NovelToon NovelToon
Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Bukan Darahku, Tapi Jantungku: Anakku, Anak Mantan Suamiku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Keluarga / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bisikan Ketakutan di Balik Senyuman Pura-Pura

Pagi itu datang tanpa ampun, menyelimuti apartemen mewah Raya dengan cahaya yang terasa begitu asing, begitu menusuk. Setiap sudut, setiap pigura foto yang menampilkan wajah bahagia mereka bertiga—Raya, Arlan, dan Langit—seolah mengejeknya, mengolok-olok kebohongan yang kini bersemayam di inti jiwanya. Langit bukan darah dagingnya. Kalimat itu, yang tertera jelas dalam laporan DNA di tangannya semalam, kini tercetak permanen di rongga dadanya, mengikis setiap helaan napas dengan perih tak terkira. Ia harus berpura-pura. Demi Arlan. Demi Langit. Demi sisa-sisa kewarasannya.

“Sayang, kau sudah bangun?” Suara Arlan yang lembut, merdu seperti melodi pagi, merambat dari arah dapur. Aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang mulai menguarkan harum menyerbu indra Raya, mencoba menariknya kembali ke realitas yang sempurna—realitas yang kini hancur berkeping-keping.

Raya memejamkan mata sesaat, menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan setiap serpihan kekuatannya. Ia akan memakai topeng. Topeng yang paling sempurna. “Sudah, Mas. Sebentar lagi aku menyusul,” balasnya, suaranya berhasil ia buat terdengar normal, tanpa goresan ketakutan yang menguasai dirinya. Ia menuruni ranjang, melangkah perlahan menuju kamar mandi, tatapannya kosong menembus cermin. Matanya sembap, kantung mata menghitam, seperti saksi bisu dari pertarungan batin yang ia jalani sepanjang malam. Tapi bibirnya, ia paksa untuk tersenyum, senyuman hampa yang membohongi dunia, terutama dirinya sendiri.

Di meja makan, Langit sudah duduk manis, dengan semangkuk sereal dan susu cokelat di depannya. Wajah mungilnya masih sedikit pucat karena kondisinya, namun matanya memancarkan keceriaan khas anak-anak. “Mama! Lihat, robot Langit bisa terbang!” serunya riang, mengangkat mainan robot mungil di tangannya. Senyumnya begitu tulus, begitu murni, sampai-sampai menohok hati Raya dengan rasa bersalah yang menusuk.

“Wah, jagoan Mama hebat sekali!” Raya menghampiri, mengecup kening Langit lembut, merasakan kehangatan kulit putranya di bibirnya. Kehangatan itu adalah jangkar, satu-satunya hal yang menahannya agar tidak tenggelam dalam jurang keputusasaan. Darah atau bukan, Langit adalah putranya. Itu yang paling penting. “Tapi robotnya tidak boleh ketinggian ya, nanti jatuh.”

“Mama, minum kopi dulu.” Arlan meletakkan secangkir kopi hitam favorit Raya di depannya, lengkap dengan dua sendok gula dan sedikit susu, persis seperti yang ia suka. Sentuhan kecil itu, rutinitas manis yang mereka bangun bertahun-tahun, kini terasa seperti tipuan yang kejam. Arlan tidak tahu. Tidak boleh tahu. Paling tidak, belum.

“Terima kasih, Mas.” Raya menyesap kopinya, berusaha agar tangannya tidak bergetar. “Mas, nanti setelah mengantar Langit ke sekolah, bisakah kau mampir ke apotek? Persediaan vitamin C Langit sudah menipis.” Ini adalah alibi yang sempurna, alasan yang masuk akal untuk membuatnya sibuk sendiri nanti.

Arlan mengangguk. “Tentu, Sayang. Ada lagi yang lain?”

“Tidak, itu saja. Aku hanya ingin memastikan Langit tidak kekurangan vitaminnya.” Raya menatap Langit yang asyik dengan serealnya, wajahnya sendu. Anaknya butuh transplantasi sumsum tulang. Dan kini, ia tidak bisa menjadi donornya. Siapa yang bisa? Siapa orang tua biologisnya? Pertanyaan itu menjeratnya, mencekiknya.

Setelah Arlan dan Langit berangkat, apartemen kembali hening. Hening yang memekakkan telinga. Raya tidak membuang waktu. Dengan tangan gemetar, ia membuka laci di meja kerjanya, mengeluarkan kembali amplop cokelat itu. Laporan DNA. Nama Langit tertera jelas. Namanya tertera jelas. Dan di bawahnya, di bagian penentu, tertulis: “Tidak ada hubungan biologis langsung antara subjek 1 (Raya Ayunda) dan subjek 2 (Langit Pranaja).”

Ia membaca setiap kata, setiap angka, setiap detail teknis yang ia tidak pahami sepenuhnya. Namun kesimpulan akhirnya tidak bisa disangkal. Ia membandingkannya dengan laporan DNA yang ia miliki saat Langit lahir, yang memastikan ia adalah ibu biologisnya. Bagaimana bisa? Apakah ada kesalahan di masa lalu? Atau di masa sekarang? Klinik IVF. Itu satu-satunya benang merah. Ia dan Arlan menjalani proses IVF untuk mendapatkan Langit. Prosedurnya sangat ketat, berlapis-lapis pemeriksaan dan persetujuan. Bagaimana mungkin bisa terjadi kesalahan fatal seperti ini?

Otaknya berputar, menciptakan skenario-skenario mengerikan. Langit, bukan anaknya. Lalu anak siapa? Apakah ini kesalahan laboratorium? Tukar embrio? Atau… ataukah sesuatu yang lebih gelap? Bisikan ‘penyalahgunaan teknologi reproduksi’ yang pernah ia baca di sebuah forum kesehatan terlintas samar. Mungkinkah itu yang terjadi? Jantungnya mencelos. Rasa mual membanjirinya. Ini bukan sekadar kesalahan medis biasa. Ini adalah pencurian identitas, pencurian kehidupan, pencurian putranya.

Ia memutuskan untuk mulai mencari tahu secara diam-diam. Langkah pertamanya adalah mencari semua dokumen terkait proses IVF yang ia jalani di Klinik Harapan Bunda. Kontrak, hasil tes sebelum dan sesudah, jadwal penyuntikan, semuanya. Berkas-berkas itu tersimpan rapi di dalam sebuah kotak di gudang kecil. Raya menyeret kotak itu keluar, debu yang menempel terasa seperti beban berat yang semakin menekannya.

Satu per satu, lembaran-lembaran kertas itu ia teliti. Tanggal, nama dokter, nama perawat. Semua terasa begitu normal, begitu rutin. Tidak ada yang janggal. Namun, matanya terpaku pada satu bagian di lembar persetujuan akhir. Sebuah klausul kecil, hampir tak terlihat, tentang “kemungkinan kesalahan teknis yang sangat jarang terjadi dan prosedur penanganan selanjutnya.” Apa artinya? Apakah itu celah yang disiapkan pihak klinik untuk kasus seperti ini? Keringat dingin membasahi pelipisnya.

Raya lalu mengambil ponselnya. Ia membuka peramban, mengetikkan kata kunci “kasus IVF salah embrio” dan “tes DNA anak bukan biologis.” Hasilnya membanjiri layar. Beberapa kasus serupa di luar negeri, bahkan ada satu atau dua di Indonesia, meskipun tidak terekspos luas. Rasa ngeri merayap di punggungnya. Ia tidak sendirian. Tapi, setiap kasus memiliki cerita yang berbeda, dengan akhir yang seringkali menyakitkan.

Ia tahu ia tidak bisa langsung menuntut atau bertanya kepada klinik secara terbuka. Itu akan membunyikan alarm bagi Arlan, dan lebih buruk lagi, mungkin akan membuat mereka panik dan menghancurkan bukti. Ia harus mencari informasi tanpa menimbulkan kecurigaan. Bagaimana? Raya berpikir keras. Ia harus punya alasan untuk menghubungi klinik, alasan yang tidak berhubungan dengan Langit.

Sebuah ide terlintas. Ia bisa berpura-pura ingin menjalani program IVF lagi. Sebagai pasangan yang pernah berhasil, tentu saja ia memiliki alasan kuat untuk bertanya-tanya, untuk mencari tahu detail prosedur terbaru, atau bahkan untuk sekadar “konsultasi lanjutan” dengan dokter lamanya. Ya, itu bisa jadi penyamaran sempurna.

Dengan jantung berdebar kencang, ia mencari kontak Klinik Harapan Bunda. Nomor telepon tertera jelas. Raya menarik napas dalam-dalam. Tangannya gemetar saat ia menekan tombol panggil. Telepon itu berdering, satu kali, dua kali, tiga kali. Setiap dering terasa seperti palu godam yang memukul gendang telinganya. Ada suara resepsionis yang ramah menyahut. “Selamat pagi, Klinik Harapan Bunda, ada yang bisa kami bantu?”

“Selamat pagi,” suara Raya tercekat, ia harus mengulang kalimat itu. “Maaf, saya ingin menjadwalkan konsultasi dengan dr. Amelia. Saya… Raya Ayunda, mantan pasien dr. Amelia beberapa tahun lalu.” Ia mencoba terduran sesantai mungkin, tetapi di dalam hatinya, badai telah mengamuk. Dia baru saja melangkah lebih jauh ke dalam jurang kebenaran yang mengerikan, sebuah jalan yang mungkin akan menghancurkan segalanya. Dan ia tidak bisa mundur. Demi Langit.

“Baik, Ibu Raya. Untuk tujuan konsultasi apa ya, Bu? Apakah untuk program lanjutan atau konsultasi kesehatan umum?” Suara resepsionis itu terdengar sabar, namun setiap pertanyaannya terasa seperti jebakan bagi Raya.

“Saya… saya ingin membicarakan tentang kemungkinan program lanjutan. Saya ingin tahu lebih banyak tentang teknologi terbaru,” Raya berbohong, merasakan keringat dingin mengucur di punggungnya. Ia hanya berharap kebohongan ini akan menuntunnya pada kebenaran, seburuk apa pun itu. Panggilan ini adalah gerbang pertamanya. Gerbang yang mungkin akan membuka pintu-pintu rahasia yang tak terbayangkan.

“Baik, Ibu Raya. Kami akan periksa jadwal dr. Amelia. Mohon tunggu sebentar.” Suara resepsionis itu menjeda, meninggalkan Raya dalam ketegangan yang menyesakkan. Setiap detiknya terasa seperti berjam-jam, setiap suara napasnya terasa begitu keras di telinganya. Apakah ini langkah yang tepat? Apa yang akan ia temukan? Sebuah nama, sebuah bukti, atau justru keheningan yang lebih mematikan?

“Halo, Ibu Raya? Dr. Amelia tersedia besok pagi pukul 10. Apakah itu cocok untuk Ibu?”

Raya menghela napas, lega sekaligus takut. “Ya, cocok. Terima kasih.” Ia menutup telepon, menatap layar ponselnya yang kini gelap. Besok. Besok ia akan menghadapi awal dari segalanya. Awal dari pencarian yang mungkin akan menghancurkan dunia kecilnya. Dengan Arlan, dengan Langit. Tapi ia harus tahu. Ia harus mencari tahu demi putranya, demi Langit yang membutuhkan lebih dari sekadar cinta seorang ibu. Ia membutuhkan jawaban.

Dan Raya tahu, di balik dinding-dinding steril Klinik Harapan Bunda, tersembunyi rahasia yang siap meledakkan hidupnya. Ia hanya perlu menemukan kuncinya.

1
Yaya Mardiana
bingung dengan cerita nya selalu berulang ulang
Bang joe: part mananya mulai kak ?
total 2 replies
Nana Colen
timititi maca nepi ka episode ieu satu kata lier
Nana Colen: asa begitu banyak kata kata atau kalimat yg di ulang ulang dan muter muter jd bukannya semangat bacanya malah jadi puyeng 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!