanya Pak Sarwan, warga yang tinggal di bagian timur dusun.

“Ada apa, Wan?," tanya Cak Din sambil keluar rumah.

“Utusan Belanda datang lagi, Cak Din!” ujar Pak Sarwan. “Mereka menggeledah rumah saya. Istri dan anak saya diancam. Mereka bilang akan menghukum kami kalau kami belum meninggalkan tanah itu,"

Wajah Cak Din memerah menahan amarah,

“Kurang ajar benar mereka…,"

Tanpa banyak bicara ia mengambil ikat kepalanya dan keluar.

Dhyas yang mendengarnya dari kamar segera bangkit. Meski pundaknya masih sakit, dia mengenakan selendang untuk menutupi lukanya dan menyusul ayahnya diam-diam.

Di depan rumah Pak Sarwan, tiga orang berdiri dengan garang. Dua preman berbadan besar tampak menodongkan senjata tumpul kepada istri dan anak kecil Pak Sarwan. Di tengah mereka berdiri Lukman, tangan kanan Meneer Lorens van Dirk. Sikapnya genit, namun lidahnya tajam seperti sembilu.

“Cepat tinggalkan rumah ini,” ujar Lukman sambil memainkan ujung kukunya, “Tanah ini bukan untuk rakyat jelata seperti kalian,"

Pak Sarwan mencoba melawan, tapi Lukman menatapnya sinis,

“Jangan sok gagah, Sarwan. Pribumi sepertimu harus tahu tempat,"

Saat itulah Cak Din datang.

“Lukman!” bentaknya. “Berhentilah mengacau di kampung ini!,"

Lukman mendengus. “Ah, ada pak Carik rupanya. Cak Din. Tua-tua kok masih sok jadi jagoan kampung,"

Adu mulut makin memanas. Lukman mulai mengeluarkan hinaan kasar, menghina rakyat pribumi seolah ia bukan bagian dari mereka.

“Pribumi tolol, miskin, tak tahu diri...,"

Sebelum kalimat itu selesai, sebuah sosok melompat dari samping. Dhyas.

Tanpa ampun Dhyas menghajar salah satu preman, membuatnya terjungkal. Preman kedua menyerang, tapi tendangan Dhyas menghantam dadanya. Lukman mundur panik.

“Hei perempuan jadi-jadian. Berani melawan aku?!,"

Dhyas menarik selendangnya, melilit lengan Lukman, lalu mendorongnya hingga jatuh tersungkur.

“Pergilah sebelum aku benar-benar marah,” ujar Dhyas lirih namun mengancam.

Lukman bergegas kabur bersama kedua premannya.

Warga berkumpul, berterima kasih sambil menunduk hormat.

“Pasang tulisan besar di sepanjang batas dusun,” perintah Dhyas.

“Tuliskan Ini Wilayah Milik Pribumi, agar mereka tak semena-mena datang lagi,"

1
Wiwi Mulkay
kpn di up lagi
Wiwi Mulkay
Caeli ini kapan di up lagi
Caeli: on my way dear kak wiwi😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!