Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertunangan Eri Dan Eliana
Dua minggu kemudian, hari yang dinanti tiba. Acara lamaran sekaligus pertunangan antara Eri dan Eliana berlangsung dengan lancar, seolah semesta pun turut berbahagia. Acara yang menjadi simbol pengikat janji suci itu diselenggarakan di kediaman keluarga Eliana, disulap menjadi sebuah perayaan yang memanjakan mata dan hati. Halaman rumah yang luas bertransformasi menjadi taman bunga yang mempesona, dihiasi dengan rangkaian bunga segar yang aromanya semerbak memenuhi udara. Tenda-tenda putih berdiri anggun, diterangi oleh lampu-lampu kristal yang memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana romantis dan elegan. Alunan musik tradisional Jawa mengalun dengan syahdu, menambah kesan sakral dan khidmat pada acara tersebut. Tawa bahagia dan ucapan selamat terpancar dari setiap wajah tamu undangan yang hadir, ikut merasakan kebahagiaan yang tengah dirayakan.
Namun, di balik kemeriahan dan kebahagiaan yang tampak jelas itu, tanpa disadari oleh siapa pun, di luar pagar besi yang menjulang tinggi mengelilingi rumah, seorang wanita berdiri dengan tatapan penuh amarah dan kebencian. Matanya menyorot tajam, mengawasi setiap detail acara lamaran dan pertunangan Eri Aditya Pratama dan Eliana Devita. Hatinya bergejolak, dipenuhi pertanyaan sinis yang menyakitkan, "Acara apa yang sedang mereka rayakan dengan begitu meriah di rumah mewah itu? Mengapa Henny dan Eri ada di sana? Apakah mereka sedang berbahagia di atas penderitaanku?" Wanita itu terlarut dalam pikirannya sendiri, tenggelam dalam kenangan masa lalu yang kelam dan penuh luka. Tiba-tiba, sentuhan lembut di bahunya membuatnya terlonjak kaget, membuyarkan lamunannya.
"Maaf, Bu, ada yang bisa saya bantu? Sejak tadi saya perhatikan Ibu terus melihat ke dalam rumah. Apakah Ibu salah satu tamu undangan dari Bapak Rico?" tanya Pak Dicky, seorang satpam kompleks yang sudah bertugas selama belasan tahun. Ia merasa ada yang aneh dengan tingkah wanita itu. Sejak beberapa waktu lalu, wanita itu berdiri di depan rumah Pak Rico, seolah terpaku pada sesuatu yang terjadi di dalam. Kecurigaan Pak Dicky semakin bertambah karena ia tidak mengenali wajah wanita itu sebagai salah satu warga kompleks atau tamu yang diundang.
"Oh, tidak, Pak. Saya bukan tamu undangan Bapak Rico. Saya hanya lewat, dan saya melihat ada keramaian seperti ada acara. Karena penasaran, saya berhenti sebentar untuk melihatnya," jawab wanita itu dengan nada sedikit gugup. Ia berusaha keras menyembunyikan kegugupannya di balik senyuman yang dipaksakan. Jantungnya berdegup kencang, khawatir jika identitasnya terbongkar dan kehadirannya diketahui.
"Wanita ini aneh dan mencurigakan," batin Pak Dicky, sambil menatap wanita itu dengan tatapan menyelidik. Instingnya sebagai seorang satpam yang berpengalaman mengatakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh wanita itu. Ada rahasia kelam yang tersimpan di balik tatapan matanya yang penuh amarah.
Merasa diperhatikan dengan begitu intens oleh Pak Dicky, wanita itu semakin gugup dan salah tingkah. Ia merasa seperti seorang buronan yang sedang dikejar-kejar oleh polisi. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak!" pamitnya dengan tergesa-gesa. Tanpa menunggu jawaban dari Pak Dicky, wanita itu berbalik dan melangkah pergi dengan cepat, meninggalkan Pak Dicky dengan sejuta pertanyaan yang berkecamuk di benaknya.
"Iya, Bu, silakan!" balas Pak Dicky, meskipun ia masih menyimpan perasaan aneh dan curiga terhadap wanita yang baru saja pergi itu. Ia memutuskan untuk mencatat ciri-ciri fisik wanita itu di buku catatannya, sebagai tindakan preventif jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban di kompleks perumahan tempatnya bekerja.
Sementara itu, di dalam rumah, acara lamaran sekaligus pertunangan antara Eri dan Eliana terus berlangsung dengan meriah. Sebagian besar tamu yang hadir adalah teman-teman dekat Eliana, karena Eri memang sengaja tidak mengundang banyak teman. Ia merasa lebih nyaman berada di tengah orang-orang yang sudah dikenalnya sejak lama dan ia percaya akan memberikan dukungan yang tulus. Beberapa teman kuliahnya pun hadir, memberikan dukungan dan semangat untuk Eri dan Eliana.
Acara berlangsung lancar sesuai dengan rencana yang telah disusun dengan matang oleh keluarga Eliana. Prosesi lamaran berjalan dengan khidmat dan penuh haru. Eri, dengan gagah berani, menyampaikan niat baiknya untuk meminang Eliana di hadapan kedua orang tua Eliana dan para tamu undangan yang hadir. Suaranya lantang dan penuh keyakinan, membuat hati Eliana berdebar kencang. Ia merasa sangat bahagia dan terharu mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Eri.
Eliana pun dengan anggun menerima lamaran Eri, menandakan bahwa mereka berdua siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Senyum manisnya merekah, memancarkan kebahagiaan yang tak terhingga. Ia tidak pernah menyangka bahwa mimpinya untuk bersanding dengan Eri di pelaminan akan menjadi kenyataan.
Setelah prosesi lamaran selesai, acara dilanjutkan dengan pemasangan cincin tunangan di jari manis Eliana oleh Eri. Cincin berlian yang berkilauan itu menjadi simbol cinta dan komitmen mereka berdua. Eri dengan lembut memasangkan cincin itu di jari Eliana, sambil menatapnya dengan tatapan yang penuh kasih sayang. Tepuk tangan meriah dari para tamu undangan mengiringi momen bahagia tersebut.
Semua teman Eliana mengucapkan selamat atas pertunangan mereka. Mereka merasa bahagia karena Eliana akhirnya bisa bersanding dengan pria yang selama ini diidam-idamkannya. Mereka tidak sabar untuk melihat Eliana dan Eri menikah dan membangun rumah tangga yang bahagia dan harmonis.
"Selamat ya, El! Sekarang kamu benar-benar bisa memiliki Kak Eri sepenuhnya!" kata Fety, salah satu teman Eliana yang paling heboh dan selalu bersemangat. Ia sudah mengenal Eliana sejak lama dan tahu betul betapa besar cintanya pada Eri.
"Makasih ya, Fet, tapi menurutku aku belum memiliki Kak Eri sepenuhnya. Ini kan baru tunangan, belum sampai menikah. Nanti kalau sudah menikah, itu baru bisa dibilang sepenuhnya," sahut Eliana sambil tersenyum malu. Pipinya merona merah mendengar godaan dari teman-temannya.
"Iya sih, tapi setidaknya, Kak Eri sekarang sudah bisa dibilang milikmu! Nggak ada lagi yang berani deketin Kak Eri!" timpal Rina, teman Eliana yang lain, sambil tertawa menggoda. Eliana hanya bisa tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan teman-temannya. Ia merasa sangat beruntung dikelilingi oleh teman-teman yang selalu mendukungnya.
***********