Di negeri Amarasana, tempat keajaiban kuno disembunyikan di balik kehidupan sederhana, Ghoki (17), seorang anak pemancing yatim piatu dari Lembah Seruni, hanya memiliki satu tujuan: mencari ikan untuk menghidupi neneknya.
Kehidupan Ghoki yang tenang dan miskin tiba-tiba berubah total ketika Langit Tinggi merobek dirinya. Sebuah benda asing jatuh tepat di hadapannya: Aether-Kail, sebuah kail pancing yang terbuat dari cahaya bintang, memancarkan energi petir biru, dan ditenun dengan senar perak yang disebut Benang Takdir.
Ghoki segera mengetahui bahwa Aether-Kail bukanlah alat memancing biasa. Ia adalah salah satu dari Tujuh Alat Surgawi milik para Deva, dan kekuatannya mampu menarik Esensi murni dari segala sesuatu—mulai dari ikan yang bersembunyi di sungai, kayu bakar ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusup Nurhamid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengait Keajaiban dalam Kesederhanaan
Pagi-pagi setelah insiden Skreecher, Ghoki tidak kembali ke Sungai Limana. Ia menghabiskan sisa hari itu dan sepanjang malam di belakang gubuk, berusaha memahami benda yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya. Nenek Mina mengamatinya dari kejauhan, sesekali membawakan teh herbal yang katanya "menstabilkan Arus Bintang."
Ghoki merasa lelah bukan karena fisik, melainkan karena jiwanya terus-menerus merasakan denyutan Aether-Kail. Ia kini bisa melihat hal-hal yang tidak ia lihat sebelumnya: aura samar yang mengelilingi setiap benda—hijau muda pada tanaman, kuning redup pada tanah, dan biru cerah yang berdenyut dari dalam kayu Gagang Petir-Biru.
"Nek, benda ini... ia membuatku merasa seperti aku melihat melalui kabut tebal sepanjang hidupku, dan sekarang kabut itu hilang," ujar Ghoki saat Nenek Mina mendekat.
Nenek Mina tersenyum samar. "Itu adalah Visio-Sonar yang kubilang. Kail itu menyaring kebisingan dunia dan membiarkanmu melihat Esensi yang murni. Gunakan itu untuk hal-hal kecil dulu, Ghoki. Jika kamu langsung mencoba menangkap naga, kail itu akan menangkap jiwamu sebagai gantinya."
Mendapat izin untuk "mengait hal kecil," Ghoki memutuskan untuk mencoba menguasai Aether-Kail dalam kesehariannya di Lembah Seruni, jauh dari mata-mata desa.
Uji Coba 1: Memancing Ikan yang Hilang
Masalah terbesar Ghoki adalah mencari ikan untuk makan. Ia kembali ke tepi Limana, tempat ia biasa memancing. Ia mengayunkan kail lamanya dan tidak merasakan apa-apa. Ia kemudian menggenggam Aether-Kail.
Menggunakan Visio-Sonar, Ghoki langsung merasakan pola energi di bawah air. Ia tidak lagi melihat permukaan sungai yang keruh, melainkan ia merasakan lokasi pasti dari setiap ikan: Esensi Kehidupan mereka.
Ia memilih satu titik kecil di tengah pusaran air tempat seekor Ikan Sungai Limana besar bersembunyi. Ghoki melemparkan Aether-Kail tanpa umpan. Benang Takdir perak yang memanjang menembus air tanpa menghasilkan riak, seolah itu adalah ilusi cahaya. Benang itu tidak melilit ikan, tetapi menyentuh Esensi Rasa Lapar ikan tersebut, memanggilnya keluar.
Tiba-tiba, tarikan halus namun kuat terjadi. Ghoki menarik. Ikan besar itu melompat ke udara, bukan karena takut, tetapi karena tertarik oleh panggilan yang tak bisa ditolaknya.
"Luar biasa," bisik Ghoki. Ia tidak melukai ikan itu. Ia hanya menariknya keluar. Memancing tidak lagi membutuhkan kesabaran yang tak terbatas, tetapi membutuhkan fokus pada niat.
Uji Coba 2: Menarik Keberuntungan
Beberapa hari kemudian, Ghoki menghadapi masalah lain. Kayu bakar di gubuknya habis. Biasanya ia menghabiskan waktu berjam-jam di Hutan Kasta mencari kayu kering yang jatuh.
Di dalam hutan yang gelap, Ghoki kembali mengaktifkan Aether-Kail. Ia tidak mencari kayu yang terlihat, tetapi mencari Esensi Kering dan Hangat dari kayu yang siap dibakar.
Ghoki mengarahkan kailnya ke semak-semak yang rapat. "Aku menarik... esensi dari kayu bakar yang paling sempurna untuk malam ini," gumamnya, menarik Benang Takdir.
Ia merasakan tarikan ringan. Dalam beberapa detik, sebatang kayu jati tua yang jatuh dan sudah mengering dengan sempurna, meluncur keluar dari rimbunan semak, tepat ke kakinya. Seolah-olah kayu itu sendiri ingin ditemukan.
Ini bukan sihir teleportasi. Ini adalah sihir Panggilan Niat. Kail itu hanya menarik benda yang paling sesuai dengan esensi yang Ghoki inginkan. Ia mengulangi proses itu lima kali, dan dalam waktu sepuluh menit, ia sudah memiliki tumpukan kayu bakar terbaik—sesuatu yang biasanya membutuhkan setengah hari kerja keras.
Uji Coba 3: Mengait Emosi
Suatu sore, Nenek Mina sakit. Ia menderita demam yang membuat tidurnya gelisah. Ghoki merasa tidak berdaya. Tabib desa tinggal terlalu jauh, dan ia tidak punya uang untuk membelinya obat.
Ia ingat kata-kata Neneknya: Kail ini menangkap Esensi... bahkan konsep.
Dengan hati-hati, Ghoki berdiri di samping tempat tidur Nenek Mina. Ia mengaktifkan Aether-Kail, mengarahkan ujung kail ke pelipis Neneknya yang berkeringat.
"Aku... menarik Esensi rasa sakit dan gelisah," bisik Ghoki dengan niat murni.
Ia menarik dengan lembut. Kali ini, ia merasakan sensasi aneh, seolah ia menyentuh jaring laba-laba yang dingin. Dari Neneknya, ia menarik sebuah kabut tipis kehitaman yang langsung larut ke udara saat mencapai kail. Itu adalah Esensi Ketidaknyamanan yang murni.
Begitu kabut itu hilang, Nenek Mina terdiam. Kerutan di wajahnya mereda, dan ia mulai bernapas dengan tenang, memasuki tidur nyenyak yang damai.
Ghoki merasa lega, namun pada saat yang sama, ia merasakan sedikit kelelahan—harga kecil untuk menggunakan kekuatannya.
Konsekuensi Kecil
Kekuatan baru ini mulai mengubah Ghoki. Ia tidak lagi harus berjuang keras untuk hal-hal sederhana. Dalam beberapa minggu, gubuknya memiliki kayu bakar terbaik, mereka makan ikan terbesar di Limana, dan Nenek Mina tidak pernah merasa senyaman ini.
Namun, keberhasilan kecil ini menarik perhatian.
Suatu sore, saat Ghoki membawa seikat kayu bakar yang terlalu sempurna untuk ukuran anak kurus sepertinya, ia berpapasan dengan Tuan Karu, pengurus gudang desa yang selalu mencurigainya.
"Kayu yang bagus, Ghoki. Terlalu bagus untuk anak pemalas sepertimu," cibir Tuan Karu, matanya menyipit curiga. "Sejak kapan kamu begitu beruntung?"
"Hanya... titik yang bagus, Tuan," jawab Ghoki gugup, menutupi Aether-Kail di balik jubahnya.
"Beruntung, ya? Lembah Seruni tidak pernah beruntung. Semuanya adalah kerja keras atau... sihir gelap." Tuan Karu tidak melanjutkan, tetapi tatapan dinginnya melekat pada Ghoki.
Saat Ghoki berjalan pergi, ia merasakan denyutan Aether-Kail yang lebih kuat dari biasanya. Visio-Sonar-nya merasakan gelombang Esensi Kecurigaan dan Kedengkian yang kuat mengarah padanya dari Tuan Karu.
Ghoki menyadari bahwa ia tidak hanya memancing ikan atau kayu, ia kini memancing emosi dan kecurigaan manusia. Semakin ia menggunakan kail itu, semakin ia menarik perhatian—bukan hanya dari makhluk malam, tetapi juga dari tetangganya sendiri. Ia harus lebih hati-hati, karena di Amarasana, rahasia adalah mata uang yang paling berharga dan berbahaya.