NovelToon NovelToon
Retak Yang Tak Kembali

Retak Yang Tak Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Pelakor jahat / Penyesalan Suami / Antagonis / Selingkuh / Sad ending
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Dgweny

Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.

______________


Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15. Dari 0 Untuk Apa

Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶

Happy reading 🌷🌷🌷

...****************...

Langit pagi itu berwarna abu-abu.

Mendung menggantung, tapi belum juga menurunkan hujan.

Nayara duduk di teras rumah, mengenakan sweater cokelat yang sudah agak lusuh. Secangkir teh di tangannya sudah dingin, tak tersentuh sejak setengah jam lalu.

Ia menatap jalanan sepi di depan rumahnya.

Dulu, setiap pagi seperti ini selalu diiringi suara mobil Ardan yang menyala, disusul ciuman singkat di keningnya sebelum suaminya berangkat kerja.

Sekarang… hanya suara daun jatuh dan langkah penjual sayur yang lewat.

Ibu Nayara keluar membawa selimut kecil. “Masih dingin, Nak. Masuk aja dulu.”

Nayara menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Bu. Aku cuma... pengen duduk di sini sebentar.”

Ibu duduk di sebelahnya. “Kamu udah semalaman nggak tidur. Ibu lihat dari jendela kamar. Kamu ngapain aja di ruang tamu semalaman?”

Nayara tersenyum lemah. “Lihat foto-foto lama, Bu.”

“Foto kamu sama Ardan?”

Nayara mengangguk pelan.

Ibu tak bertanya lagi. Ia hanya meraih tangan putrinya dan menggenggamnya diam-diam.

 

Kilasan Masa Lalu: Awal Segalanya

Delapan tahun lalu.

Ardan masih mahasiswa tingkat akhir yang bekerja paruh waktu di bengkel sepupu Nayara.

Ia datang dengan kemeja lusuh dan wajah penuh semangat — semangat yang waktu itu membuat Nayara jatuh cinta.

“Maaf, Mbak Nay, oli nya tumpah di lantai,” katanya waktu itu sambil tergesa membersihkan.

Nayara tertawa. “Nggak apa-apa. Aku juga pernah jatuhin kopi di keyboard kantor, lebih parah, loh.”

Sejak hari itu, mereka sering bicara. Tentang hidup, kuliah, mimpi, dan cita-cita kecil yang sederhana — seperti punya rumah sendiri, walau kecil, asal ada halaman buat tanam bunga.

Waktu berlalu.

Ketika Ardan lulus, Nayara membantu mencarikan pekerjaan untuknya. Ia bahkan menjual sebagian perhiasan peninggalan almarhum ayahnya untuk biaya sewa kontrakan pertama mereka.

Malam itu, mereka makan mi instan sambil duduk di lantai, di bawah lampu redup.

“Suatu hari nanti, aku bakal balikin semuanya ke kamu,” ucap Ardan sambil menggenggam tangan Nayara.

“Aku nggak butuh dibalikin, Dan,” jawab Nayara lembut. “Aku cuma pengen kamu tetap di sini.”

“Di sebelah kamu?”

“Selamanya.”

Dan malam itu, dengan polosnya, Nayara percaya bahwa “selamanya” benar-benar ada.

 

Kembali ke Masa Kini

Nayara menarik napas dalam.

Kenangan itu menyakitkan.

Setiap detail kecil yang dulu menghangatkan kini berubah jadi duri yang menusuk balik.

“Dari nol,” gumamnya lirih. “Kita mulai dari nol, Bu. Tapi kenapa sekarang rasanya kayak aku yang kembali ke nol sendirian?”

Ibu menatapnya pelan. “Karena kamu yang lebih banyak memberi, Nak.”

“Dulu dia nggak punya apa-apa, Bu,” lanjut Nayara, suaranya bergetar. “Aku yang dorong dia lanjut kuliah. Aku bantuin bikin CV. Aku yang anter dia ke wawancara kerja pertama. Bahkan waktu dia gagal pertama kali, aku yang nyemangatin. Tapi sekarang... dia pergi gitu aja.”

Ibu menatap putrinya lama. “Orang yang lupa asalnya itu... akan selalu kehilangan arah akhirnya.”

Nayara mengangguk pelan, menatap teh dingin di tangannya.

Ia ingin marah, tapi air matanya sudah kering. Yang tersisa hanya perasaan kosong — seperti rumah besar tanpa penghuni.

 

Siang harinya, Alia datang.

Ia membawa sekotak makanan dan wajah cemas.

“Ya ampun, Nay, kamu kurusan,” katanya begitu masuk. “Aku sampai nyangka salah rumah, loh.”

Nayara tersenyum hambar. “Bisa aja kamu.”

Alia menatap sekeliling ruang tamu yang rapi tapi sunyi. “Dia masih belum pulang?”

“Udah tiga hari nggak ada kabar.”

“Kerja?”

“Entah. Aku nggak nanya lagi.”

Alia duduk, lalu menatap wajah sahabatnya lekat-lekat. “Kamu nggak bisa terus kayak gini. Kamu harus mulai mikirin diri kamu sendiri.”

Nayara menghela napas. “Gimana caranya, Li? Setiap aku mau mulai mikir tentang diriku, kepalaku langsung keinget dia. Kayak... hidupku masih terikat di masa lalu.”

Alia menggenggam tangan Nayara. “Kamu cuma butuh alasan baru buat jalan. Selama ini alasan kamu Ardan. Sekarang, cari alasan lain — buat kamu sendiri.”

Nayara menatap tembok kosong di depan.

Kata-kata itu masuk, tapi hatinya belum sanggup memprosesnya.

Ia merasa seperti orang yang baru kehilangan arah di tengah kabut — tahu harus jalan, tapi tak tahu ke mana.

 

Kilasan Masa Lalu: Saat Susah

Suatu malam di tahun ketiga pernikahan mereka, Ardan kehilangan pekerjaan.

Perusahaan tempatnya bekerja bangkrut mendadak. Nayara masih bekerja di butik kecil dengan gaji pas-pasan.

“Aku gagal, Nay,” kata Ardan waktu itu. “Aku nggak bisa jadi suami yang kamu banggakan.”

Nayara mendekat, memeluknya erat. “Kamu nggak gagal, Dan. Kita cuma lagi diuji. Kita mulai dari nol lagi bareng bareng ya.”

Dan benar — mereka mulai dari nol lagi.

Nayara menambah jam kerja, sementara Ardan mengambil kerjaan serabutan. Mereka bahkan harus menunggak listrik dua kali.

Tapi tak satu pun dari mereka menyerah waktu itu. Bagi Nayara, perjuangan itu indah. Karena setiap keringat dan air mata dibayar dengan rasa saling percaya.

Sampai akhirnya Ardan dapat pekerjaan tetap di perusahaan konstruksi.

Mereka pindah ke rumah yang lebih baik, mulai membeli perabot, dan sedikit demi sedikit, hidup mereka membaik.

Dan di setiap keberhasilan kecil itu, Nayara selalu berkata dengan bangga,

“Kita dari nol, Dan. Tapi lihat kita sekarang.”

Ardan selalu membalas dengan kalimat yang kini terngiang pahit di telinga Nayara:

“Iya, kita dari nol. Dan aku janji nggak akan ninggalin kamu, Nay.”

 

Masa Kini

Senja mulai turun.

Hujan turun pelan, menimpa kaca jendela ruang tamu.

Nayara duduk di sana, memandangi tetes-tetes air yang mengalir perlahan.

Ponselnya bergetar.

Nama Ardan muncul di layar.

Jantungnya berdegup — harapan kecil masih tersisa, meski ia benci mengakuinya.

Ardan: “Aku nggak bisa pulang malam ini. Jangan tunggu.”

Nayara menatap layar itu lama, lalu mengetik balasan.

Nayara: “Kapan terakhir kali kamu pengen aku nunggu?”

Tapi ia tidak mengirimnya.

Pesan itu dihapus sebelum sempat terkirim.

Karena percuma — Ardan tidak akan menjawab, bahkan jika ia kirim seribu kali.

Ibu datang membawa selimut. “Kamu belum makan?”

“Belum lapar, Bu.”

“Jangan bikin Ibu khawatir. Kamu kuat, tapi kamu bukan batu.”

Nayara tersenyum tipis. “Aku cuma capek, Bu. Bukan lapar.”

 

Beberapa hari kemudian, Nayara pergi ke pasar sendirian. Ia sengaja jalan kaki, mencoba menenangkan pikiran.

Di depan kios bunga, seorang lelaki paruh baya menyapa ramah. “Bu Nayara, lama nggak kelihatan. Biasanya beli melati tiap minggu.”

“Oh... iya, Pak Raka. Lagi jarang di rumah.”

“Mas Ardan-nya sibuk, ya?”

Pertanyaan itu seperti tamparan kecil yang manis.

Nayara tersenyum kaku. “Iya, lagi sibuk.”

Pak Raka menatapnya sebentar, lalu berkata dengan nada lembut, “Bunga itu tetap mekar walau nggak ada yang nyiram, Bu. Tapi kalau terlalu lama, dia akan layu juga.”

Nayara hanya mengangguk. “Mungkin memang waktunya layu pak, biar nanti bisa tumbuh dengan baik.”

Ia membeli setangkai mawar putih, lalu berjalan pulang.

Entah kenapa, langkahnya terasa lebih berat dari biasanya.

 

Nayara baru sampai di rumah ketika melihat mobil Ardan terparkir di depan.

Hatinya berdebar. Ia hampir menjatuhkan bunga di tangannya.

Ia membuka pintu perlahan.

Ardan duduk di ruang tamu, masih mengenakan pakaian kerja. Wajahnya tampak letih, tapi matanya... dingin.

“Kamu pulang,” ucap Nayara pelan.

Ardan mengangguk singkat. “Cuma ambil beberapa barang.”

“Barang?”

“Iya. Aku butuh waktu buat mikir. Aku pindah sementara ke apartemen dekat kantor.”

Dunia Nayara berhenti berputar.

“Kamu... pindah?”

“Cuma sementara.”

“Dan Mira?”

Ardan menatapnya lama, lalu berkata dengan datar, “Jangan bawa-bawa dia.”

“Kenapa nggak? Bukannya kamu pindah ‘sementara’ karena dia kan?”

Ardan tak menjawab. Ia hanya berdiri, berjalan menuju kamar, meninggalkan Nayara yang berdiri terpaku.

Setiap langkah suaminya di lantai seperti gema yang memecah jantungnya.

Saat Ardan keluar membawa koper, Nayara berkata pelan,

“Kita dulu mulai dari nol, Dan. Ingat?”

Ardan berhenti di ambang pintu.

Ia tak menoleh, tapi suaranya terdengar datar, nyaris dingin.

“Kadang orang butuh mulai dari nol lagi, Nay — tanpa masa lalunya.”

Pintu menutup.

Dan kali ini, suara pintu itu benar-benar terdengar seperti akhir segalanya.

 

Beberapa Hari Setelahnya, Rumah itu jadi semakin sepi. Ibu sudah pulang ke rumahnya sendiri, Alia sibuk bekerja, dan Nayara menolak ajakan teman-temannya untuk keluar.

Ia hanya menulis.

Menulis tentang hidupnya, perasaannya, dan tentang semua kenangan yang kini seperti debu di udara.

Sore itu, ia berjalan ke taman dekat rumah — taman yang dulu sering mereka datangi waktu hidup masih sederhana.

Di sana, seorang pria tua sedang memberi makan burung.

“Sendirian, Bu?” tanya pria itu ramah.

Nayara tersenyum kecil. “Iya, Pak. Lagi pengen tenang.”

Pria itu mengangguk, menatap burung-burung yang berkerumun. “Burung kalau dikasih makan tiap hari, dia akan datang terus. Tapi kalau tiba-tiba berhenti dikasih makan, dia nggak langsung pergi. Dia masih balik beberapa hari, berharap yang kasih makan akan muncul lagi.”

Nayara menatapnya lama. “Lalu setelah itu?”

“Dia akan berhenti datang. Tapi yang lebih sedih... kadang yang kasih makan baru sadar, burung itu nggak akan balik lagi.”

Nayara terdiam.

Ucapan itu terasa seperti pesan dari semesta.

Saat ia beranjak pulang, teleponnya bergetar.

Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

Nomor tak dikenal: “Bu Nayara, saya... perlu bicara soal Pak Ardan. Ini penting.”

Nayara berhenti melangkah. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Nayara: “Ini siapa?”

Beberapa detik hening, lalu balasan muncul.

Nomor tak dikenal: “Saya perawat dari Rumah Sakit Harapan Sehat. Mohon datang malam ini. Kami menemukan nama Anda sebagai kontak darurat.”

Ponselnya hampir jatuh dari tangan.

Hujan turun tiba-tiba, deras dan dingin.

Nayara berlari tanpa pikir, setengah tak percaya, antara panik dan takut — tidak tahu apa yang menunggunya di sana.

 

Bersambung...

1
Sanda Rindani
kok jd istri tolol,
Dgweny: wkwk aku juga Gedeg Ama nayara ka🤣
total 1 replies
Nindi
Namanya Mira Lestari atau Mira Adelia, thor?
Dgweny: Adeliaa wkwk typo aku ka hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!