Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 UNIVERSE ARUNIKA— Nama Kelima
Pagi itu terasa seperti bukan pagi. Tidak ada rasa lega, tidak ada rasa baru mulai. Matahari muncul, tapi tidak membawa jawaban apa pun.
Kami duduk di meja kecil basecamp, sarapan seolah semuanya normal.
Tapi gelang biru di antara kami seperti bom waktu.
Dimas.
Lintang.
Raka.
Sari.
Dan satu ruang kosong di baris terakhir.
Sari menatap gelang itu lama, seperti sedang berperang dengan dirinya sendiri. Sampai akhirnya dia bicara, pelan:
“Ka… ada sesuatu yang gue sembunyiin dari lu.”
Aku mendongak. “Tentang apa?”
Dia menelan ludah, suaranya goyah. “Waktu turun dulu… pas kita lewat gerbang Arunika untuk pulang… gue dengar suara.”
Aku mencoba ingat. “Gue nggak dengar apa-apa waktu itu.”
Sari memejamkan mata. “Ya… cuma gue yang dengar. Ada suara bilang… ‘tutup pintumu dengan pintu orang yang paling kamu benci atau paling kamu sayangi’.”
Aku terdiam. Dadaku terasa turun.
Sari melanjutkan: “Aku pura-pura nggak dengar. Tapi suara itu terus kebayang setelah turun. Lama-lama gue ngerti maksudnya.”
Aku menelan ludah yang rasanya tiba-tiba kering. “Sar… maksudnya apa?”
“Maksudnya…” suara Sari pecah, “…gunung ngasih dua pilihan buat menutup pintu kita.”
Dia menatapku lurus, tanpa berkedip.
> “Kita bisa tutup pintu sendiri…
atau kita bisa nutup pintu kita dengan ngebuka pintu orang lain.”
Aku hanya bisa rebah ke sandaran kursi.
Jadi begitu cara gunung memancing manusia: bukan dengan kekerasan… tapi lewat rasa sayang dan rasa benci.
Dan tiba-tiba semuanya jadi jelas.
Gelang ini bukan daftar korban.
Gelang ini adalah peta hubungan.
Siapa yang mencintai siapa.
Siapa yang takut kehilangan siapa.
Siapa yang rela mengorbankan siapa.
Nama yang tertulis bukan urutan kematian —
tapi urutan pilihan.
Aku berkata pelan, “…jadi baris kelima nanti adalah orang yang paling dekat sama kita?”
Sari menggeleng, matanya basah:
“Orang yang bakal lu pilih — sadar atau nggak — demi nyelamatin diri lu sendiri.”
Aku langsung mual.
Karena kalau itu benar, berarti baris terakhir bukan “takdir”… tapi refleksi dari hati yang paling gelap.
Sesaat aku berpikir nama terakhir itu bakal Raka atau Sari saling mengorbankan, tapi Sari bicara duluan:
“Baris terakhir… bukan cuma dari lu, Ka. Bisa juga dari gue.”
Diam.
Dua orang.
Satu daftar.
Satu pintu yang harus ditutup.
Kalau salah satu dari kami mulai lebih sayang daripada takut… atau lebih takut kehilangan daripada hidup…
baris terakhir akan muncul.
Aku tiba-tiba sadar sesuatu.
“Kalau begitu… kita harus jauh dari semua orang. Dari keluarga. Dari teman. Dari siapa pun.”
Karena kalau tidak…
Nama kelima akan muncul dari rasa sayang, dari rasa takut, atau dari rasa dendam.
Sari mengangguk pelan. “Gue udah mikir itu.”
Aku bangkit mendadak. “Kalau gitu gue pulang sendiri aja. Gue nggak mau—”
Sari membanting tangannya ke meja.
“RAKA, lu pikir gue dateng ke sini buat nunggu lu mati?! Gue ikut karena gue nggak mau lu hadapin ini sendirian. Kalau harus mati, ya kita dua-duanya mati!”
Kesunyiannya memukul lebih keras daripada teriakan.
Air mata Sari turun, tapi dia tidak menyeka.
“Gue nggak peduli jalannya gimana. Gue cuma mau satu: lu tetap jadi manusia sampe akhir. Bukan kosong.”
Kata “kosong” membuatku menggigil.
Karena aku ingat wajah kosong versi diriku yang kulihat di rekaman CCTV.
Setelah itu Sari menunduk, suara nyaris tak terdengar:
“Dan kalau harus ada nama kelima untuk nyelamatin lu… gue rela jadi namanya.”
Aku langsung mendekat dan mengguncang bahunya.
“Jangan pernah ngomong gitu lagi!”
Dia tersenyum — bukan senyum bahagia, tapi senyum pahit orang yang sudah capek takut.
“Gue cuma bilang apa yang gue rasain, Ka. Bukan apa yang gue mau.”
Deg.
Aku baru sadar sesuatu yang lebih berbahaya daripada gunung:
Perasaan manusia sendiri.
Kalau Sari mencintai aku lebih dari dia takut mati…
namanya akan mengisi baris terakhir.
Kalau aku mencintai Sari lebih dari aku mencintai hidup…
mungkin aku akan mendorong pintuku ke pintu lain.
Daftar itu bukan hukuman gunung.
Daftar itu cermin hati.
Dan gunung hanya menunggu jiwa mana yang paling rapuh mengalah pada cinta atau ketakutan.
Sebelum aku sempat jawab, kami mendengar ketukan pintu kamar.
Sari langsung gemetar. Aku juga membeku.
Tiga ketukan.
Diam sebentar.
Tiga ketukan lagi.
Aku pelan jalan ke pintu, melihat dari lubang intip.
Tidak ada siapa pun di lorong.
Tapi di lantai depan pintu ada sesuatu.
Aku ambil pelan, tangan gemetar.
Sebuah kertas robek dari tiket pendakian.
Di belakangnya tertulis dengan tulisan tangan yang sangat kukenal:
> “Kalau kalian balik ke Arunika, jangan bawa siapa pun. Jangan telepon siapa pun. Jangan ajak siapa pun.
Jangan biarkan baris kelima muncul.
— L”
Lintang.
Tulisannya jelas… segar… seolah baru ditulis barusan.
Sari meraih kertas itu, tangannya bergetar.
“Ka… lu sadar gak? Lintang bukan nyuruh kita jangan kembali.”
Aku menoleh. “Maksudnya?”
“Lintang nyuruh kita kembali.
Tapi cuma berdua.
Karena kalau ada satu orang lain aja ikut…”
Kami berdua memandang gelang itu bersamaan.
Daftar itu akan lengkap.
Dan kalau daftar sudah lengkap…
seseorang pasti hilang selamanya.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor