NovelToon NovelToon
Istri Paksa Tuan Arka

Istri Paksa Tuan Arka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta Terlarang
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.

Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:

“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”

Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.

Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.

Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.

Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.

Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6: Kembali ke Sekolah

​Alya membuka mata. Udara pagi terasa sejuk, tetapi tubuhnya terasa panas dan pegal.

​Malam telah berlalu, tetapi rasanya ia baru saja memenangkan pertarungan fisik yang melelahkan. Ia tidur menghadap Arka Darendra, persis seperti yang diperintahkan. Selama berjam-jam, ia merasakan napas hangat Arka di dahinya, lengan beratnya melingkari pinggangnya, dan kaki Arka yang menyentuh kakinya di bawah selimut sutra. Itu adalah malam yang intim sekaligus paling sepi yang pernah ia rasakan.

​Arka tidak melakukan apa pun—tidak ada ciuman, tidak ada sentuhan yang lebih jauh dari pelukan posesif. Namun, posisi itu, kedekatan yang dipaksakan, dan kesadaran bahwa ia berada di ranjang pria yang membelinya, jauh lebih menguras tenaga daripada ancaman fisik mana pun. Itu adalah penegasan dominasi.

​Ketika ia terbangun, Arka sudah pergi. Kali ini, tidak ada catatan. Hanya keheningan kamar yang mahal dan janji bahwa ia harus kembali sebelum pukul 17.00.

​Alya bergerak ke kamar mandi. Di cermin besar yang dikelilingi lampu rias elegan, ia melihat kelelahan tercetak jelas di bawah matanya. Wajahnya yang polos tampak lebih serius.

​Ia mengenakan seragam sekolahnya. Seragam putih abu-abu itu kini terasa seperti kostum. Di rumah ini, ia adalah Nyonya Arka Darendra, terikat pada aturan dan ranjang CEO itu. Di luar, ia harus kembali menjadi Alya Ramadhani, siswi kelas 12, yang mengkhawatirkan ujian Fisika dan jadwal ekstrakurikuler.

​Saat ia menyisir rambutnya yang panjang, matanya menangkap sesuatu di meja rias marmer.

​Sebuah kotak velvet kecil berwarna hitam, diletakkan rapi di sebelah sisir peraknya. Alya mendekat, jantungnya berdegup. Ia mengambil kotak itu dengan hati-hati dan membukanya.

​Di dalamnya, tersemat sepasang cincin kawin. Cincin Arka tebal, polos, dan terbuat dari emas putih yang berat. Cincin Alya lebih tipis, juga emas putih, dengan satu berlian kecil yang tertanam rapi. Cincin itu memancarkan kemewahan yang sunyi, persis seperti villa ini.

​Arka tidak pernah memberikannya langsung. Ia hanya meninggalkannya. Ini adalah simbol: tanda kepemilikan yang kini sah.

​Alya meraih cincinnya. Dinginnya logam mahal itu terasa mengejutkan di ujung jarinya. Ia teringat bagaimana Arka menunjuk rahangnya, bagaimana dia menariknya ke dalam pelukan, bagaimana dia menguasai setiap detik kehidupannya.

​Ia mencoba memasang cincin itu di jari manisnya. Ukurannya pas. Tanda berlian kecil itu memantulkan cahaya. Ia melihat tangannya, yang kini tampak asing. Tangan seorang istri.

​Ia menatap cincin itu lama, lalu dengan cepat, ia melepasnya. Ia tidak bisa membawa benda ini ke sekolah. Pura-pura hidup normal adalah satu-satunya hal yang bisa ia pegang saat ini. Jika Luna atau Deo melihatnya, semua akan berantakan. Ia akan dituduh, diinterogasi, dan Arka pasti akan marah jika rahasia itu bocor.

​Alya memasukkan cincin itu kembali ke dalam kotak velvet, lalu menyembunyikan kotak itu jauh di bagian belakang laci, di bawah tumpukan kaus kaki.

​Perjalanan ke sekolah sama sunyinya seperti kemarin. Mobil sedan hitam yang dikendarai supir profesional mengantarnya, kali ini berhenti sedikit lebih jauh dari gerbang.

​“Selamat belajar, Nyonya,” sapa sang supir, suaranya nyaris berbisik.

​“Tolong jangan panggil saya Nyonya di luar rumah, Pak. Panggil saja Alya,” pinta Alya, sedikit memohon.

​Supir itu mengangguk, tetapi di matanya tersirat keraguan, seolah ia khawatir melanggar aturan Arka. “Akan saya usahakan, Nyonya. Hati-hati.”

​Alya turun dari mobil, membawa ransel beratnya. Ia segera berjalan cepat menuju gerbang, berusaha menghilangkan aura mobil mewah itu dari dirinya.

​Pagi itu, ia menyalin catatan Fisika dari Luna. Ia berusaha fokus, tertawa pada lelucon teman-temannya, dan pura-pura mengeluh tentang PR yang menumpuk. Tetapi, semua interaksi terasa artifisial. Ada dinding tak kasat mata yang kini mengelilinginya, dinding yang terbuat dari rahasia, sutra, dan ancaman.

​Saat istirahat, Alya pergi ke perpustakaan untuk menghindari keramaian. Namun, baru saja ia membuka buku, Deo sudah berdiri di samping mejanya.

​“Alya, boleh aku duduk?” tanya Deo, nadanya sopan, tapi matanya dipenuhi rasa ingin tahu.

​Alya mengangguk kaku. “Tentu, Deo.”

​Deo duduk, tetapi ia tidak membuka buku. Ia hanya menatap Alya. “Kau masih marah soal catatan kemarin?”

​“Aku tidak marah, Deo. Aku hanya butuh waktu sendiri.”

​Deo menghela napas. “Aku tahu ada yang aneh. Sejak dua hari ini, kau berubah. Kau terlihat sangat lelah, tapi kau tidak pernah mau bicara tentang ayahmu. Dan soal mobil yang mengantarmu…”

​Alya menegang. “Mobil apa?”

​“Mobil hitam mewah. Sedan. Aku melihatnya tadi pagi. Dan kemarin sore. Jauh lebih mewah dari mobil Ayahmu yang dulu. Kau sedang diantar siapa, Alya?” tanyanya, suaranya pelan, seolah takut didengar orang lain.

​Pertanyaan itu membuat Alya panik. Ia tidak menyadari Deo mengawasinya sejauh itu. Jelas saja Arka tahu ia berinteraksi dengan Deo—Deo adalah salah satu mata yang mengawasi Alya di lingkungan sekolah.

​“Itu… itu mobil perusahaan paman Ayahku,” Alya berbohong, berusaha terdengar meyakinkan. “Kami pindah ke rumah Paman sementara. Jadi, aku diantar oleh supirnya. Dia sangat ketat soal waktu, jadi aku harus segera pulang.”

​Deo tidak terlihat yakin. Matanya yang jernih menatap Alya lurus-lurus. “Kau berbohong. Mata kau mengatakan sebaliknya, Alya. Kau terlihat seperti sedang ketakutan.”

​“Aku tidak ketakutan, Deo. Aku hanya stres ujian,” balas Alya, sedikit membentak. Ia menutup bukunya dengan bunyi keras, menarik perhatian beberapa siswa lain.

​“Aku harus pergi,” kata Alya, bangkit dari kursi. Ia harus menjauhi Deo. Arka melarangnya berinteraksi intim, dan ‘intim’ bagi Arka berarti apapun yang menunjukkan bahwa Alya memiliki perhatian terhadap pria lain.

​Deo meraih pergelangan tangan Alya, lembut, tetapi cukup untuk menghentikannya.

​“Tunggu, Alya. Ada apa? Kau bisa bicara padaku. Aku temanmu. Kau tahu aku… aku peduli padamu.”

​Sentuhan itu. Sentuhan seorang teman. Sentuhan yang polos dan tulus. Tapi di mata Arka, sentuhan ini adalah api yang akan membakar segalanya.

​Alya menarik tangannya dengan cepat, seolah sentuhan Deo adalah api. Tindakannya terlalu tiba-tiba, terlalu panik.

​“Jangan sentuh aku, Deo!” kata Alya, suaranya tajam dan dipenuhi keputusasaan.

​Deo terkejut, terluka. Ia menarik tangannya kembali, wajahnya memerah karena malu dan bingung. “Alya, aku minta maaf. Aku hanya…”

​“Aku tidak apa-apa,” potong Alya, menyesali nada bicaranya. “Aku hanya… sedang sensitif. Aku benar-benar harus pergi. Aku harus bertemu guru. Tolong jangan ganggu aku lagi hari ini.”

​Alya berbalik dan berlari keluar dari perpustakaan, meninggalkan Deo dalam keheningan yang bingung. Ia tahu ia baru saja menyakiti perasaan teman baiknya, tetapi ia tidak punya pilihan. Menjaga jarak dari Deo adalah menjaga nyawa dan kebebasan ayahnya.

​Pukul 16.45. Alya tiba di villa Arka. Tepat waktu.

​Alya melangkah masuk, merasakan dinginnya AC menusuk. Villa itu kosong dan sunyi. Arka belum pulang. Alya merasa sedikit lega.

​Ia naik ke kamar, melepas seragamnya, dan menggantinya dengan pakaian santai yang disediakan Arka. Ia meraih ponselnya, mencari keberanian untuk menghubungi ayahnya.

​Pak Rahmat mengangkat telepon segera setelah berdering.

​“Alya, Nak! Bagaimana? Ayah khawatir sekali. Kau tidak apa-apa di sana? Pria itu… dia tidak menyakitimu, kan?” Suara Pak Rahmat penuh kerisauan.

​“Aku baik-baik saja, Yah. Dia… dia pergi kerja. Kami tidak bicara banyak,” Alya berbohong. Ia tidak ingin ayahnya tahu soal ranjang, soal aturan, soal ancaman fisik. “Ayah bagaimana? Guntur tidak datang lagi, kan?”

​“Tidak, Nak. Tadi ada notaris yang datang. Dia bilang semua hutang sudah lunas. Lunas total. Dia tunjukkan dokumennya. Ya Tuhan, Nak. Kau menyelamatkan hidup Ayah.” Isak tangis lega terdengar di seberang telepon.

​“Syukurlah,” kata Alya, suaranya serak. Lega, tetapi rasa pahitnya tak terhindarkan.

​“Alya, dia memperlakukanmu dengan baik, kan? Dia tidak kasar?” tanya Pak Rahmat lagi.

​“Dia… dia perfeksionis, Yah. Dia punya banyak aturan. Tapi dia tidak menyakitiku. Dia membiarkan aku sekolah. Ayah jangan khawatir. Yang penting, Ayah sekarang aman. Jangan pernah terlibat urusan bisnis lagi. Fokus pada kesehatan Ayah, ya.”

​Alya tidak bisa lagi menahan air mata. Ia menutup matanya, membiarkan air mata itu jatuh tanpa suara. Ia harus berbohong kepada ayahnya. Ia harus berkorban.

​“Ayah janji, Nak. Ayah janji akan mencari cara untuk membatalkan pernikahan ini setelah Ayah pulih. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik,” kata Pak Rahmat, mencoba memberi harapan.

​Alya hanya menghela napas. “Aku tutup dulu, Yah. Aku harus mandi. Jaga diri Ayah.”

​Ia memutus panggilan. Membatalkan pernikahan Arka Darendra? Itu seperti menjanjikan untuk memindahkan gunung.

​Ia berjalan ke walk-in closet, matanya menangkap sesuatu yang berkilau di atas laci. Kotak velvet hitam. Cincin kawin itu.

​Alya membukanya. Ia menatap berlian kecil itu. Itu adalah belenggu, rantai yang mengikatnya pada pria yang obsesif dan berbahaya.

​Ia menutup kotak itu dengan keras.

​Tiba-tiba, ia mendengar suara pintu terbuka di lantai bawah. Arka sudah pulang. Waktu menunjukkan pukul 17.15.

​Alya buru-buru mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi, berpura-pura sedang bersiap-siap. Ia tidak ingin Arka melihatnya lemah, atau melihat dirinya terlalu lama di kamar sebelum dia kembali.

​Ketika ia keluar sepuluh menit kemudian, Arka sudah berada di kamar. Dia sudah mengganti jasnya dengan kemeja t-shirt V-neck hitam dan celana kasual. Pria itu berdiri di depan jendela, menikmati pemandangan kota.

​“Kau terlambat tiga menit, Nyonya,” katanya, tanpa menoleh.

​Alya menghela napas. “Saya sudah di kamar mandi, Tuan Arka. Saya tidak bisa berlari.”

​Arka berbalik, matanya menatap Alya yang mengenakan handuk. Tatapannya kini berubah: dari dingin menjadi tajam, mengamati setiap inci kulit Alya yang terekspos.

​“Kau sudah membereskan penampilanmu. Itu bagus,” Arka mendekat, matanya tidak lepas dari Alya.

​“Aku punya laporan tentang harimu di sekolah, Alya.”

​Jantung Alya mencelos. Ia tahu itu. Deo.

​“Kau menolak sapaan Deo dengan kasar. Itu bagus. Tapi kau mengizinkannya menyentuhmu, bahkan hanya sebentar, sebelum kau menarik diri.”

​Alya menegang. “Dia meraih pergelangan tangan saya! Saya langsung menariknya!”

​Arka kini berdiri di hadapannya. Ia mengangkat tangan kanannya, menyentuh pergelangan tangan Alya yang baru saja disentuh Deo tadi pagi. Sentuhan Arka terasa sangat berbeda. Lebih panas, lebih posesif, lebih menuntut. Ia membelai pergelangan Alya dengan ibu jarinya, mengirimkan getaran aneh yang menakutkan sekaligus sensual.

​“Sentuhan dari pria lain tidak diizinkan, Alya. Kecuali aku. Kau harus menjaga batasan itu. Kau harus ingat siapa suamimu. Ingat siapa yang memiliki hak penuh atas setiap inci kulitmu.”

​Arka menunduk, bibirnya mendekat ke leher Alya. Ia menghirup aroma sabun di kulit Alya dalam-dalam.

​“Aku sudah terlalu bersabar denganmu, Alya. Aku memberimu waktu dua malam untuk beradaptasi, tapi kau malah memprovokasiku dengan interaksi konyol di sekolah.”

​Alya merasakan seluruh tubuhnya tegang karena ketakutan dan gairah yang terlarang. Ia tahu, momen ketegangan emosional yang mengarah pada Bab 7, Malam Pertama yang Tertunda, sudah di depan mata.

​“Malam ini, kita tidak akan bicara tentang aturan lagi,” bisik Arka, suaranya serak dan mengancam. “Malam ini, aku akan membuktikan padamu apa artinya ‘milik’ Darendra.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!