NovelToon NovelToon
Takdir Rahim Pengganti

Takdir Rahim Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Ibu Pengganti / Percintaan Konglomerat / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Larass Ciki

Julia (20) adalah definisi dari pengorbanan. Di usianya yang masih belia, ia memikul beban sebagai mahasiswi sekaligus merawat adik laki-lakinya yang baru berusia tujuh tahun, yang tengah berjuang melawan kanker paru-paru. Waktu terus berdetak, dan harapan sang adik untuk sembuh bergantung pada sebuah operasi mahal—biaya yang tak mampu ia bayar.

Terdesak keadaan dan hanya memiliki satu pilihan, Julia mengambil keputusan paling drastis dalam hidupnya: menjadi ibu pengganti bagi Ryan (24).

Ryan, si miliarder muda yang tampan, terkenal akan sikapnya yang dingin dan tak tersentuh. Hatinya mungkin beku, tetapi ia terpaksa mencari jalan pintas untuk memiliki keturunan. Ini semua demi memenuhi permintaan terakhir kakek-neneknya yang amat mendesak, yang ingin melihat cicit sebelum ajal menjemput.

Di bawah tekanan keluarga, Ryan hanya melihat Julia sebagai sebuah transaksi bisnis. Namun, takdir punya rencana lain. Perjalanan Julia sebagai ibu pengganti perlahan mulai meluluhkan dinding es di

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Larass Ciki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Aku pikir aku sudah siap untuk semua ini, tapi kenyataannya jauh lebih sulit daripada yang pernah kubayangkan. Dari awal, langkahku dipenuhi dengan keraguan, tapi sekarang aku benar-benar ada di sini, di titik tanpa jalan kembali. Mataku ditutup dengan kain satin hitam, tangan diikat dengan tali yang cukup kencang hingga aku merasa lumpuh. Di luar, suara hujan deras bercampur dengan gemuruh guntur yang menggelegar, membuat suasana malam itu terasa semakin mencekam.

Aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Semakin dekat. Suara napas laki-laki itu terdengar dalam keheningan. Jantungku berdetak begitu kencang, seolah-olah ingin meloncat keluar dari dadaku. Aku tahu bahwa ini adalah saat di mana aku harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku.

“Tenang saja,” suaranya rendah, lembut, tetapi bagiku terasa seperti desis ular. Aku merasakan keberadaannya kian mendekat. Tatapannya seperti menembus langsung ke dalam diriku, membuat tubuhku gemetaran tak terkendali.

“Jangan takut,” katanya lagi, kali ini lebih pelan, seolah ingin meyakinkanku. Tapi bagaimana bisa aku merasa tenang? Tubuhku bergetar, napasku memburu. Aroma parfum mahal yang dia pakai memenuhi hidungku, menambah intensitas ketegangan di ruangan ini.

Ketika tangannya menyentuh bahuku, aku merasa seperti kehilangan seluruh kendali atas tubuhku. Aku memejamkan mata, mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, tetapi sia-sia. Ketakutanku menguasai seluruh pikiranku. “Boleh aku…” aku mencoba berbicara, tapi suaraku bergetar, hampir tak terdengar.

"Bisakah... bisakah Anda melepas penutup mata ini, Tuan?" tanyaku saat mendengar suaranya lagi.

"Tidak. Kau seharusnya tidak melihatku," katanya dan membuka kedua kakiku sambil menempatkan dirinya di antara kedua kakiku. Dia membuatku melingkarkan kedua kakiku di tubuhnya, dengan itu aku merasakan sakit yang perih di antara kedua kakiku. Akhirnya hal itu terjadi. Aku menggigit bibir bawahku dengan keras karena aku tidak ingin mengeluarkan suara apa pun. Dia menunggu beberapa detik dan air mata mengalir dari mataku saat dia mulai bergerak, sakit sekali...

“Boleh aku menyentuhmu Tuan,Ini Sangat Sakit?” tanyaku akhirnya, suara penuh gemetar dan ketidakpastian. Aku hanya ingin memastikan semuanya selesai dengan cepat.

Dia tak menjawab, hanya menatapku, lalu mulai melepaskan ikatan di tanganku. Aku merasakan kelembutan pada gerakannya, tapi itu sama sekali tak membuatku merasa nyaman. Begitu tanganku bebas, aku tanpa sadar langsung memeluknya erat-erat, seperti mencari pegangan di tengah badai. Kepalaku menempel di bahunya, dan aku berdoa dalam hati agar semuanya cepat berlalu.

Malam yang Panjang

Setelah malam itu berlalu, aku bangun dengan perasaan yang tak bisa kugambarkan. Tempat tidur itu berantakan, menyisakan bekas-bekas dari apa yang baru saja terjadi. Keperawananku telah hilang, dan aku merasa seperti orang asing dalam tubuhku sendiri. Rasanya sakit, baik secara fisik maupun emosional. Ada rasa ngilu di antara kedua kakiku yang tak tertahankan, seolah mengingatkanku pada keputusan berat yang telah kuambil.

Tapi aku tahu, aku melakukannya untuk Noah. Demi adikku, aku rela mengorbankan segalanya. Dengan langkah terseok-seok, aku berjalan ke kamar mandi. Aku butuh waktu untuk menenangkan pikiranku, meskipun aku tahu itu akan sulit.

“Aduh…” aku mengerang saat tak sengaja terjatuh di lantai kamar mandi. Air mataku tak bisa lagi kutahan. Rasa sakit di tubuhku seolah menggandakan kesedihanku. Betapa buasnya dia tadi malam. Berapa kali dia melakukannya? Aku bahkan tak bisa mengingat dengan jelas. Untung saja aku sempat kehilangan kesadaran di tengah semua itu.

“Kenapa kamu?” suara perempuan tiba-tiba terdengar, mengejutkanku. Aku mendongak dan melihat seorang pelayan berdiri di ambang pintu kamar mandi. Tatapannya menelisik, menilai diriku dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Aku… aku jatuh,” jawabku lirih, mencoba berdiri tapi kakiku terasa lemas.

“Pertama kali memang seperti itu,” katanya tanpa emosi, lalu menambahkan, “Tuan Muda memang bukan tipe yang sabar.” Ucapannya membuatku merasa semakin kecil.

Dia membantuku berdiri dan mengantarku kembali ke kamar. Aku merasa seperti boneka rusak, tanpa daya, tanpa arah. Begitu dia pergi, aku berdiri di depan cermin. Aku melihat diriku sendiri, wajah yang pucat, rambut yang berantakan, dan tubuh yang penuh bekas merah. Aku mencoba tersenyum, tapi itu terlihat sangat dipaksakan.

“Kamu melakukan ini untuk Noah,” bisikku pada diriku sendiri, mencoba meyakinkan hatiku. Dengan susah payah, aku membersihkan diri, mengganti pakaian, dan keluar dari kamar.

Dua minggu berlalu sejak malam itu. Aku belum bertemu Noah, dan rasa rinduku padanya semakin dalam. Setiap hari aku hanya bisa berharap bahwa semua ini akan segera selesai. Aku mengenakan gaun hitam pendek dan keluar kamar untuk meminta izin bertemu Noah.

Namun, sebelum aku bisa melangkah jauh, seorang perempuan sudah berdiri di depan pintu kamarku.

“Boleh aku bertemu adikku?” tanyaku, mencoba terdengar tenang.

Dia mengangguk. “Aku ikut. Dan ini ada titipan dari Nyonya Tua untukmu.” Dia memberikan sebuah amplop cokelat.

Aku membuka amplop itu dan menemukan uang di dalamnya. Jumlahnya sesuai dengan janji mereka. Rasanya lega sekali karena akhirnya aku bisa membayar operasi Noah.

Kami segera pergi ke rumah sakit. Sesampainya di sana, aku langsung menuju bangsal Noah. Dia sedang tidur, wajahnya terlihat begitu tenang. Aku ingin menangis melihatnya. Setelah berbicara sebentar dengan dokter, aku menyerahkan uang pembayaran.

Namun, harapanku langsung hancur ketika dokter itu mengatakan sesuatu yang tak kuduga.

“Operasi tidak bisa dilakukan sebelum pembayaran penuh,” katanya dengan nada tegas.

“Apa? Bukankah saya sudah menyerahkan sebagian uangnya?” tanyaku panik.

“Itu aturan dari manajemen. Maaf,” jawabnya singkat sebelum pergi.

Aku terdiam di tempat, merasa seperti dihantam oleh batu besar. Aku memohon kepada perempuan yang menemaniku untuk memberikan sisa uangnya lebih dulu, tapi dia menolak.

“Nenek tidak mengizinkan sebelum kamu melahirkan,” katanya dingin.

Aku merasa seperti ditikam dari belakang. Semua pengorbananku terasa sia-sia. Aku berlutut di depan bangsal Noah, menangis tanpa suara. Aku hanya meninggalkan catatan kecil untuknya sebelum pergi.

Aku memutuskan untuk menunggu Tuan Muda. Aku yakin dia akan mengerti situasiku. Tapi dia tidak pernah datang. Malam demi malam berlalu, dan dia tetap tak menunjukkan batang hidungnya.

Kenapa dia tidak peduli? Aku bertanya-tanya dalam hati. Bukankah dia membutuhkan aku untuk hamil? Aku tahu, jika memang itu tujuan utamanya, dia tidak akan membiarkanku pergi begitu saja.

Waktu terus berlalu. Sekarang sudah tiga bulan sejak malam itu. Aku tahu aku hamil. Ada kehidupan kecil yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku merasakan kehangatan yang aneh setiap kali menyentuh perutku.

“Kita akan menunggu ayahmu, oke?” kataku sambil tersenyum tipis. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Namun, saat Bibi Jade masuk ke kamarku sambil membawa piring buah besar, rasa mual langsung menyerangku. Pepaya yang ada di atas piring itu membuatku lari ke kamar mandi dan muntah. Aku tak mengerti kenapa tubuhku bereaksi seperti itu. Sebelumnya aku suka makan pepaya, tapi sekarang aku tak tahan dengan baunya.

Ketika aku kembali ke kamar, Bibi Jade masih ada di sana, menatapku dengan tatapan aneh. Aku mencoba mengambil anggur dari piring dan memakannya perlahan. Rasanya jauh lebih nyaman.

“Apa ini tandanya kamu akan jadi ibu yang hebat?” tanyanya tiba-tiba. Aku hanya tersenyum kecil tanpa menjawab.

Aku tahu, perjalanan ini belum selesai. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri untuk bertahan, demi bayi di dalam perutku, dan tentu saja, demi Noah.

1
Blu Lovfres
mf y thor jangan bikin pembaca bingung
julian demi adiknya, kadang athor bilang demi kakaknya🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️
y illahi
Blu Lovfres
sedikit bingung bacanya
dialog sma provnya
dn cerita, susah di mengerti jdi bingung bacanya
Blu Lovfres
kejam sangat kleuarga nenek iblis
ga mau kasih duit, boro" bantuan
duit bayaran aja, aja g mau ngasih
,mati aja kalian keluarga nenek bejad
dn semoga anaknya yg baru lair ,hilang dn di temukan ibunya sendiri
sungguh sangat sakit dn jengkel.dn kepergian noa hanya karna uang, tk bisa di tangani😭😭😭
Aono Morimiya
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Muhammad Fatih
Terharu sedih bercampur aduk.
Luke fon Fabre
Beberapa hari sudah bersabar, tolong update sekarang ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!