Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 8
Malam sudah larut ketika James kembali ke mansion.
Udara terasa dingin dan lembap, seolah seluruh rumah sedang menahan napas.
Setelah percakapannya dengan Nadira, pikirannya hanya mengarah pada satu hal:
Hana.
Ia berjalan cepat menuju lantai dua, tempat kamar Hana berada.
Langkahnya tegas, panik, dan sedikit terburu-buru—seolah instingnya sudah memberi peringatan bahwa ada sesuatu yang sangat salah.
James berhenti di depan pintu kamar Hana.
Ia mengetuk pelan.
“Hana?”
Tidak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi, sedikit lebih keras.
“Hana, aku ingin bicara…”
Masih tidak ada suara.
Hatinya mulai berdebar.
Akhirnya James memutar gagang pintu.
Klik.
Pintu terbuka.
Kamar itu…
Kosong.
Tidak hanya kosong—dingin, tidak ada tanda-tanda ada orang baru saja tidur di situ.
Spreinya rapi, bantalnya tersusun rapi seolah kamar itu tidak dipakai sejak pagi.
James masuk perlahan, matanya mencari-cari:
Tidak ada sepatu Hana.
Tidak ada tas Hana.
Tidak ada cardigan tipis yang biasanya ditempelkannya di kursi.
Semuanya… hilang.
“Hana…?” panggil James lagi, suaranya mulai pecah.
Ia masuk ke kamar mandi—kosong.
Ia memeriksa lemari—kosong.
Tidak ada satu pun barang Hana.
Seolah dia dipindahkan tanpa meninggalkan jejak.
James berdiri di tengah kamar yang kosong itu, tubuhnya mematung.
Pikiran mulai berputar cepat.
Tidak mungkin.
Dia tidak mungkin pergi sendiri.
Hana tidak akan kabur tanpa mengabari…
Atau… apakah dia diancam?
Wajah James mengeras.
Ia langsung turun ke lantai satu, mendekati seorang pelayan muda yang sedang merapikan vas bunga.
“Maaf,” kata James dengan suara terkontrol,
“Hana ada di mana?”
Pelayan itu terkejut, memegang vas terlalu erat.
“Tu-tuan… saya… saya tidak tahu…”
James mendekat, tatapannya sangat tajam.
“Dia dipindahkan ke kamar lain?”
Pelayan itu gelagapan.
Ia menatap ke kanan dan kiri, seperti takut ada seseorang yang mengawasinya.
“Saya… tidak boleh bicara…”
“Tidak boleh bicara dari siapa?”
James menekan.
Pelayan itu terdiam.
Membeku.
Dan itu jawaban yang cukup bagi James.
“Soni.”
James menggeram pelan.
“Dia memindahkan Hana?”
Pelayan itu mengecilkan tubuhnya, wajahnya pucat.
“Tuan Soni… memerintahkan semua pelayan untuk tidak menyebutkan… keberadaan Bu Hana…”
James menyipitkan mata.
“Keberadaannya… di mana?”
Pelayan itu menggigit bibirnya.
Ia menunduk.
“Maaf, Tuan… saya tidak bisa…”
Air matanya jatuh.
“Kalau saya bicara, saya bisa dipecat… atau lebih buruk…”
James menutup mata sejenak, menarik napas untuk menahan amarahnya.
Dia tidak ingin menyakiti pelayan yang ketakutan.
“Tolong,” kata James lebih lembut,
“Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.”
Pelayan itu menatap James, melihat ketulusannya, lalu berbisik sangat pelan—nyaris tidak terdengar.
“Beliau… tidak ada di lantai dua lagi…”
James menegang.
“Di mana?”
Pelayan itu menggeleng ketakutan.
“Saya… tidak bisa… tapi ada dua penjaga… menjaga pintu tertentu di lantai tiga…”
James membeku.
Lantai tiga.
Itu bukan tempat sembarang orang bisa masuk.
Itu area pribadi Soni.
Area yang bahkan James jarang masuki.
“Lantai. Tiga.”
James mengulang dengan suara pelan namun penuh kemarahan yang ditahan.
Pelayan itu menunduk dalam, tubuhnya gemetar.
James berbalik.
Tanpa sadar, jarinya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih.
“Baik,” bisiknya lirih.
“Kalau dia memindahkan Hana ke sana…”
Langkah James mengeras, cepat, penuh tekad.
“…maka aku naik.”
Ia naik ke tangga spiral menuju lantai tiga.
Setiap anak tangga terasa berat seperti memanjat ke neraka pribadi seseorang.
Saat ia sampai di lantai tiga—
dua penjaga besar berdiri di depan pintu besar kayu gelap.
Mereka menoleh.
“Maaf, Tuan James.
Area ini tidak boleh dimasuki.”
James berhenti, dadanya naik turun.
Pintu itu tertutup rapat.
Dan James bisa merasakan…
Hana ada di balik pintu itu.
Jadi benar.
Soni memindahkan Hana ke ruang pribadinya.
James mengepalkan tangan.
“Buka pintunya.”
Penjaga saling melirik.
“Kami tidak bisa, Tuan.”
James mendekat satu langkah.
“Aku tidak akan mengulanginya.”
Penjaga akhirnya menjawab dengan suara lebih tegang:
“Tuan Soni memerintahkan…
bahkan Anda pun tidak boleh masuk.”
Dan itu kalimat yang menghancurkan kesabaran James.
Wajahnya berubah suram.
Suaranya turun, gelap, menekan:
“Dia memindahkan istrinya ke sini, bukan?”
Penjaga menelan ludah.
“Maaf, Tuan… kami tidak boleh menjawab…”
James menutup mata.
Dalam satu tarikan napas yang panjang dan berat, ia menahan diri untuk tidak menghancurkan sesuatu.
“Baik.”
Ia menoleh sedikit, menatap pintu itu terakhir kali.
“Hana…” bisiknya nyaris tak terdengar.
“Aku akan keluarkan kau dari sini.”
Kemudian ia turun.
Dengan langkah lambat…
namun tekad yang semakin keras.
Ruangan itu gelap dan sunyi ketika penjaga menutup pintu dari luar.
Soni belum kembali.
Hanya Hana seorang diri.
Sofa tempat ia harus tidur terasa dingin dan sempit.
Lampu kecil di sudut ruangan menyinari sebagian wajahnya, membuat bayangan di dinding tampak seperti tangan-tangan panjang yang ingin meraih.
Hana memeluk kakinya, tubuhnya gemetar.
Kesunyian malam membuat suara napasnya sendiri terdengar keras di telinga.
Dan ketika tidak ada suara dari luar—
Ingatan lama mulai mengetuk.
Pelan.
Lembut.
Lalu menghantam.
Ingatan itu datang seperti mimpi buruk
Hujan deras.
Angin berputar.
Jalan licin berkilauan di bawah lampu kota.
Hana yang berusia 18 tahun saat itu berdiri di tepi jalan sambil menutupi kepalanya dengan jaket tipis.
Ia baru pulang dari toko roti tempatnya bekerja paruh waktu.
Lampu rem mendadak menyilaukan.
KREEEETTT—
Mobil hitam berhenti mendadak di depannya.
Air tergenang terpercik tinggi, membasahi Hana sampai ke wajah.
“Astaga…” Hana mundur, terkejut.
Pintu mobil terbuka.
Seorang wanita turun — Ibu James.
Hana tidak mengenal beliau secara pribadi waktu itu.
Ia hanya tahu wanita itu dermawan dan sering membantu panti-panti di sekitar kota.
Wajah wanita itu terlihat panik dan kacau.
“Maaf… maafkan saya…”
Wanita itu berkata terburu-buru, suaranya bergetar.
Sebelum Hana sempat menjawab,
wanita itu terhuyung.
“Kau… kau harus pergi dari sini,” ujar wanita itu cemas sambil menatap ke belakang seolah ada seseorang yang mengikutinya.
Hana bingung, mencoba membantu.
“Bu… Anda baik-baik saja?”
Wanita itu memegang lengan Hana.
“Katakan… kalau sesuatu terjadi… kau tidak lihat apa pun… jangan terlibat…”
“Bu, apa maksud Anda?”
Wanita itu mundur dua langkah…
kakinya terpeleset di jalan licin, dan—
BRUK!
Wanita itu jatuh ke belakang, kepalanya terbentur badan mobil yang masih panas.
Hana menjerit.
“A-Astaga! Bu?!”
Ia panik, ingin menolong, memegang pundak wanita itu, mengguncangnya pelan.
“Tolong bangun… tolong…”
Hujan semakin deras.
Darah mengalir di trotoar, bercampur air hujan yang mengalir ke got.
Hana berlari ke pinggir jalan, ingin mencari bantuan—tapi jalan sepi.
Ia kembali ke wanita itu.
Suaranya gemetar.
“Bu, saya telepon ambulans, ya?”
Namun saat ia merogoh saku jaket—
ia sadar ponselnya rusak karena air.
Pada saat itu, sebuah mobil putih mendekat cepat, berhenti tidak jauh dari mereka.
Sret.
Pintu terbuka.
Dari mobil itu turun seorang pria.
Seseorang yang Hana kenal beberapa waktu kemudian…
Soni.
Waktu itu ia masih lebih muda, tapi sorot matanya sama: tajam, penuh hitungan.
Ia melihat Hana berlutut di samping wanita itu.
Lalu ia melihat darah.
Dan ia tersenyum kecil — bukan senyum ramah,
tapi senyum orang yang baru menemukan peluang.
“Hmmm… apa yang kita punya di sini?”
Hana berdiri tergesa, tubuhnya bergetar.
“T-tuan… saya—wanita ini jatuh—saya tidak—”
Soni maju, memegang pundak Hana dengan lembut.
Terlalu lembut untuk situasi itu.
“Tenang. Aku percaya padamu.”
“Tapi… tapi saya tidak tahu apa yang terjadi, saya tidak sengaja—”
“Aku percaya,” ulang Soni.
“Tapi polisi tidak akan percaya.”
Hana mematung.
“Kau di TKP.
Kau bersamanya.
Ponselmu rusak.
Tidak ada saksi.”
Hana menggeleng cepat, air mata bercampur hujan.
“Bukan saya! Bukan saya, Tuan! Saya tidak menyentuh dia sebelum jatuh!”
“Aku tahu,” Soni menatapnya tajam,
“tapi polisi tidak akan tahu.”
Hana merasa dunianya runtuh.
“A-apa yang harus saya lakukan…?”
Soni menyentuh dagunya, memaksa Hana menatapnya.
“Kau ikut aku.”
“Ke… ke mana…?”
“Ke tempat yang aman.”
Hana menatap wanita yang tergeletak.
“Bagaimana dengan Bu itu…?”
“Aku urus,” kata Soni.
“Tapi ingat… kau tak pernah ada di sini.”
Hana menutup mulutnya, menangis keras.
“Tolong jangan biarkan saya ditangkap… saya tidak melakukan apa-apa…”
Soni mengusap pipinya.
“Kalau begitu ikuti aku, Hana.
Diam.
Dan biarkan aku yang mengatur.”
Dan sejak malam itu…
Hana tidak pernah benar-benar bebas.
Kembali ke masa kini
Hana tersentak bangun dari ingatan itu, napasnya tersengal dan wajahnya basah oleh air mata.
Ia menutup mulutnya agar tidak menangis keras.
Ruang Soni gelap.
Sunyi.
Hana memeluk dirinya.
Dalam hati ia berkata:
“Aku tidak membunuh Ibu James… tapi aku tetap penyebabnya… walau tidak sengaja…”
Air mata jatuh lagi.
“Dan Soni… dia yang mengurungku sejak malam itu…”
Hana menatap pintu ruangan yang tertutup rapat.
“Pantas… aku tidak bisa pergi.”
“Pantas Soni yakin aku tidak akan melawan.”
“Dan… pantas James tidak boleh tahu.”
Kalau James tahu Hana berada di dekat ibunya…
Kalau James tahu Hana satu-satunya saksi…
Kalau James tahu Hana tidak bicara apa pun…
Hana merasakan jantungnya seperti ditarik keluar.
James akan hancur.
Dan dia akan membenciku selamanya.
Hana menangis pelan di sofa sempit itu.
Lalu matanya tertuju pada jendela besar.
Angin malam membawa bayangan kabur dari taman.
Dan di antara bayangan itu—
Ada sosok berdiri jauh di bawah sana, memandang ke arah lantai tiga.
James.
Seolah ia merasakan Hana sedang menangis.
Hana menggigit bibir untuk menahan suara.
“Maafkan aku…” bisiknya,
“…aku tidak bisa biarkan kau tahu…”
By: Eva Nelita
14-11-25