NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Gadis Desa

Jerat Cinta Gadis Desa

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa pedesaan
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ika Dw

Sari, seorang gadis desa yang hidupnya tak pernah lepas dari penderitaan. Semenjak ibunya meninggal dia diasuh oleh kakeknya dengan kondisi yang serba pas-pasan dan tak luput dari penghinaan. Tanpa kesengajaan dia bertemu dengan seorang pria dalam kondisinya terluka parah. Tak berpikir panjang, dia pun membawa pulang dan merawatnya hingga sembuh.

Akankah Sari bahagia setelah melewati hari-harinya bersama pria itu? Atau sebaliknya, dia dibuat kecewa setelah tumbuh rasa cinta?

Yuk simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon. Dengan penulis:Ika Dw
Karya original eksklusif.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10. Kubuat Hidupmu Menderita

Sari menikmati hasil masakannya bersama kakek dan juga Jaka. Biasanya mereka menikmati sarapan berdua, tapi kali ini sudah bertambah satu lagi anggota keluarganya. Sang kakek sangat antusias menikmati makanannya, dia selalu puas dengan masakan buatan cucu perempuannya.

Hampir enam tahun ia sudah tidak pernah lagi merasakan masakan yang diolah oleh tangan mendiang istrinya. Istrinya meninggal akibat syok berat saat mengetahui anak perempuannya meninggal secara tidak wajar, dia terkena serangan jantung dan seketika itu menghembuskan nafas terakhirnya.

"Ayo kek, nambah lagi, bukannya hari ini kakek mau nyangkul buat tanam singkong?"

Rahmat mengangguk sembari mengunyah makanannya. "Iya benar. Rencananya kakek mau tanam singkong. Sayang sekali di bagian ujung kebun nggak ditanami. Kalau ditanami singkong kan lumayan, buat pasok makanan."

"Pasok makanan? Kalian makan singkong?" tanya Jaka menoleh pada Rahmat dan beralih pada Sari.

Di situ Rahmat menjawab dengan santainya. "Ya namanya juga orang kampung, tumbuhan apapun yang kita tanam selagi tidak beracun masih bisa dimanfaatkan. Beda sama orang kota, makanannya enak-enak, paling juga nggak doyan makan singkong."

"Ya enggak juga kek, mau desa ataupun kota kurasa sama saja, nggak ada yang membedakannya. Semua itu tergantung pemikiran masing-masing. Kalau menurutku sih wajar-wajar aja makan singkong, tapi kan nggak harus dijadikan pasokan makanan? Kan masih bisa ditukar dengan beras, atau yang lainnya. Masa iya makan singkong mulu? Kan bosan kek!"

Rahmat terkekeh menanggapinya. Ia sangat yakin pria di depannya itu akan pernah mengerti seperti apa kehidupan di desa. Dilihat dari segi penampilannya saja cukup berkelas, bisa jadi pria itu berasal dari kalangan berada.

"Kayaknya kamu nggak pernah makan singkong cah bagus! Singkong itu hampir sama dengan nasi, bahkan bisa dijadikan nasi. Ya memang kami setiap panen menyimpan tepung singkong sebagai cadangan pangan, tapi selebihnya juga dijual untuk dibelikan kebutuhan pokok. Nanti kalau kamu lama tinggal di sini kamu bakalan tahu seperti apa kehidupan orang-orang di sini."

"Kakek, jangan menghalanginya buat pulang! Dia kan juga punya keluarga. Setelah sembuh dan mengingat kembali biarkan dia pulang. Aku yakin sekali keluarganya saat ini tengah kebingungan mencarinya, hanya saja kita nggak bisa kasih tahu keberadaannya di sini."

Sari tidak mengerti jalan pemikiran kakeknya. Dengan keberadaan Jaka di rumahnya saja tak membuatnya nyaman ditambah lagi dengan celetukan kakeknya yang seolah-olah ingin Jaka tetap tinggal bersamanya. Jika hal itu terjadi bagaimana tanggapan orang-orang kampung? Sudah pasti bakalan mencelanya.

"Sudah, nggak usah mikirin hal itu. Aku nyaman kok, tinggal di sini. Rencananya aku mungkin mau menetap di sini bareng sama kalian."

Rahmat dan Sari saling bertatapan. Mereka bingung, kenapa pria itu malah lebih nyaman tinggal bersamanya. Apa dia tidak memikirkan perasaan keluarga yang ditinggalkannya?

"Setelah selesai sarapan aku boleh kan, ikut kakek ke kebun?"

Rahmat melambaikan kedua tangannya menolak. "Eh..., jangan! Lukamu masih belum sembuh, nanti kalau kambuh gimana? Udah, di rumah saja. Istirahat di rumah saja, nggak usah kemana-mana!"

Jaka menggembungkan pipinya. "Tapi kakek! Aku bosen kalau di rumah terus. Aku ingin mencari udara segar, setidaknya izinkan aku ikut  bersama kakek. Ya siapa tau aja nanti kalau sudah sembuh aku bisa bantu bantu kakek nyangkul."

Rahmat melepas tawanya. Hahahaha.... "Serius kamu mau bantuin kakek nyangkul? Emangnya kamu bisa nyangkul?"

"Ya nggak bisa kek, tapi kan belajar."

Tinggal sehari saja sudah membuatnya betah dan tak canggung lagi mengobrol dengan mereka. Di situ ia merasa lebih tenang, bisa menemukan keluarga yang sesungguhnya.

"Anak ini lumayan bandel juga rupanya. Disuruh diam di rumah kok malah ngeyel mau ikut ke kebun. Mau jadi santapan nyamuk?"

"Ayolah kek, aku mohon. Nggak apa-apa kok kalaupun harus jadi santapan nyamuk? Asal nggak jadi santapan ular."

Di situ Sari hanya diam mendengar obrolan mereka sembari menikmati sarapannya. Sebagai perempuan ia harus bisa menjaga kesopanan. Bahkan dia jarang sekali mengobrol dengan pria itu kalau tak lagi ada hal penting.

"Yaudah, terserah kamu saja, yang penting kakek nggak maksa. Tapi sebelumnya obati dulu lukamu, jangan sampai terkena debu tanah dan berakibat infeksi."

"Baik kek, aku akan obati dulu lukanya. Terimakasih banyak kek, kakek baik banget sama aku."

Pandangan pria itu beralih pada sosok wanita yang duduk anteng dengan wajah menunduk sembari menikmati sarapannya. Tanpa sengaja dia mengulas senyuman tipis, karena tipisnya nyaris tak terlihat.

"Tapi ngomong-ngomong Sari jadi ikut ke kebun kan?"

Rahmat menoleh pada cucu perempuannya lalu beralih pada Jaka. Tatapan Jaka sangatlah berbeda. Dia seperti tengah mengagumi cucu perempuannya, dalam hati ia berharap pria itu tak membuatnya kecewa.

"Kan tadi aku sudah bilang mau ikut kakek ke kebun buat tanam singkong," jawab Sari.

Oh..., iya ya aku lupa, yaudah kalau gitu kita berangkatnya barengan."

***

Sari, Jaka dan Rahmat pergi ke kebun yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Di luar banyak sekali orang-orang yang mulai julid terhadap mereka. Bahkan ada sesosok laki-laki paruh baya yang tiba-tiba menghentikan  laju sepedanya tepat di sebelah mereka. Rahmat menoleh dan menyapanya.

"Ramli, kirain siapa?"

"Aku pak dhe! Kalian ini mau ke mana?" tanya pria itu dengan mengedarkan pandangannya sekilas pada Jaka.

"Ini mau ke kebun," jawab Rahmat.

"Oh..., kirain mau ke mana?"

Di situ Jaka diam, menolehnya sekilas tanpa berniat untuk bertegur sapa.

"Pak dhe Rahmat! Orang yang bersamamu itu siapa? Saudaramu atau cucumu dari luar kota? Kok sebelumnya aku nggak pernah lihat?"

"Oh..., dia? Dia ini tamu kami, namanya Jaka," jawab Rahmat. Rahmat pikir tak ada salahnya kalau ia mengenalkan Jaka pada warga sekitar, karena biar bagaimanapun juga mereka berhak mengetahui siapa sosok Jaka.

"Tamu? Kupikir dia itu saudara atau cucumu? Apa sudah mendapatkan izin dari pihak RT atau RW mengenai keberadaan tamumu itu? Biasanya kalau tamu itu paling lama tiga hari sudah harus pergi, memangnya dia sudah berapa hari tinggal di sini?"

"Baru kemarin datangnya, dua hari dari sekarang. Rencananya aku juga mau datang ke rumah RT buat minta izin."

Memang benar apa yang dikatakan oleh pria itu. Tamu wajib lapor, dan lebih dari tiga hari sudah harus pergi. Tapi bagaimana hendak mengusirnya, sedangkan ingatannya saja belum pulih, rasanya sangat tak tega jika ia harus mengusirnya.

"Heran deh! Punya cucu perempuan kok malah nampung laki-laki asing? Sengaja atau gimana? Apa jangan-jangan kamu berniat untuk menjual cucumu?"

Rahmat, Sari dan Jaka refleks mendelik. Begitu kasarnya ucapan pria itu yang cukup menohok perasaannya.

"Astaghfirullah haladzim,, jaga ucapanmu Ramli! Seburuk itukah pemikiranmu mengenai kami! Kamu sendiri punya anak perempuan, jangan suka mencela orang! Jaga saja anakmu dengan baik, jangan suka merendahkan orang lain!" Rahmat tentu tak terima dengan cacian yang dilontarkan oleh tetangganya. Setiap orang selalu berprasangka buruk terhadap keluarganya. Ia sendiri tak tahu di mana letak kesalahannya.

"Kalau soal itu kamu tenang saja pak dhe, jelas anakku kujaga dengan baik. Secara anakku kan berpendidikan, beda kelas sama cucumu. Kalau mau cucumu selamat dari buaya darat lebih baik cepat kawinkan saja! Jangan sampai seperti ibunya, jadi perempuan nggak bener, perempuan pembawa sial!"

Sari tak bisa mengontrol emosinya. Lagi-lagi ibunya yang dijadikan sasaran oleh mereka. Sebagai anak tentu saja ia tak bisa menerimanya. "Pak dhe Ramli! Jaga ucapanmu ya! Kalau menghina cukup aku saja! Jangan bawa-bawa ibuku! Ibuku tidak salah apa-apa! Biarkan ibuku tenang di alam sana!"

Pria itu langsung melepas tawanya. Hahahaha.... "Ibumu nggak bakalan tenang Sari! Dia sudah banyak dosa! Kau pikir orang mati langsung masuk surga? Semua itu tergantung dengan sifatnya selama hidup di dunia. Ibumu jelas-jelas wanita murahan! Jadi jangan terlalu berharap dia bakalan masuk surga!"

"Cukup! Ucapanmu menunjukkan bahwa dirimu tak punya adab! Kau itu seorang laki-laki! Bisa-bisanya bermulut ember. Memangnya kau pikir kau itu siapa bisa menghakimi orang lain? Kuperingatkan padamu bung! Selama aku ada di sini, jangan pernah mengganggu mereka! Atau aku buat hidupmu menderita!"

1
Ika Dw
Halo, author kembali lagi dengan cerita baru...yuk, mampir simak kisahnya 🙂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!