SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cahaya Tobat dan Pintu Keluar
🙏 Doa yang Dijabah
Sinta terus berdoa. Meskipun tubuhnya kaku, berbalut kain kafan yang basah, dan jiwanya remuk oleh teror yang ia saksikan, ia memanjatkan doanya dengan tulus dan ikhlas.
Di sampingnya, Slamet masih disiksa terus dengan suara gemuruh, dihimpit dan dihancurkan berulang kali. Namun, kini, fokus Sinta telah beralih sepenuhnya dari kengerian Slamet menuju Tuhannya. Ketakutan Sinta begitu absolut, sehingga doanya menjadi murni dan penuh penyerahan diri.
Sinta berulang kali memohon ampun, mengulang lafal Istighfar dan doa perlindungan yang ia dengar dari roh-roh di sekitarnya. Air matanya terus mengalir, membasahi kain kafan di wajahnya.
Dan tiba-tiba, dengan kekhusyukan-nya dia berdoa meminta ampun sama Allah, sesuatu yang luar biasa terjadi.
Dari kegelapan di atas, dari celah-celah di antara papan yang tertutup tanah, datanglah cahaya terang yang lembut, keemasan, dan hangat. Cahaya itu bukan api, bukan petir; itu adalah cahaya kasih sayang yang murni. Cahaya itu menerangi liang lahat, mengusir semua kengerian, dan menghentikan sejenak siksaan Slamet.
Cahaya itu turun dan menghampirinya.
🕊️ Pesan dari Malaikat Rahmat
Di tengah cahaya yang lembut itu, Sinta merasakan ketenangan yang luar biasa. Cahaya itu seolah berbicara kepadanya, memancarkan kedamaian yang menghentikan rasa sakit dan terornya.
Cahaya itu pun memadat, dan Sinta dapat merasakan kehadiran spiritual yang agung. Itu adalah Malaikat yang diutus bukan untuk menghukum, melainkan untuk memberikan rahmat atas tobatnya.
Malaikat itu berkata dengan suara yang lembut namun berwibawa, sebuah suara yang menenangkan jiwa:
"Qad ja'a waqt at-tawba. Hal ra'ayti azab al-qabr?"
(قد جاء وقت التوبة. هل رأيت عذاب القبر؟)
Terjemahan: "Sudah saatnya waktu tobat tiba. Apakah engkau telah melihat siksaan kubur?"
Sinta hanya bisa mengangguk pelan, air matanya bercampur dengan rasa haru dan takut yang kini mereda.
Malaikat itu melanjutkan, menegaskan kebenaran yang baru saja ia saksikan:
"Na'am, inna azab al-qabr haqqun. Ra'ayti bi 'aynayki. Fahuwa mukhif jiddan li-man 'asa. Bi-amri Allah, anā mukallafun li-i'ādatik ilā jasadihi."
(نعم، إن عذاب القبر حق. رأيتِ بعينيك. فهو مخيف جداً لمن عصى. بأمر الله، أنا مكلّفٌ لإعادتكِ إلى جسدك)
Terjemahan: "Ya, sungguh siksaan kubur itu nyata. Engkau telah melihatnya dengan mata kepalamu. Maka, sungguh mengerikan siksaan kubur untuk orang yang berdosa. Maka dengan perintah Allah, aku ditugaskan untuk mengembalikan kamu ke jasadmu."
Malaikat itu mengkonfirmasi. Siksa kubur itu nyata. Dan kini, karena tobat Sinta yang tulus di tengah ujian yang ekstrem, ia diizinkan kembali.
❤️ Wujud Kekasih Hati
Kemudian, keajaiban yang paling mengharukan terjadi.
Cahaya itu pun berubah menjadi seseorang pria yang ia cintai.
Wujud Malaikat itu tidak lagi agung dan bersayap, melainkan sosok manusia yang sangat ia rindukan, seseorang yang selalu menjadi lambang cinta, kasih sayang, dan harapan bagi Sinta—mungkin kenangan masa lalu yang indah, atau perwujudan ideal dari kedamaian yang ia cari.
Melihat wajah yang penuh kasih sayang itu, di tengah liang lahat yang mencekam, Sinta menangis terharu. Tangisan ini adalah pelepasan semua trauma dan penerimaan rahmat.
"Engkau telah melalui kegelapan. Sekarang, marilah kita kembali ke cahaya," kata sosok itu dengan lembut.
🏃♀️ Pintu Menuju Kehidupan
Pada saat sosok itu berbicara, Sinta bisa bergerak!
Tubuhnya yang tadinya kaku dan terbungkus kain kafan kini mendapatkan kembali kekuatannya. Kain kafan itu seolah terlepas begitu saja dari tubuhnya.
Dan dia tiba-tiba bisa bangun. Sinta berdiri di dasar kuburan yang tadinya sempit.
Kuburan itu pun lega dan lebar! Dinding-dinding tanah yang tadinya menghimpit dan mengancam kini mundur. Ruang sempit itu berubah menjadi koridor yang luas dan tinggi, diterangi oleh cahaya keemasan Malaikat.
Sinta melihat sekeliling. Anehnya, Slamet, siksaannya, godam, ular, dan api—semua lenyap. Anehnya, Slamet di situ tidak ada. Hanya ada Sinta dan sosok pria yang ia cintai.
Sosok itu menoleh ke depan, ke dinding tanah yang luas.
Di sana, sebuah pintu kayu tua, diterangi oleh cahaya hangat, muncul. Itu adalah pintu menuju dunia nyata.
Sinta bergegas mengikuti orang itu ke arah pintu. Ia tidak ragu. Ia telah melihat neraka, dan kini ia mengejar pintu menuju kehidupan dan tobat.
Sinta berlari dan menuju ke pintu itu. Ia meninggalkan kegelapan dan kengerian liang lahat di belakangnya. Ia membawa serta trauma spiritual yang tak terhapuskan, tetapi juga iman yang lahir dari kengerian itu.😵 Kembali ke Realitas Fisik
Sinta berlari menuju pintu cahaya, mengikuti sosok yang ia cintai. Langkahnya terasa ringan, jiwanya dipenuhi tobat dan haru.
Tiba-tiba, cahaya itu menghilang. Pintu itu ambruk. Sosok yang dicintainya lenyap, seperti kabut yang tertiup angin.
Sinta tersentak.
Sinta tiba-tiba terbangun. Ia merasakan dingin yang menusuk, kaku, dan sempit. Ruangan luas dan pintu bercahaya itu lenyap total.
Ia berada di tempat yang sangat familiar dan mematikan: di liang lahat yang asli, sempit, dan gelap. Ia meraba tubuhnya. Ia memakai pakaian baju yang awal ia tiduran. Kain kafan yang melilitnya tadi sudah tidak ada, tetapi ia mengenakan pakaian yang sama saat Alim menguburkannya.
Sinta panik. Ia menyalakan senter kecilnya.
Di sampingnya, masih ada jenazah Pak Slamet. Mayat itu, yang tadinya disiksa, dihancurkan, dan dipulihkan berulang kali, kini masih utuh seperti semula, terbungkus kafan, diam, damai, dan dingin.
Kengerian spiritual Sinta kembali digantikan oleh teror fisik yang mendesak. Sinta bergerak, mencoba menarik napas dalam-dalam melalui pipa paralon.
Sinta kaget dan dia panggil-panggil, "Alim! Alim!" dari pipa.
🏃 Penyelamatan Pagi Hari
Alim, yang berada di atas, tidak tidur sedikit pun. Ia berjaga di samping gundukan tanah, wajahnya pucat karena ketakutan yang tak tertahankan. Sejak Sinta masuk, ia mendengar suara gemuruh aneh, suara seperti batu besar dihimpitkan, dan jeritan teredam yang tidak dapat ia jelaskan dengan logika.
Ketika Alim mendengar panggilan lemah "Alim!" dari pipa paralon, ia tersentak dari lamunannya.
Alim mendengar dan dia buru-buru menggali kuburan itu.
Dengan sekop, Alim menggali dengan kecepatan yang brutal. Ia menggali tanpa peduli lelah, hanya didorong oleh keinginan putus asa untuk mengeluarkan kakaknya. Tanah itu terlempar ke samping, mengungkapkan papan penutup yang sudah ditimbun.
Alim menarik papan-papan itu. Sinta terbaring di dasar kuburan.
Dan Alim menemukan Sinta.
Sinta melihat wajah Alim, wajah yang dipenuhi air mata dan keringat.
Alim langsung menyambut tangannya yang gemetar. Sinta tidak perlu disuruh. Dengan sisa tenaga, dia langsung naik ke atas tanah.
Sinta tersengal-sengal, menghirup udara pagi yang dingin. Ia memeluk Alim, menangis histeris. Ia tidak lagi menangisi Slamet, tetapi menangisi kengerian yang ia saksikan dan keimanan yang ia temukan.
Alim tidak bertanya apa pun. Ia tahu, mereka tidak punya waktu.
Dan dia langsung menutup lagi dengan papan dan menimbun tanahnya seperti semula.
Mereka bekerja cepat, menutupi jejak malam gila itu. Slamet dikembalikan ke tempat peristirahatannya, kini tanpa saksi hidup atas siksaannya.
⏰ Misteri Waktu dan Kematian
Setelah selesai, Sinta dan Alim duduk, kelelahan total, di gundukan tanah lain.
Alim melihat jam tangannya, terkejut. "Mbak Sinta... ini baru pukul empat pagi. Kita mulai pukul sembilan malam. Padahal baru 7 jam sejak aku menutupmu."
Sinta menatap langit pagi yang gelap, terkejut.
"Tujuh jam? Tidak, Alim... itu sudah berhari-hari! Aku sudah melihat semua siksaan itu berulang kali! Rasanya aku sudah menghabiskan minggu-minggu di sana!"
Disparitas waktu ini adalah kunci dari misteri yang mereka alami.
💡 Rencana Tuhan: Siksa Kubur Itu Nyata
Namun, narasi di sini harus diungkapkan, mengungkapkan kebenaran ghaib yang Sinta alami.
Sebenarnya, Sinta itu sudah meninggal setelah dikubur.
Tiga jam setelah Alim menimbunnya, karena sempitnya ruang dan pipa paralon yang tidak maksimal, Sinta sudah meninggal kehabisan oksigen. Ia mengalami kematian fisik.
Di situ, Allah punya rencana. Sinta, dengan kesombongan intelektualnya, telah menantang agama Allah dengan mencoba membuktikan bahwa siksa kubur adalah dongeng.
Dan dengan kehendak Allah, dia diberi sebuah bukti bahwa siksa kubur itu nyata.
Sintalah yang dipanggil, jiwanya yang dibawa ke alam barzakh, dipaksa menjadi saksi mata pembalasan yang mengerikan dan mutlak terhadap Slamet, yang kebetulan adalah korban dan pelaku dari trauma masa lalu mereka.
Dan kehendak Allah juga, karena belum waktunya dia meninggal, dia dijadikan mati suri dan hidup kembali.
Jiwa Sinta dikembalikan ke tubuhnya, dihidupkan lagi oleh rahmat Ilahi setelah ia mengucapkan tobat yang tulus.
Sinta kini hidup kembali. Ia membawa trauma psikologis yang menghancurkan dan keyakinan spiritual yang total. Ia tidak hanya kembali dari liang lahat Slamet, tetapi ia kembali dari alam ghaib itu sendiri.
Sinta tidak lagi skeptis. Ia adalah saksi hidup dari neraka, seorang yang diselamatkan dari kematian karena tobat yang dipaksakan oleh kengerian.