Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24: Warung Makin Sepi
Pagi itu, Arsyan bangun dengan perasaan aneh.
Dia gerakkan tangan ke sebelahnya—mencari Wulan—tapi kasurnya kosong. Dingin. Kayak nggak ada yang tidur di sana.
Arsyan langsung bangun—meskipun kepalanya masih pusing—dia liat sekeliling kamar.
"Wulan?"
Nggak ada jawaban.
Dia keluar kamar—liat ke dapur—nggak ada. Kamar mandi—nggak ada. Ruang tamu—kosong.
Jantungnya mulai berdetak cepat.
Dia... dia kemana?
"Wulan!" panggil Arsyan lebih keras—suaranya mulai panik. "WULAN!"
Tapi rumah tetep sepi.
Arsyan duduk lemas di kursi ruang tamu—tangan gemetar—pikiran berantakan.
Dia pergi? Dia ninggalin aku? Tapi... kenapa? Kenapa tiba-tiba?
Yang nggak dia tau—Wulan sebenarnya masih ada di rumah.
Wulan berdiri di pojok ruangan—tepat di samping Arsyan—menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca.
Tapi dia sengaja bikin dirinya nggak kasat mata. Nggak keliatan. Nggak bisa disentuh.
Ini cara terakhir yang dia pikirin—cara buat jaga jarak tapi tetep deket. Cara buat lindungi Arsyan tanpa harus bener-bener pergi.
Dia lihat Arsyan nangis—pelan, diam-diam—tangan nutupin muka.
Dan hati Wulan... hancur.
Maafin aku, Mas. Ini demi kebaikanmu. Aku... aku nggak akan kemana-kemana. Aku tetep di sini. Cuma... kamu nggak bisa liat aku.
Tapi meskipun kondisi Arsyan agak mendingan hari ini—badannya nggak selemes kemarin, nggak batuk darah—hatinya... sakit banget.
Sakit yang lebih parah dari kutukan.
Sakit kehilangan.
Kenapa istriku nggak ada? Apa dia pergi? Dia kemana? Apa... apa aku salah?
Arsyan akhirnya paksain dirinya berdiri—cuci muka—nyoba tenang.
Mungkin dia cuma pergi bentar. Mungkin dia belanja. Atau... atau ke masjid. Iya, pasti begitu.
Dia memutuskan tetep buka warung—meskipun hatinya nggak tenang.
Siang itu, Arsyan dorong gerobaknya ke tempat biasa—pinggir jalan deket pasar.
Tapi begitu dia buka—yang dateng... cuma sedikit.
Sangat sedikit.
Kalau biasanya udah ada antrian dari jam sebelas—sekarang sampe jam dua belas cuma ada dua orang.
Arsyan bingung. Kok sepi banget? Kemana semua orang?
Yang dia nggak tau—warungnya rame dulu karena ada Wulan. Aura Wulan yang bikin orang tertarik datang. Tapi sekarang Wulan nggak ada... aura itu hilang.
Sampe sore—Arsyan cuma dapet lima pembeli.
Lima.
Padahal dulu bisa dua puluh sampai tiga puluh.
Rezeki berkurang drastis. Uang yang masuk cuma cukup buat modal besok—nggak ada sisa.
Arsyan duduk lemas di bangku plastik—menatap gerobaknya yang sepi—hati makin sesak.
Kenapa semuanya jadi berantakan? Istriku hilang, warung sepi, badan sakit... apa... apa ini hukuman?
"GAS!"
Suara Bhaskara—keras, ceria—bikin Arsyan dongak.
Bhaskara dateng sambil bawa gitar lusuh—nyengir lebar. Di belakangnya ada Dzaki, bawa buku doa sama tasbih kayak biasa.
"Gas, kenapa lo bengong sendirian?" tanya Bhaskara sambil duduk asal. "Warung lo sepi banget hari ini."
"Iya... entah kenapa..." gumam Arsyan lemah.
Dzaki duduk juga—menatap Arsyan dengan tatapan khawatir. "Mas Arsyan... Mas keliatan pucat. Udah makan belum?"
"Belum... nggak laper."
"Harus makan, Mas! Biar kuat!" Dzaki langsung ambil mangkuk—nyendok soto—paksa Arsyan makan. "Ini, makan. Jangan ngeyel."
Arsyan senyum tipis—makan beberapa suap meskipun nggak ada selera.
Bhaskara menatap sekeliling—lalu dia punya ide.
"Gas, gue ada ide biar warung lo rame lagi."
"Ide apa?"
"Kita... PROMOSI!" Bhaskara berdiri, angkat gitarnya. "Gue main gitar, Dzaki nyanyi, terus orang-orang bakal penasaran dateng!"
Dzaki langsung panik. "HAH?! AKU NYANYI?! BHAS, AKU NGGAK BISA NYANYI!"
"Bisa lah! Lo kan hafal Qur'an, suara lo pasti bagus!"
"ITU BEDA, BHAS! NGAJI SAMA NYANYI ITU BEDA!"
"Sama aja lah! Udah, ayo!" Bhaskara langsung petik gitar asal—nada berantakan kayak kucing digebukin.
"DENGERIN YA SEMUA! INI WARUNG SOTO PALING ENAK SE-KAMPUNG! MURAH! ENAK! HALAL! AYO MERAPAT!" teriak Bhaskara sambil main gitar yang nada-nadanya nggak jelas.
Dzaki pasrah—akhirnya ikutan nyanyi—tapi nadanya... ya ampun. Kayak orang lagi kesurupan.
"Sotooo... sotonyaaa enaaak... dagingnyaaa banyaaak... kuahnyaaa sedeeeep..."
Orang-orang yang lewat pada berhenti—natap mereka berdua dengan tatapan... bingung campur geli.
Ada yang ketawa. Ada yang geleng-geleng kepala. Tapi... mereka pada dateng.
"Eh, soto apa tuh? Kok rame?"
"Nggak tau. Yang nyanyi lucu banget. Yuk cobain."
Satu-satu orang mulai dateng—duduk—pesen soto.
Bhaskara makin semangat—main gitarnya makin kenceng meskipun makin ancur.
Dzaki makin panik tapi tetep nyanyi—suaranya makin fals.
Dan para pelanggan... pada nyuraki.
"WOOOO! MANTAP! LAGI! LAGI!"
"YANG NYANYI LUCU BANGET! NADA KEMANA, SUARA KEMANA!"
"GITAR LO JUGA ANCUR, BHAS! TAPI SERU!"
Arsyan yang dari tadi bengong—akhirnya ketawa.
Ketawa lepas—pertama kalinya dalam beberapa hari ini—perutnya sampe sakit.
"Kalian... kalian berdua gila!" teriaknya sambil ketawa.
Bhaskara nyengir. "Yang penting warung lo rame kan, Gas!"
Dan bener—warung Arsyan hari itu jadi rame lagi. Nggak serame dulu, tapi lumayan.
Arsyan ngelap air mata—air mata karena ketawa—sambil bisik pelan:
"Makasih, Bhas. Makasih, Zak."
Meskipun hatinya masih sakit karena Wulan hilang—setidaknya hari ini... dia bisa tersenyum.
Dan dari kejauhan—Wulan yang nggak keliatan—tersenyum juga.
Tersenyum meskipun air matanya jatuh.
Syukurlah... Mas bisa ketawa lagi...