Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERSADAR
Cahaya senja menembus kaca besar ruang perawatan VIP tempat Sari dirawat. Meski wajahnya tampak lebih segar daripada hari-hari setelah operasi, sorot matanya masih memancarkan kebingungan yang pelan-pelan mulai terurai. Ia sudah sadar sepenuhnya sejak dua hari lalu, dan dokter mengatakan bahwa pemulihan fisik berjalan baik—yang sulit hanyalah memori yang bercabang, samar, dan saling bertabrakan satu sama lain.
Lanang membetulkan bantal ibunya sambil tersenyum kecil.
“Ibu nyaman?”
Sari mengangguk pelan. “Lumayan… tapi kepala ini kadang seperti… ada pintu yang mau kebuka tapi ketahan dari dalam.”
Bahunya melemas, senyumnya pahit. “Tapi lihat kamu ada di sini saja, sudah cukup bikin Ibu tenang.”
Lanang duduk di sebelah ranjang. “Nggak usah dipaksa ingat, Bu. Yang penting Ibu pulih dulu.”
Sari menatap wajah anak itu lama. “Lanang… kamu makin mirip seseorang yang pernah Ibu lihat dalam mimpi.”
Lanang tersentak kecil, namun ia tersenyum menutupinya. “Ya masa mirip siapa, Bu? Paling mirip aku sendiri.”
Sari terkekeh kecil. “Bandel.”
Pintu diketuk. Pak Aldo masuk, wajahnya sedikit lelah namun penuh kepedulian.
“Assalamualaikum, Bu Sari.”
“Waalaikumsalam, Pak Aldo… terima kasih sudah bantu kami sejauh ini.”
Pak Aldo duduk sebentar. “Bagaimana hari ini? Lebih baik?”
“Lumayan,” jawab Sari lembut.
Pak Aldo lalu menatap Lanang. “Kampus di sini siap proses pindahanmu, tapi kita masih harus urus legalisasi dokumen ibu dan laporan medis untuk pengajuan izin tinggal jangka panjang. Kita harus cepat sebelum tenggat beasiswa yang kuuruskan.”
Lanang mengangguk. “Aku siap. Apapun yang perlu aku lakukan, Pak.”
“Tapi kau harus jaga dirimu juga.”
Nada suara Pak Aldo halus, seperti seorang ayah.
Sari menatap interaksi itu dengan senyum hangat.
“Lanang ini… dari kecil apa memang mandiri begini, Pak?”
Pak Aldo tertawa kecil. “Mandiri, keras kepala, dan suka menolak bantuan. Tapi anak ini baik, Bu.”
Sari menunduk. “Terima kasih… sudah bantu menjaga dia.”
Kata-kata itu membuat mata Lanang memanas.
Di Luar Ruangan
Saat Lanang mengambil air minum di dispenser lorong, ponselnya bergetar.
Rengganis Video Call
Ia tersenyum kecil lalu mengangkat.
Wajah Rengganis muncul di layar: berhijab rapi, mata lembut, namun terlihat cemas.
“Nang… gimana Ibu Sari hari ini?”
“Lebih baik. Sudah bisa ngobrol pelan-pelan.”
Rengganis tersenyum lega. “Syukurlah.
Hening sejenak.
“Nang…” suara Rengganis melembut, “…kamu istirahat ya. Kamu pasti capek nunggu di rumah sakit terus.”
Lanang mengangguk. “Aku kuat, Nis.”
“Tapi kamu jangan kuat sendirian.”
Nada itu membuat Lanang terdiam.
“Aku ada kok.”
Rengganis menatapnya lewat layar dengan mata yang penuh doa dan harapan.
“Walau cuma bisa lihat kamu dari jauh… aku tetap di sini.”
Lanang menelan ludah. “Terima kasih, Nis.”
“Sampaikan salamku ke Ibu Sari, ya.”
Setelah panggilan berakhir, Lanang berdiri di tengah lorong rumah sakit yang sunyi, menyadari bahwa dunia kecilnya yang dulu di Gumalar kini terasa sangat jauh.
Indonesia — Jakarta
Malam turun dengan lambat, menyelimuti gedung Dirgantara Group yang berdiri sombong di antara cahaya kota. Arif Dirgantara duduk di ruang kerjanya, menatap berkas-berkas hasil penelusuran jejak Retno dan Lanang yang… sepi.
Universitas di Yogyakarta tidak tahu universitas tujuan Lanang.
Yayasan Kinasih tidak punya catatan kepindahan administrasi.
Tidak ada catatan imigrasi yang jelas.
Semuanya terputus seperti garis yang sengaja dihapus ujungnya.
Arif memejamkan mata.
Di balik pintu yang terbuka perlahan, Hartono Dirgantara dan istrinya, Diah, masuk. Wajah keduanya letih oleh rasa bersalah yang menua lebih cepat daripada usia.
“Arif…” ucap Diah dengan suara lirih.
“Aku tidak ingin membicarakan masa lalu malam ini,” kata Arif tajam, tanpa menatap mereka.
“Tapi itu justru yang harus kita selesaikan,” balas Diah dengan mata berkaca-kaca.
“Kami tidak meminta pengampunan… kami hanya ingin membantu.”
Arif memukul meja. “Membantu? Sekarang? Waktu Retno dibuang dua puluh tahun lalu, kalian tidak memikirkan itu!”
Hartono menunduk dalam. “Kami bodoh… kami takut martabat keluarga jatuh. Kami tidak memikirkan dia sebagai manusia…”
“Dia hilang.”
Suara Arif pecah. “Dan anaknya entah di negara mana.”
Diah menangis. “Kalau Retno masih hidup… tolong… tolong temukan dia, Nak. Kami ingin meminta maaf dengan cara yang benar.”
Arif berdiri, wajahnya keras namun getarannya mengkhianati rasa sakit yang terpendam.
“Aku akan cari. Sampai ketemu. Meski aku harus menjelajah seluruh rumah sakit di Amerika satu per satu.”
Ia mengambil jasnya lalu keluar ruangan.
Lampu-lampu kota memantulkan bayangannya yang rapuh namun teguh—seorang pria yang mengejar seseorang yang ia cintai, namun ditakdirkan selalu datang terlambat.
Amerika — Kamar Rawat
Sari membuka mata ketika Lanang masuk membawa air dan sup hangat.
“Kamu lama sekali, Nak.”
“Maaf, Bu. Tadi telepon sebentar.”
Sari menatap anak itu lama, matanya dipenuhi emosi lembut.
“Lanang… kamu capek ya?”
“Tapi aku bahagia lihat Ibu sadar dan membaik.”
Sari mengelus pipinya. “Kamu anak baik… Ibu sering mimpi seseorang bilang begitu.”
Lanang menelan ludah.
“Bu… kalau nanti ada memori yang datang, jangan takut. Aku di sini.”
Sari tersenyum kecil.
“Kalau memang benar ada masa lalu yang hilang… Ibu siap menghadapinya. Asal kamu di samping Ibu.”
Lanang menggenggam tangan ibunya.
“Sampai kapan pun, Bu.”
Di luar, salju tipis mulai turun—seperti tirai putih yang membuka babak awal perjalanan panjang dua jiwa yang terluka, sementara seseorang jauh di Indonesia bersumpah untuk terus mencari.
menarik