Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mayat Pelacur Di Malam Hari
Jam enam lewat tiga puluh pagi aku tiba dirumah, di kompleks apartemen Crystal Residence. Aku keluarkan kaca mikroskop dari saku, berisi setitik darah almarhum Bapa Gabriel yang membercak persis di tengah. Rapi dan bersih, siap di selipkan di bawah mikroskop setiap kali mau bernostalgia. Aku letakkan bersama tiga puluh enam potongan kaca lain dalam kotak kayu khusus.
Aku sengaja mandi lebih lama. Membiarkan pancuran air panas membilas sisa ketegangan, melemaskan otot, merontokkan bekas akhir aroma si pendeta dan bau kebun dari rumah kecil dekat rawa tadi malam.
Membunuh anak-anak. Huh! Harusnya aku bunuh dia dua kali.
Sejarah kelam apa pun yang membuat aku seperti sekarang, telah meninggalkan kekosongan luar biasa. Kosong di dalam.
Meskipun begitu aku suka anak-anak. Aku sadar tidak akan pernah memperoleh anak karena aku benci seks.
Membayangkannya saja sudah bergidik---kok bisa ya? Kehilangan martabat hanya untuk hal seremeh itu? Tapi anak-anak lain soal---mereka istimewa. Bapa Gabriel pantas mati.
Jam tujuh lima belas, aku merasa bersih lagi. Setelah minum kopi dan sarapan, aku bergegas ke kantor.
Aku bekerja di gedung besar bergaya modern, lengkap dengan pintu kaca, dekat bandara. Lab-ku di lantai dua, di pojok belakang. Aku mempunyai ruang kantor kecil persis di sebelahnya. Tidak mewah, tapi yang penting milikku. Sepenuhnya milikku. Tidak ada yang boleh masuk, tidak berbagi dengan siapa pun, jadi tidak ada yang lancang mengacak-acak sembarangan. Ada meja dengan kursi, dan satu kursi lagi untuk tamu---itupun kalau tamunya tidak terlalu gemuk.
Lalu komputer, rak, lemari dokumen.
Ponselku berbunyi saat aku masuk. Tumben. Tidak biasanya ada pesan. Entah kenapa, tidak ada kolega yang mau membuang waktu mengobrol denganku---seorang analis pola cipratan darah Departemen Kepolisian Shadowfall City.
Apa lagi pada jam kerja. Satu dari sedikit orang yang sudi begitu hanya Nadia Cross, adik angkatku. Dia seorang polisi, sebagaimana almarhum ayah kami, Victor.
Pesan itu memang dari Nadia.
~"Dante, tolong aku cepat, begitu kamu sampai di kantor. Aku di TKP di luar Willow Lane, tepatnya di Motel Moonlight Lodge, kamu bisa kemari secepatnya? Tolong Dante?"~
Telepon di tutup.
Aku tidak punya keluarga. Maksudku, sejauh yang aku tau. Aku yakin pasti ada saudara atau kerabatku di luar sana.
Aku tidak mencoba mencari dan mereka juga tidak pernah berusaha mencariku. Aku anak adopsi, di besarkan oleh keluarga Victor dan Evelyn Cross---orang tua kandung Nadia.
Keduanya sudah almarhum. Nadia, jadi satu-satunya orang di dunia yang peduli hidup-matiku. Dan untuk alasan tertentu yang sampai sekarang tidak kunjung aku pahami, dia lebih suka melihat aku hidup ketimbang mati. Aku pikir itu manis sekali.
Jadi, akupun pergi. Berkendara keluar dari parkiran Departemen Of Occult Investigation ke jalur cepat jalan raya dekat situ, mengarah ke sebelah Selatan Willow Lane, tempat Motel Moonlight Lodge dan ratusan motel sejenis berada. Kalau kamu seekor kecoa, tempat ini pasti berasa surga.
Deretan gedungnya berkilau, lampu neonnya dari zaman purba, bertembok kotor, jorok dan pasti bau. Hanya sedap di pandang saat malam, karena siang hari begitu kental menggambarkan kontrak kumuh pengumuman kita dengan hidup.
Setiap kota besar pasti punya bagian kumuh. Intinya : tidak ada yang peduli tamu macam apa yang datang selama tamu tersebut lancar memberi tips.
Nadia terlalu sering menghabiskan waktu di sini beberapa minggu terakhir. Itu dia sendiri yang bilang, bukan aku. Sejauh yang aku tau, tempat ini cocok aja dijadikan tempat tongkrongan polisi. Apalagi di tambah dengan niat meningkatkan peluang statistik menangkap basah perbuatan kriminal.
Nadia tidak sependapat. Mungkin karena dia mengalami sendiri, berhubung statusnya sebagai polisi susila. Petugas susila cantik di Willow Lane biasanya berakhir jadi umpan, berdiri nyaris telanjang di jalanan demi menangkap pria-pria hidung belang.
Nadia benci sekali. Tidak pernah bisa akur soal prostitusi, kecuali dari sudut pandang sosiologi. Tidak pernah setuju bahwa menangkap hidung belang terhitung tugas polisi sungguhan.
Di atas segalanya, dia benci apa pun yang mengekspos berlebihan tubuh seksi dan sisi kewanitaan. Jadi, selain padaku, di hadapan orang lain Nadia selalu berlagak tegas. Apalagi di kepolisian yang notabene delapan puluh persen pria, ini penting, kalau tidak mau di remehkan.
Setidaknya begitu dia pikir. Dari dulu Nadia selalu ingin jadi polisi dan bukan salahnya kalau dia lebih mirip model halaman tengah majalah porno.
Ironisnya, saat aku memarkir mobil di parkiran yang menghubungkan Motel Moonlight Lodge dan Mystic Brew Cafe, Nadine malah tampak begitu menekankan keseksian tubuh---meski aku yakin tidak di sengaja. Bagaimana Tidak? Dalam balutan tank top pendek merah muda, rok spandex ketat dan pendek, stoking jaring hitam dan sepatu hak tinggi.
Beberapa tahun lalu, seseorang di Bagian Susila Kepolisian Shadowfall City memperoleh kabar bahwa kalangan mucikari menertawakan mereka. Pilihan busana mereka membongkar begitu banyak preferensi seksual, tapi sama sekali tidak mirip dengan yang biasa di pakai pelacur asli. Akibatnya, orang bisa dengan mudah menebak gadis mana yang menyembunyikan lencana dan pistol di dompet.
Sejak itu para petugas susila mulai menekankan agar petugas wanita yang bersangkutan dibiarkan memilih pakaian sendiri saat bertugas.
Tapi Nadia tidak pernah suka pakai apa pun selain blus. Dan sekarang---sungguh aku tidak pernah melihat wanita cantik dalam kostum merangsang melebihi Nadia.
Meski tidak di niatkan, dia tetap tampak menonjol. Saat itu dia sedang menenangkan kerumunan penonton TKP. Lencananya di sematkan di tank top atas.
Nadia menyingkir ke salah satu pojok parkiran, menghalau kerumunan agar tidak mengganggu teknisi lab yang tengah memproses tong sampah milik kedai kopi. Aku bersyukur tidak di tugaskan di tim ini. Baunya mengambang sampai ke seluruh area parkir dan jendela mobilku.
Petugas di pintu masuk parkiran kebetulan kenalanku di kantor. Dia melambaikan tangan memberi ruang ke TKP.
"Nad," panggilku begitu masuk. "Baju kamu heboh sekali. Membuat kamu tampak seksi."
"Sialan kamu," sungut Nadia tersipu. Pemandangan langka.
"Polisi menemukan korban lagi... seorang pelacur. Setidaknya diduga sebagai pelacur. Sulit memastikan dari jasadnya." Katanya.
"Ini korban ketiga dalam lima bulan terakhir kalau gitu."
"Kelima," Nadia mengoreksi. "Dua lagi ada di Groove Street." Dia menggeleng sebaliknya. "Meskipun begitu, mereka tetap bilang itu tidak berkaitan."
"Mungkin karena malas dengan proses laporan dan dokumentasi," Aku tersenyum membela.
Nadia balas meringis. "Absurd! Ade-ade aje Loe Bang." Dia menggeram gemas. "Dari logika polisi aja sudah tidak masuk akal. Orang bodoh juga tau Kelima pembunuhan itu berkaitan." Dia terlihat sedikit gemetar.
Ku pandangi dia. Takjub. Nadia seorang polisi, putri seorang polisi juga. Tidak mudah geger oleh hal hal miris. Waktu masih jadi polisi baru dan petugas senior mengerjainya---dengan menunjukan mayat-mayat rusak yang sering muncul di pelosok Shadowfall City setiap hari---agar dia muntah-muntah, dia tidak berkedip. Nadia sudah melihat semuanya. Berpengalaman di lapangan akibat didikan Victor.
Tapi kasus kali ini sanggup membuatnya bergidik. Merinding.
Menarik.