"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."
Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TEKAD
Udah ada bukti, masih aja mau gak ngaku! Berani-beraninya lo ambil dompet orang. Kalau lo butuh uang, gak gini caranya Lun! Lo bisa bilang ke gue, berapa banyak uang yang lo mau, gue kasih deh!
Sepanjang perjalanan pulang, langkah Luna terasa berat seolah setiap tapaknya menginjak duri. Tuduhan itu—kata “pencuri” yang dilontarkan Angel di depan teman-teman—terus terngiang di telinganya. Setiap kali ia mencoba menepisnya, bayangan wajah Angel yang menatap dengan jijik itu kembali muncul, menusuk jauh ke dalam hati.
Angin sore mengibas rambutnya yang berantakan, membawa aroma debu jalanan dan rasa getir yang tak bisa ia sembunyikan. Matanya mulai panas, tapi Luna menahannya. Ia tak mau menangis di jalan. Dunia sudah cukup kejam tanpa perlu melihat air matanya sebagai bukti kelemahan.
Sesampainya di ujung gang sempit, langkahnya melambat. Di sanalah rumahnya berdiri—kalau bisa disebut rumah. Sebuah bangunan kecil berdinding papan yang mulai lapuk, dengan atap seng berkarat yang berderit setiap kali angin berhembus.
Halamannya sempit, tanahnya becek karena air got yang meluap, dan hanya ada satu pot bunga layu yang masih dipertahankan di depan pintu.
Luna menuruni dua anak tangga kayu yang nyaris patah dan membuka pintu yang bunyinya berdecit pelan. Bau obat-obatan segera menyambutnya. Di sudut ruangan, seorang pria tua terbaring di dipan sederhana, selimut lusuh menutupi tubuhnya. Wajahnya pucat, napasnya tersengal pelan.
“Ayah,” Kata Luna mendekat, lututnya bergetar menahan sesak di dada. “Ayah apa sudah minum obat?”
Ayahnya menoleh sedikit, tersenyum lemah. “Sudah, tapi…”
“Kenapa, Ayah?”
Herman, pria itu menggeleng. “Tidak, Nak. Ayah hanya … khawatir melihat kamu pulang terlihat sangat lelah sekali.”
Luna melempar senyum, meski senyum itu terasa berat seperti dipahat dengan air mata yang tak jadi tumpah. “Aku baik-baik saja, Ayah. Jangan khawatir.”
Herman mengangguk pelan, mencoba menegakkan tubuhnya, tapi segera batuk kecil memaksanya kembali bersandar. “Kalau begitu, kamu istirahat dulu saja. Ganti bajumu lalu makan.”
Luna mengangguk patuh. “Iya, Yah.” Suaranya hampir berbisik. “Aku akan berganti baju lalu membeli makanan di luar sebentar. Ayah gak apa-apa kan, aku tinggal keluar lagi?”
“Iya, Nak.” Angguk Herman.
Luna kemudian beranjak lagi. Ia berjalan menuju kamarnya yang hanya dibatasi tirai tipis dari kain pudar. Di atas meja belajarnya yang terbuat dari kayu bekas, ia meletakkan tas dengan hati-hati. Tangannya gemetar saat membuka resleting tasnya. Dari dalam, ia mengeluarkan selembar amplop putih panjang yang sudah agak kusut di ujungnya—surat dari sekolah. Di pojoknya tertera stempel resmi dan tulisan tegas—Pemberitahuan Pembayaran Tunggakan Sekolah.
Luna menatap amplop itu lama, jantungnya berdegup tak beraturan. Seharusnya surat itu diserahkan langsung pada orang tuanya. Seharusnya ia tidak punya kuasa untuk membukanya. Tapi bagaimana bisa? Bagaimana ia tega menunjukkan surat itu pada Ayah—pada Herman yang kini terbaring lemah di kamar, bahkan untuk sekadar berdiri pun sulit?
Dengan napas bergetar, Luna membuka amplop itu perlahan. Kertas di dalamnya berisi rincian tunggakan—biaya sekolah yang sudah menumpuk berbulan-bulan. Jumlahnya terlalu besar bagi mereka. Angka-angka itu seolah menari di matanya, membentuk tembok tinggi yang sulit ia panjat.
Dulu, penghasilan ibunya sebagai buruh cuci cukup membantu untuk membiayai sekolahnya. Meski hidup mereka pas-pasan, setidaknya masih ada tawa di meja makan, dan ada aroma sabun cuci yang selalu mengingatkannya pada kasih sayang seorang ibu yang tak kenal lelah. Namun, semua itu berubah sejak penyakit merenggut sang ibu beberapa bulan lalu. Sejak kepergian itu, rumah mereka terasa jauh lebih sunyi. Tak ada lagi suara batuk lembut dari dapur di pagi hari, atau nyanyian lirih yang biasa terdengar saat ibunya mencuci pakaian tetangga. Yang tersisa hanya tumpukan kenangan dan sepi yang menua bersama waktu.
Luna menggenggam amplop itu erat, seolah menggenggam sisa kekuatan yang masih ia punya. “Bu…” Bisiknya lirih, menatap langit-langit kamar yang retak. “Kalau Ibu masih ada, pasti semuanya nggak seberat ini, ya?”
Air matanya menetes, jatuh ke ujung kertas hingga membuat tinta di sana sedikit luntur. Ia buru-buru menyekanya, takut surat itu rusak—karena surat itu adalah kenyataan yang tak bisa ia buang, seberapa pun menyakitkannya. Dengan hati-hati, ia melipat kembali surat itu, lalu menyelipkannya di bawah tumpukan baju di lemari. “Cukup aku yang tahu,” Gumamnya pelan. “Ayah nggak boleh tahu. Biarlah aku yang tanggung.”
****
Langit sore semakin meredup ketika Luna melangkah keluar rumah dengan membawa dompet kecil yang kulitnya sudah mengelupas di tepi. Uang di dalamnya hanya beberapa lembar ribuan, hasil sisa dari upah membantu Bu Sari menyapu halaman kemarin sore. Tapi bagi Luna, uang itu cukup—asal Ayah bisa makan malam dengan layak.
Udara luar terasa lembab. Jalanan kampung yang becek setelah hujan sore tadi membuat sandal jepitnya berdecap setiap kali menginjak tanah. Di kanan-kiri jalan, rumah-rumah berdinding papan tampak senyap, hanya sesekali terdengar suara televisi dari salah satu rumah tetangga.
Ketika ujung gang mulai terlihat, langkah Luna melambat. Di sana, cahaya dari jalan raya mulai memantul ke tanah basah, menandai perbatasan antara dunia kecilnya yang kumuh dan hiruk pikuk kota di luar sana. Ia berhasil keluar dari gang rumahnya. Suara kendaraan langsung menyergap—klakson bersahutan, deru mesin motor, dan aroma asap bensin yang menusuk hidung. Jalan raya itu ramai, tapi entah kenapa terasa asing bagi Luna. Di antara semua orang yang tergesa-gesa mengejar urusan masing-masing, ia merasa seperti bayangan yang nyaris tak terlihat.
“Lebih baik menjadi asing di tengah keramaian.” Gumamnya tersenyum pada dirinya sendiri.
Luna terus melangkah menyusuri deretan ruko yang tampak mulai sepi. Langit sore menurunkan cahaya jingga lembut di antara papan nama yang mulai pudar dan kaca etalase yang berdebu. Langkahnya pelan, menuju warung nasi langganan setiap harinya yang selalu buka dari sore sampai malam hari.
Namun kali ini, rasanya ada yang berbeda, saat ia selalu melewati jalan yang sama. Pandangannya tertumbuk pada sebuah spanduk yang menempel di depan toko bunga kecil di ujung jalan—Dibutuhkan Karyawan/Karyawati Pengantar Bunga. Usia maksimal dua puluh lima tahun.
Luna berhenti. Ia menatap spanduk itu lama, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Aroma samar bunga mawar dan melati dari toko itu terbawa angin, menenangkan hatinya sejenak. Perlahan, pikirannya mulai berkelana—mungkin ini tanda, mungkin inilah awal dari sesuatu yang baru.
****