NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 — Ketika Dua Hati Menyerah

​Mei Lan berdiri di ambang gudang padi. Cahaya bulan sabit yang tipis menyaring melalui celah-celah papan kayu yang jarang, menciptakan garis-garis keemasan yang memotong lantai tanah dan tumpukan jerami. Udara di gudang itu dingin, berbau tanah kering dan aroma manis gandum yang telah dipanen.

​Jian berdiri menantinya, siluetnya yang tinggi menaungi kehangatan yang mereka coba ciptakan. Ia tidak mengenakan pakaian atasnya. Bukan untuk menggoda, tetapi karena ia sedang mengobati lukanya sendiri dengan ramuan, dan luka di rusuknya belum sepenuhnya kering. Punggungnya yang bertabur bekas luka siksaan dan pertempuran, kini terlihat jelas—sebuah peta penderitaan yang telah ia sembunyikan.

​Mei Lan tidak bisa melihat rasa sakit di punggungnya, ia hanya melihat mata Jian yang gelap. Di mata itu, ia tidak lagi menemukan kekerasan Bayangan Singa, tetapi kekalahan total—kekalahan karena mencintai, kekalahan karena tidak mampu lagi menahan tembok yang ia bangun.

​Mei Lan menutup pintu, bunyi klik kayu yang lembut mengunci mereka dari dunia luar, dari desa yang menghakiminya, dari Istana yang memburunya.

​Ia berjalan ke arah Jian. Ia tidak menangis lagi, meskipun matanya merah karena air mata yang ia tumpahkan saat berpamitan dengan kehidupannya yang dulu. Ia berjalan dengan tekad yang mengerikan, tekad seorang wanita yang baru saja mempertaruhkan kehormatan dan kelangsungan hidup keluarganya demi cinta.

​“Jian,” bisik Mei Lan, suaranya parau.

​Ia tidak menunggu jawaban Jian. Ia melangkah ke dalam pelukan Jian, memeluknya dengan erat, seolah-olah ia adalah tiang penopang terakhir yang mencegahnya tenggelam. Pelukan itu adalah pernyataan yang lebih kuat daripada semua kata-kata yang pernah mereka bagi.

​Jian membalas pelukan itu dengan kekuatan yang membuatnya hampir sesak napas. Ia membenamkan wajahnya di rambut Mei Lan, menghirup aroma familiar penenun itu, yang kini terasa seperti rumah yang telah ia lupakan.

​“Kau seharusnya tidak datang,” bisik Jian, suaranya bergetar. “Kau telah mengorbankan segalanya. Aku adalah kutukan, Mei Lan. Aku tidak punya masa depan untuk ditawarkan.”

​Mei Lan mendongak, matanya yang merah menatapnya dengan api yang dingin. “Saya tidak peduli dengan masa depan, Jenderal. Saya peduli dengan malam ini. Mereka telah mengambil semua milik saya. Mereka telah mengambil kehormatan keluarga saya, rumah saya, dan harapan saya akan kehidupan yang aman. Mereka tidak akan mengambil Anda.”

​Ia mengangkat tangannya, menyentuh luka parut yang merayap di dada Jian, tepat di atas jantungnya. “Luka-luka ini adalah milikku sekarang. Beban Anda adalah milikku. Jangan tinggalkan saya sendirian dengan semua keputusan ini. Jangan tinggalkan saya malam ini. Tolong. Jangan pernah lagi menolak saya.”

​Permintaan yang begitu sederhana, begitu murni, menghancurkan sisa-sisa pertahanan Jian. Ia menyadari, pengekangan diri yang ia lakukan bukanlah kehormatan bagi Mei Lan, melainkan penghinaan. Mei Lan telah menyerahkan segalanya, dan yang ia butuhkan hanyalah penerimaan Jian. Menerimanya adalah kehormatan tertinggi yang bisa ia berikan.

​Jian mengangguk perlahan, dahi mereka bersentuhan. “Aku tidak akan meninggalkanmu,” bisik Jian, janjinya bergetar dengan emosi yang dalam. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Gadis Manis.”

​Tangan Jian bergerak. Dengan kelembutan yang kontras dengan kekuatan tubuhnya, ia menyentuh wajah Mei Lan. Bibirnya menyentuh bibir Mei Lan. Ciuman itu dimulai dengan air mata Mei Lan, dengan rasa asin dan ketegasan. Itu adalah ciuman kelegaan dan pelepasan. Semua ketegangan, semua penolakan, semua rasa takut yang mereka tahan selama berminggu-minggu, kini mencari jalan keluar.

​Jian menarik Mei Lan lebih dekat, tangannya yang besar memeluk pinggangnya. Ia membiarkan hasrat yang membakar di dalam dirinya akhirnya dilepaskan, tetapi hasrat itu bercampur dengan rasa takjub—takjub bahwa seorang wanita murni seperti Mei Lan memilihnya, seorang pria yang diburu dan tercemar.

​Ia menuntun mereka berdua ke tumpukan jerami yang telah ia rapikan. Mei Lan melepas pakaian luarnya dengan gerakan tergesa-gesa, ingin menyingkirkan semua lapisan yang memisahkan mereka. Ia ingin menjadi satu dengan Jian, menganyam benang mereka secara harfiah.

​Jian membantu melepaskan pakaian dalam Mei Lan. Tangannya yang kasar menyentuh kulit Mei Lan yang halus, dan rasa kontras itu mengirimkan gelombang kejutan melalui tubuh mereka berdua.

​Penyatuan mereka tidak tergesa-gesa. Itu adalah adegan penuh emosi, lembut, dan artistik. Itu bukan hanya pelepasan hasrat, tetapi pertukaran kerentanan. Jian bergerak dengan hati-hati, memastikan setiap sentuhan adalah pertanyaan dan setiap respons Mei Lan adalah jawaban yang memabukkan.

​Mei Lan memeluk punggung Jian, merasakan semua bekas luka yang dulu ia takuti kini menjadi kehangatan yang melindunginya. Ia tahu, di balik semua bekas luka itu, ia telah menemukan pria yang paling lembut. Ia membiarkan dirinya dituntun oleh Jian, membiarkan suaranya yang teredam mengisi kegelapan.

​Dalam keintiman itu, tidak ada lagi Jenderal atau penenun, tidak ada lagi pengkhianatan atau Istana. Hanya ada dua jiwa yang akhirnya menemukan tempat berlindung satu sama lain. Setiap sentuhan Jian adalah janji, setiap erangan Mei Lan adalah pengakuan.

​Akhirnya, mereka mencapai puncak dari gairah dan kelegaan itu, napas mereka terengah-engah, tubuh mereka dipenuhi keringat dan gairah, tetapi hati mereka dipenuhi kedamaian yang total.

​Mereka berbaring di tumpukan jerami, berselimutkan pakaian mereka sendiri yang mereka gunakan sebagai bantal dan penutup.

​Jian memeluk Mei Lan. Ia merasakan kulitnya yang lembut menyentuh kulitnya yang kasar. Ia membelai lembut rambut Mei Lan, yang terurai di bantal jerami. Mei Lan, kelelahan secara fisik dan emosional, tertidur pulas.

​Dia tertidur di dada Jian, posisi yang ia dambakan sejak pertama kali melihat mata Jian. Dia tidur dengan damai, dengan senyum kecil di bibirnya—senyum dari seorang wanita yang telah kehilangan segalanya tetapi telah memenangkan harta yang paling berharga.

​Jian tidak bisa tidur. Ia berbaring, matanya terbuka, menatap garis-garis cahaya bulan yang menari di dinding gudang. Ia memeluk Mei Lan erat-erat.

​Ia merasakan kehangatan dan berat tubuh Mei Lan di atasnya, kehangatan yang nyata dan menghancurkan. Ia tahu, Istana akan datang. Mereka akan datang untuk gulungan itu, dan mereka akan datang untuknya.

​Tetapi malam ini, Jian tidak memikirkan pedang atau darah. Ia memikirkan bagaimana caranya melindungi Mei Lan, bukan hanya dari Istana, tetapi dari dirinya sendiri. Mei Lan telah menyerahkan segalanya untuknya, dan sekarang, Jian memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada menyelamatkan Kekaisaran.

​Aku akan melindungimu, bahkan jika aku harus membakar seluruh dunia.

​Jian mengencangkan pelukannya, seolah-olah dunia benar-benar berusaha merebut Mei Lan darinya. Ini adalah momen kedamaian terakhir mereka sebelum badai yang tak terhindarkan datang. Ia adalah seorang Jenderal yang gagal, seorang buronan yang dicap, tetapi ia adalah pria yang dicintai, dan cinta itu adalah kekuatan barunya. Ia berjanji, dalam keheningan yang dalam, bahwa ia akan memastikan Mei Lan tidak menyesali keputusannya.

​Malam itu, di dalam gudang padi yang berbau gandum, seorang Jenderal yang dikhianati dan seorang Gadis Penenun yang berani tidur sebagai sepasang kekasih, benang takdir mereka teranyam menjadi satu dengan erat dan tak terpisahkan.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!