NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2: MALAM PEMBANTAIAN -

1

Jam menunjukkan pukul 23:00.

Jonathan terbangun. Entah kenapa, dadanya terasa sesak. Ia menatap langit-langit kamar Elena, mendengarkan napas teratur anak-anaknya yang tertidur. Di sampingnya, Clara juga sudah terlelap, tangannya masih menggenggam tangan Elena.

Jonathan perlahan bangkit. Ia berjalan ke jendela, membuka tirai sedikit. Jalanan di luar gelap. Lampu jalan di ujung gang sudah lama mati, tidak pernah diperbaiki pemerintah. Hanya cahaya remang dari rumah-rumah tetangga yang menyala.

Tapi ada sesuatu yang tidak beres.

Jonathan memicingkan mata. Di ujung jalan, ia melihat sebuah mobil van hitam parkir. Mesinnya mati, tapi ia yakin ada orang di dalamnya.

Detak jantungnya mulai cepat.

Tidak. Tidak mungkin secepat ini.

Ia belum mempublikasikan artikelnya. Masih ada tujuh jam lagi sebelum artikel itu tayang di website media independen tempatnya bekerja. Bagaimana mereka bisa tahu?

Kecuali...

Ada mata-mata di redaksi.

Jonathan berlari kecil ke ruang tamu, mengambil tas ransel lusuh di sudut ruangan. Ia membukanya, memastikan flashdisk berisi semua bukti masih ada di dalamnya. Laptop usangnya, dokumen-dokumen, foto-foto, rekaman—semuanya ada.

Ia harus menyelamatkan ini.

Tapi ketika ia berbalik, cahaya lampu dari luar tiba-tiba menyinari jendela rumahnya. Bukan satu, tapi tiga mobil. Mereka tidak lagi bersembunyi.

Jonathan tahu waktu sudah habis.

Ia berlari ke kamar Elena, mengguncang Alex dengan keras. "Alex! Bangun! SEKARANG!"

Alex terbangun dengan kaget. "P-Papa?"

"Dengarkan Mama dengan baik." Jonathan menarik putranya bangun, mendorongnya ke arah lemari kayu tua di sudut kamar. Lemari itu sempit, pintunya sudah usang. "Masuk ke dalam lemari ini. Jangan keluar apapun yang terjadi. Apapun. Kamu dengar apa yang Mama katakan?"

"Papa, ada apa—"

"MASUK SEKARANG!"

Alex tidak pernah melihat ayahnya seperti ini. Wajah Jonathan pucat, tangannya gemetar, tapi matanya... matanya penuh ketakutan yang nyata.

Alex merangkak masuk ke dalam lemari. Ruangannya sempit, ia harus meringkuk. Jonathan menutup pintu lemari, tapi sebelum tertutup sepenuhnya, ia menatap mata putranya.

"Alex," bisik Jonathan, suaranya pecah, "Papa mencintaimu. Ingat itu. Papa sangat mencintaimu dan Elena. Apapun yang terjadi malam ini... jangan salahkan dirimu sendiri. Ini bukan salahmu. Ini... ini pilihan Papa."

"Papa, aku takut—"

"JANGAN KELUAR. Apapun yang terjadi. Apapun yang kamu dengar. Jangan. Keluar."

Pintu lemari tertutup.

Alex mendengar langkah kaki ayahnya menjauh.

Lalu suara pintu depan didobrak.

BRAK!

Kayu pintu rumah mereka pecah, terlempar ke dalam. Alex mendengar suara langkah kaki berat—banyak sekali. Sepuluh orang, mungkin lebih.

"JONATHAN RAFAEL!" Suara itu dingin, menusuk. "Keluar sekarang atau kami tembak anak-anakmu satu per satu."

Clara berteriak. "JANGAN! KUMOHON!"

"Aku di sini!" Jonathan keluar dari kamar Elena. "Aku di sini. Jangan sentuh keluargaku."

Alex mengintip dari celah lemari. Ia melihat bayangan-bayangan bergerak. Pria-pria berbadan besar, mengenakan pakaian serba hitam, wajah tertutup masker.

Salah satu dari mereka menendang Jonathan di perut.

BUGH!

Jonathan jatuh, muntah di lantai.

"Kamu pikir kamu siapa? Jurnalis bangsat!" Tendangan lagi. Kali ini di wajah. Darah muncrat dari hidung Jonathan. "Kamu pikir kamu pahlawan? Kamu pikir kamu bisa melawan kami?"

"Kumohon..." Jonathan meludahkan darah. "Kumohon jangan sentuh istri dan anak-anak ku. Bunuh aku saja. Bunuh aku, tapi biarkan mereka hidup."

Pria itu tertawa—tawa yang mengerikan, tawa yang Alex tidak akan pernah bisa lupakan seumur hidupnya.

"Biarkan mereka hidup? Oh, Jonathan... kami tidak akan membiarkan siapapun hidup. Tidak ada saksi. Tidak ada keluarga. Tidak ada yang tersisa."

Clara berlari dari kamar, mencoba melindungi suaminya. "JANGAN SAKITI DIA!"

Salah satu pria menangkap Clara, menarik rambutnya dengan kasar. Clara menjerit kesakitan.

"LEPASKAN DIA!" Jonathan mencoba bangkit, tapi dua pria menahan tubuhnya, memaksanya berlutut.

Elena terbangun, menangis di kamar. "MAMA! PAPA!"

"Ssshhh, jangan menangis, sayang." Suara lain—suara yang lebih lembut, tapi ada sesuatu yang mengerikan di dalamnya. "Paman punya permen untuk kamu."

"JANGAN SENTUH ANAKKU!" Jonathan berteriak, mencoba melepaskan diri. "KUMOHON! DIA MASIH ANAK-ANAK! DIA TIDAK TAHU APA-APA!"

Salah satu pria—yang tampak seperti pemimpin mereka—berjongkok di hadapan Jonathan. Ia menarik pistol dari pinggangnya, menekannya ke dahi Jonathan.

"Kamu mau tahu siapa yang menyuruh kami?"

Jonathan menatapnya dengan mata penuh kebencian.

"Adipati Guntur. Dia yang menyuruh kami. Dia bilang... pastikan seluruh keluargamu mati. Perlahan. Menyakitkan."

"Dia akan membayar ini," desis Jonathan. "Suatu hari nanti... dia akan membayar semua ini."

Pria itu tersenyum di balik maskernya. "Mungkin. Tapi kamu tidak akan melihatnya."

Ia menurunkan pistolnya, lalu mengangguk pada anak buahnya. "Patahkan jari-jarinya. Satu per satu. Aku ingin dia merasakan sakit sebelum mati."

Dua pria menarik tangan kanan Jonathan, merentangkannya di lantai.

"TIDAK! KUMOHON—"

KRAK!

Jari telunjuk Jonathan patah.

Jeritan kesakitan mengoyak udara malam.

Alex di dalam lemari menutup mulutnya dengan kedua tangan, air mata mengalir deras. Tubuhnya bergetar hebat. Ia ingin keluar, ingin menyelamatkan ayahnya, tapi tubuhnya tidak bergerak. Ketakutan melumpuhkannya.

KRAK!

Jari kedua patah.

Jonathan menjerit lagi, suaranya sudah serak.

"Hentikan!" Clara menangis histeris. "Kumohon hentikan! Bunuh aku! Bunuh aku saja!"

KRAK! KRAK! KRAK!

Satu per satu, kesepuluh jari Jonathan dipatahkan.

Jeritan demi jeritan memenuhi rumah kecil itu.

Lalu pistol ditempelkan ke lutut kanan Jonathan.

"Ini untuk pelajaran. Jangan pernah mencoba jadi pahlawan."

BANG!

Lutut Jonathan hancur. Darah menyembur kemana-mana.

Jonathan tidak lagi menjerit. Ia hanya menangis—tangis seorang pria yang tahu ia akan mati, yang tahu ia tidak bisa menyelamatkan keluarganya.

Pemimpin kelompok itu berdiri, membersihkan darah di sepatunya. "Baiklah. Sekarang bagian yang menyenangkan."

Ia mengangguk pada anak buahnya. "Bawa istrinya ke ruang tamu. Bawa anaknya juga."

"TIDAK!" Jonathan mencoba merangkak, tapi tubuhnya sudah tidak bisa bergerak. "KUMOHON! BUNUH AKU SEKARANG! JANGAN SENTUH MEREKA!"

Tapi jeritan itu diabaikan.

Clara diseret ke ruang tamu.

Elena menangis, dipaksa keluar dari kamar.

Dan Jonathan... Jonathan dipaksa menonton.

Alex mendengar semuanya dari dalam lemari.

Dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Hanya menangis dalam diam.

Menggigit tangannya sendiri sampai berdarah untuk menahan suara.

Sementara neraka dimulai di luar lemari itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!