Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia dalam amplop putih
Langit sore menggantungkan awan kelabu di atas rumah kecil berwarna hijau itu. Angin menampar pelan tirai putih yang tergantung setengah lelah di jendela kamar Kalea. Udara terasa berat, seakan ikut menyimpan beban yang tak pernah terucap. Di atas ranjangnya, seorang gadis dengan mata gelisah duduk membisu, tangannya menggenggam erat sebuah amplop putih yang sudah hampir lecek, seolah isinya bisa melukai lebih tajam dari sebilah pisau.
Jantung Kalea berdetak kencang, lebih kencang dari suara detik jam di dinding yang terus memaku waktu. Degupnya seakan ingin meledak, merobek dadanya, lalu berhamburan bersama rahasia yang terkunci dalam amplop itu.
"Kenapa aku harus merasa seperti ini..." bisiknya lirih, hampir tanpa suara.
Ia memejamkan mata, mencoba menata keberanian yang rasanya hilang sejak beberapa hari terakhir. Nafasnya naik turun tak beraturan, seolah paru-parunya menolak bekerja dengan normal.
"Aku harus tahu," gumamnya, kali ini lebih tegas, meski suaranya tetap bergetar. "Aku harus tahu... siapa aku sebenarnya."
Semuanya bermula dari satu kalimat yang diucapkan Swasmita, temannya di asrama: "Kenapa sih kamu nggak mirip sama sekali sama Bang Byan? Bahkan sama mama papa juga nggak." Kalimat itu awalnya terdengar sepele, candaan biasa di antara sahabat. Tapi bagi Kalea, kata-kata itu seperti duri yang menancap dalam, karena itulah yang selama ini juga sering ia rasakan diam-diam.
Lalu malam itu, secara tak sengaja ia mendengar percakapan lirih kedua orang tuanya. Kata "rahasia" terdengar begitu jelas, diikuti suara ibunya yang terbata menahan tangis. Sejak saat itu, dunia yang ia pijak tak lagi terasa kokoh.
Kalea menunduk, menatap amplop di tangannya. Ia merasa seperti sedang menggenggam nasib sendiri. Perlahan, dengan jemari yang bergetar hebat, ia membuka lipatan kertas tebal itu. Mata hitamnya berlari membaca huruf demi huruf.
Tidak ditemukan kecocokan genetik yang menandakan hubungan biologis sebagai saudara kandung.
Hening.
Sejenak, dunia seperti berhenti berputar. Suara jangkrik di luar jendela tak lagi terdengar. Bahkan detak jam pun lenyap dari telinganya.
Lalu, air mata itu tumpah.
Tangisnya pecah, tidak tertahan, seperti bendungan yang jebol oleh banjir. Ia menutup mulutnya dengan tangan, berusaha meredam suara tangis, tapi tubuhnya bergetar hebat.
Ini bukan sekadar air mata kesedihan. Ini adalah air mata kehilangan, kehilangan atas keyakinan bahwa ia punya tempat sejati di rumah itu.
Bukan luka kecil. Tapi luka yang seperti mengoyak seluruh hatinya.
Malam itu, suasana rumah dipenuhi kabut kegelisahan. Lampu ruang tamu menyala redup, membentuk bayangan samar di dinding. Ayah dan ibunya duduk di sofa, berbincang ringan seolah tidak ada sesuatu pun yang salah. Rumah itu masih tampak hangat, nyaris sempurna, setidaknya dari luar.
Kalea melangkah masuk dengan langkah pelan, wajahnya pucat, matanya masih sembab. Di tangannya, amplop putih itu ia genggam seakan-akan itu adalah senjata terakhirnya.
"Ma... Pa..." suaranya parau, membuat kedua orang tuanya menoleh serentak.
"Kenapa sayang?" sang ibu tersenyum hangat, tapi senyum itu segera pudar ketika melihat wajah Kalea yang muram.
"Lea sudah tahu semuanya," ucap Kalea lirih.
Ayahnya mengernyit. "Tahu apa, nak?"
Dengan tangan bergetar, Kalea meletakkan amplop itu di atas meja kaca. Suara amplop yang jatuh terdengar lebih nyaring dari yang seharusnya, seolah menampar keheningan ruangan itu.
Ibu menutup mulutnya, wajahnya mendadak pucat. Ayah terdiam, rahangnya mengeras, urat di pelipisnya menegang.
"Lea bukan anak Mama Papa, kan?" suara Kalea pecah. "Lea juga bukan adiknya Bang Byan, kan, Pa?"
Kata-kata itu keluar dengan getir, seperti pisau yang ia paksa keluar dari tenggorokannya sendiri.
Air mata ibunya akhirnya jatuh, deras, seperti banjir yang tak mampu ditahan lagi. Sang ayah menarik napas panjang, berusaha tetap tenang, tapi sorot matanya berkaca.
"Maafkan kami, Lea..." suara ibunya bergetar. "Kami ingin mengatakannya, tapi kami terlalu takut kehilanganmu."
Tangis Kalea semakin deras. "Kalau begitu... siapa Lea sebenarnya? Dari mana Lea berasal?"
Ayahnya menunduk, menatap lantai. Lama ia diam, lalu suaranya pecah, berat. "Kamu... ditemukan di lokasi konflik. Waktu itu usiamu kira-kira satu tahun. Seorang prajurit membawa kamu ke pos tempat Papa bertugas. Kamu tidak punya identitas, tidak ada nama. Hanya sehelai selimut lusuh... dan sepotong kalung kecil di lehermu."
Kalea terdiam, tubuhnya lemas. Kata-kata ayahnya seperti palu godam yang menghantam dadanya berkali-kali. Ia menggigit bibir, berusaha menahan tangis, tapi matanya tak berhenti basah.
"Kenapa Mama Papa nggak pernah bilang?!" serunya, suara meninggi penuh luka.
"Kami takut..." jawab ibunya, tangannya meraih Kalea. "Takut kamu merasa tidak dicintai. Padahal... kami mencintaimu dengan seluruh hati kami. Bahkan... Mama sering merasa lebih sayang sama kamu daripada Byan."
Kalea menepis tangan ibunya pelan. Luka itu masih terlalu baru untuk disentuh.
Malam semakin larut ketika suara pintu depan terbuka. Byantara pulang. Seragamnya masih melekat di tubuh, wajahnya lelah tapi matanya langsung menangkap suasana rumah yang muram. Ada sesuatu yang terjadi, ia bisa merasakannya.
Ia mengetuk pelan pintu kamar Kalea.
"Lea?"
Kalea duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela. Matanya sembab. Ia menoleh sebentar, lalu berbisik lirih, "Aku sudah tahu semuanya, Bang."
Byantara masuk, keningnya berkerut. "Maksudmu?"
Kalea menarik napas, lalu mengucapkannya dengan suara hampir tak terdengar: "Kita... bukan saudara kandung."
Deg.
Darah Byantara seakan berhenti mengalir. Kata-kata itu menghantam telinganya dengan keras. Rahasia yang selama ini ia pendam dalam-dalam akhirnya terbongkar oleh takdir.
"Aku bukan adikmu, Bang," lanjut Kalea, matanya menunduk, enggan menatap wajahnya.
Byantara berdiri terpaku. Hatinya sesak. Bertahun-tahun ia menekan perasaan yang tak pernah boleh ada, perasaan yang setiap kali ia tatap mata Kalea, selalu tumbuh dan mengakar. Ia selalu memaki dirinya sendiri karena menganggap perasaan itu dosa. Tapi kini, Tuhan seperti membukakan celah, mereka memang bukan darah daging.
"Lea..." suara Byantara serak, nyaris pecah. "Kamu nggak pernah harus marah atau bingung. Karena sejak awal, kamu bukan sekadar adik buat aku."
Kalea menoleh, matanya bergetar. "Maksud Bang Byan?"
Byantara terdiam. Ia ingin bicara, ingin mengaku, tapi lidahnya kelu. Ada tembok yang menahannya, tembok bernama ketakutan.
Hari-hari berikutnya, rumah itu sunyi. Tidak ada tawa, tidak ada percakapan panjang. Kalea lebih sering mengurung diri di kamar. Matanya merah, wajahnya pucat, tapi ia terus berusaha tegar.
Suatu sore, ia membuka laci lemari, mencari benda yang pernah disebut ayahnya. Dan di sanalah ia menemukannya, sebuah kalung perak kecil, kusam dimakan usia. Di permukaannya terukir huruf Arab yang hampir pudar, Fatimah.
Air matanya kembali jatuh. Itukah namanya yang asli? Atau nama ibunya? Pertanyaan baru bermunculan, tapi tak ada satupun yang bisa menjawab.
Suatu malam, ibunya datang ke kamar membawa segelas teh hangat. Ia duduk di sisi ranjang Kalea, menatap wajah putrinya yang pucat.
"Kami mencintaimu, Nak. Tidak peduli darimana kamu berasal. Sejak pertama kali kami melihatmu, kamu sudah jadi darah daging kami."
Ayah berdiri di ambang pintu, suaranya bergetar. "Kamu tahu, Lea? Waktu pertama kali Byan melihatmu, dia langsung bilang terima kasih ke Papa, karena sudah bawa pulang adik kecil yang cantik. Sejak saat itu, dia nggak pernah berhenti menjagamu."
Ibunya tersenyum di balik tangis. "Waktu kamu kecil, kalau kamu merajuk nggak mau makan, Byan juga ikut nggak mau makan. Katanya, kalau adiknya lapar, kakaknya juga harus ikut lapar."
Kalea terdiam. Air matanya menetes satu-satu, membasahi pipinya. Ia menggenggam kalung perak itu erat.
"Lea percaya, Ma... Pa... Tapi beri Lea waktu. Semua ini terlalu mendadak. Luka ini masih terlalu segar."
Ibunya merangkul Kalea, mencium ubun-ubunnya dengan air mata yang tak berhenti jatuh.
Dan di luar jendela, langit kembali berawan. Seolah ikut menangis bersama rahasia yang akhirnya terbongkar.
Kalea menatap bayangan dirinya di cermin malam itu. Ia bukan lagi gadis yang sama. Dunia yang ia kenal runtuh, tapi dari reruntuhan itu, ia tahu satu hal, ia harus mencari siapa dirinya sebenarnya.
Dan jauh di sudut kamar, Byantara berdiri diam. Ia tahu, sejak malam itu, hubungan mereka takkan pernah sama lagi.