Bijaklah dalam memilih tulisan!!
Kisah seorang penulis online yang 'terkenal lugu' dan baik di sekitar teman-teman dan para pembaca setianya, namun punya sisi gelap dan tersembunyi—menguntit keluarga pebisnis besar di negaranya.
Apa yang akan di lakukan selanjutnya? Akankah dia berhasil, atau justru kalah oleh orang yang ia kendalikan?
Ikuti kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembalasan Penulis Licik 03
...****************...
Pelukan itu terlepas perlahan. Seperti embun yang menguap dari kelopak daun—nyaris tak terasa, tapi meninggalkan bekas.
Daria mengusap ujung matanya yang basah. Entah oleh apa, mungkin kelelahan… atau pelukan asing dari seorang gadis manis yang muncul tiba-tiba di tengah sunyinya pagi.
Ada sesuatu yang menyentuh, meski samar. Seperti kenangan yang baru saja bangkit.
“Kamu siapa, nak?” suara Daria lirih. “Namamu siapa?”
Aresya tersenyum. Kali ini lebih lembut dari biasanya—senyum yang dirancang untuk menciptakan kesan mendalam.
“Aresya,” jawabnya pelan. “Aresya Halyna.”
Daria mengangguk. “Boleh Ibu minta nomor ponselmu? Siapa tahu… suatu saat Ibu ingin bicara lagi.”
Aresya mengangguk seolah ragu, lalu menyebutkan angka demi angka. Ia menuliskannya di secarik kertas kecil yang ia ambil dari dompet, lengkap dengan nama samar yang biasa ia gunakan—bukan yang terdaftar resmi. Hanya nama yang cukup dipercaya untuk menyimpan cerita.
Daria menerima kertas itu seolah sedang menggenggam harapan baru.
“Terima kasih ya, Aresya… entah kenapa, kamu terasa seperti anak sendiri.”
Aresya hanya mengangguk. Tersenyum, menunduk, lalu pamit sopan. Ia melangkah menjauh, tak menoleh sekali pun.
...****************...
Langit sore berganti jingga saat Aresya membuka pintu apartemen kecilnya. Ia menanggalkan sepatunya, menyalakan lampu ruang tengah, dan membuka laptop yang tergeletak di meja kerja mungilnya.
Jari-jarinya menari di atas keyboard. Lembut, cepat, seolah kata-kata sudah tertanam di ujung jemarinya.
12 April
Target: Daria Camaro
Status: kontak pertama berhasil
Lokasi: Rumah Sakit Medika Raya
Pendekatan berlangsung tanpa hambatan. Pelukan diterima. Nomor ponsel diminta oleh target—indikasi awal keterikatan emosional mulai terbentuk. Tidak ada kecurigaan.
Catatan tambahan: wajahnya tampak lebih tua dari terakhir kulihat di foto. Sakitnya nyata. Ajudan dan supir setia. Posisinya masih dijaga.
Namun, untuk saat ini, langkah pertama telah berhasil.
"Terkadang yang tampak lembut justru yang paling mematikan."
Aresya menekan tombol save, lalu menutup laptopnya.
Ia merebahkan diri di sofa, menatap langit-langit.
Wajahnya kembali datar. Tak ada senyum, tak ada ragu.
Hanya tatapan kosong dari seseorang yang sedang menyiapkan badai.
...****************...
Suara sendok bertemu piring terdengar lebih nyaring daripada biasanya. Seolah ruangan itu sedang bernapas dalam kesunyian yang janggal.
Meja makan besar keluarga Camaro—megah, mewah, tapi dingin. Seperti rumah itu sendiri: berisi, tapi kosong.
Daria duduk di sisi kanan, tubuhnya sedikit membungkuk.
Alexander di ujung meja, tegap dan angkuh, pandangan tajamnya menelusuri wajah anak lelakinya, Arion Camaro—yang duduk dengan punggung lurus, tangan bersilang, rahang mengeras.
Tak ada suara selain dentingan alat makan. Hening. Menyesakkan. Dan menyebalkan.
“Ayah sudah siapkan calon istrimu,” ujar Alexander tiba-tiba. Suaranya datar, tak terbantah. “Putri kolega Ayah dari sektor energi. Anak baik. Terhormat. Keluarganya jelas.”
Arion meletakkan garpunya perlahan.
Tatapannya tak marah, hanya lelah. Seperti seseorang yang sudah sering mendengar kalimat yang sama untuk kesekian kali.
“Aku tidak tertarik.”
Jawaban itu menggantung di udara. Tak ada yang bicara.
Sampai Daria akhirnya bersuara—seolah tak tahan dengan ketegangan di meja makan.
“Tadi…” katanya lirih, “Mama bertemu seorang gadis. Sopan, lembut, baik hati. Ibu merasa nyaman sekali… mungkin Arion bisa coba kenalan dengan dia dulu?”
Arion menoleh pelan ke arah ibunya. Tatapan datar. Tak marah, tapi jelas menolak.
“Tidak, Ma.”
Daria tersenyum tipis, memaksa lembut. “Cobalah dulu… siapa tahu cocok…”
Alexander menyela, suaranya lebih keras dari sebelumnya. “Siapa dia? Latar belakang keluarganya bagaimana?”
Daria terdiam sejenak.. Matanya mengerjap. Bibirnya terbuka, lalu menutup kembali.
“Mama… belum tahu,” katanya akhirnya, pelan. “Kami hanya sempat bicara sebentar…”
Alexander menghela napas. Berat dan tajam.
“Jangan asal ajak anak orang kalau kita tak tahu dari mana asalnya. Kita bukan keluarga biasa, Daria.”
Diam lagi. Daria menunduk.
Arion melirik ke arah mamanya sekilas—ada sesuatu di sana, bukan simpati, tapi rasa tak enak yang samar.
Suara jam dinding terdengar makin nyaring. Seperti waktu yang mendadak melambatkan. Membuat tiap detik jadi beban.
Arion berdiri.
“Kalau makan malam sudah selesai, aku pamit.”
Ia pergi tanpa menoleh, langkahnya mantap. Meninggalkan dua orang tua di meja yang kembali sunyi.
Dan Daria, yang diam-diam menggenggam erat kertas kecil dari Aresya—nama yang entah kenapa, makin hari makin terasa akrab di hatinya.
...****************...
Ponsel Aresya bergetar pelan di atas meja kayu tua yang mulai mengelupas.
Ia sedang duduk di pojok ruang tamu mungilnya, lampu temaram membuat bayangan panjang di dinding.
Nama tak dikenal. Tapi dia tahu siapa itu.
Dengan satu ketukan lembut, ia mengangkat.
“Halo?”
Suara di seberang terdengar ragu tapi hangat.
“Ini… Daria Camaro. Masih ingat saya?”
Aresya menatap langit-langit sejenak, sebelum membiarkan suaranya keluar pelan, lembut, dan bersahabat.
“Ah, tentu. Ibu Daria… saya senang Ibu menghubungi saya.”
“Maaf kalau mengganggu. Saya cuma… merasa ingin bertemu lagi. Boleh, Aresya? Mungkin besok? Saya bisa jemput kalau perlu.”
Aresya terdiam. Bibirnya perlahan melengkung membentuk senyum—samar dan miring.
Senyum penuh strategi. Lebih cepat dari dugaanku.
Rencananya belum sampai di titik ini, tapi semesta memang suka berpihak pada yang sabar dan cerdik.
Dan Daria—manusia polos berbalut kelas dan nama besar itu—baru saja masuk lebih dalam ke jaring yang ia rajut.
“Tentu, Bu. Saya sangat senang bisa bertemu Ibu lagi,” ucap Aresya lembut, penuh ketulusan palsu.
Mereka mengatur tempat dan waktu. Setelah panggilan berakhir, Aresya menatap ponsel itu lama.
Lalu ia mengambil buku catatannya—halaman yang berjudul “CAMARO.”
Tulisannya rapi, bersusun rencana dan analisa. Di pojok kanan atas, ada nama Arion Camaro, dilingkari tinta merah.
Ia menambahkan satu kalimat baru di bawahnya:
"Daria, celah yang terlalu mudah."
...****************...
Restoran itu mewah.
Langit-langitnya tinggi, lampu kristal menggantung anggun, menciptakan pantulan cahaya di dinding marmer putih. Musik piano mengalun lembut di latar, sementara aroma masakan kelas dunia menggoda penciuman.
Aresya duduk di salah satu meja dekat jendela besar, mengenakan gaun selutut berwarna dusty pink yang sederhana namun elegan.
Rambut hitamnya dibiarkan tergerai, sedikit ikal di bagian ujung, dan riasannya sangat tipis—cukup untuk menonjolkan kecantikannya yang lembut.
Ia tersenyum saat melihat Daria datang, disambut pelayan yang langsung membukakan kursi.
"Maaf menunggu, Aresya," ucap Daria hangat, duduk di hadapannya.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya justru senang Ibu mau meluangkan waktu," jawabnya lembut, suara yang tenang dan bersahabat.
Mereka mulai memesan makanan ringan dan minuman. Setelah beberapa basa-basi, Daria akhirnya membuka topik utama.
“Kalau boleh tahu… kamu kerja apa sekarang, Aresya?”
Aresya tersenyum pelan. Ia menundukkan kepala sedikit, pura-pura malu, lalu menjawab.
“Saya… penulis, Bu. Menulis cerita-cerita pendek, kadang novel. Tapi saya hanya publikasikan online, dengan nama pena.”
“Wah, luar biasa… saya suka wanita muda yang berkarya,” Daria tersenyum tulus. “Kalau latar belakang keluarga? Orangtua kamu?”
Hening sesaat.
Tatapan Aresya berubah pelan. Ia menunduk sedikit, dan senyum di bibirnya perlahan memudar.
Tiba-tiba kesedihan menggantung di matanya—sangat meyakinkan.
“Saya… tidak terlalu nyaman cerita soal itu, Bu… tapi…”
Daria langsung menyentuh tangan Aresya, lembut. “Maafkan saya. Kalau tak nyaman, tidak usah dijawab.”
Aresya menggeleng pelan.
“Tak apa. Ibu tidak salah. Saya hanya… terkadang masih berat mengenangnya.”
Daria diam, memberi ruang.
“Saya… kehilangan kedua orangtua saya dalam kecelakaan mobil. Waktu itu usia saya sepuluh tahun. Tidak ada kerabat yang bisa ambil alih, jadi saya dibesarkan di panti asuhan,” ucapnya lirih, tatapannya menerawang jauh, seakan menarik kepedihan lama yang sebenarnya tidak pernah ada.
“Oh, Aresya…” bisik Daria, terenyuh.
Aresya tersenyum samar. “Tapi saya baik-baik saja, Bu. Saya beruntung bisa sekolah dan menulis. Banyak orang baik di luar sana yang membantu saya dulu.”
Daria menatap Aresya dalam-dalam, dan entah kenapa… hatinya benar-benar luluh.
Ada sesuatu dari gadis ini—kesederhanaan, kelembutan, dan luka yang dipendam diam-diam—yang membuatnya merasa terhubung.
"Kalau begitu... kamu juga orang yang kuat."
Aresya hanya tersenyum… namun dalam hatinya, ia menulis ulang semua naskah rencana.
Langkah Daria terlalu empatik. Terlalu terbuka.
Dan itu… membuat segalanya semakin mudah.
Tawa kecil di antara mereka sempat menghiasi suasana meja makan.
Namun tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar mendekat dari arah belakang. Daria menoleh, wajahnya langsung berseri.
“Ah… akhirnya datang juga,” gumamnya.
Aresya ikut menoleh perlahan.
Seorang pria tinggi dengan setelan semi-formal menghampiri mereka.
Wajahnya tampan, rahangnya tegas, dan sorot matanya dingin—sangat dingin.
Namun justru dari tatapan itu, Aresya tahu… ini dia.
.
.
.
Next 👉🏻
Makasih tadi udh mampir. jgn lupa keep lanjut teyuz ya...
kita ramein dengan saling bertukar komen...