Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Bioskop.
Kami tiba di parkiran Lunaria Plaza Mall, Hans membukakan pintu untukku, tapi saat itu aku berpikir ini bukanlah hal yang aneh, karena Hans selalu begitu, selalu memperlakukan wanita sebagaimana kodratnya.
Kami berjalan bersama sama masuk ke dalam Mall, melewati orang orang ramai yang berjalan ke sana ke mari, sebenarnya ada beberapa Mall di kota ini, aku tidak tau dengan pasti alasan Hans memilih Lunaria Plaza Mall ini. Mungkin karena dekat dengan kliniknya.
"Nadira, aku membeli minum dulu. Kamu tunggu saja di sana." Hans menunjuk sofa tunggu di pojok Bioskop.
Aku mengangguk, menunggu nya. Aku memperhatikan Hans dari kejauhan, kemeja hitam yang ia kenakan, memakai jam tangan dan rambut yang selalu terlihat rapi. Terkadang Hans terlihat terlalu—sempurna.
"Tunggu sebentar ya, tiga puluh menit lagi." Kata nya duduk di hadapanku.
Sembari menunggu aku merebahkan kepalaku ke atas meja, Merasa sedikit jenuh dan sebenarnya aku tidak tau harus mengobrol apa dengan Hans, karena Hans selalu saja menemui aku yang bersedih kedapanya.
Tiba tiba Crek, suara kamera, seseorang mengambil foto diriku, aku mengangkat kepalaku dan mencari sumber suara. Ternyata itu Hans dengan ponselnya yang menghadap ke arah ku.
"Ups...lupa mematikan suaranya," Hans tertawa kecil.
Aku menatapnya kesal, hendak ku memintanya untuk menghapus foto itu, tiba tiba Hans berdiri.
"Ayo," Dia menunggu ku.
......................
Filmnya sudah selesai, tapi perasaanku masih tertinggal di dalam sana—di antara suara tawa dan air mata yang tak sempat kering sepenuhnya. Aku menyeka pipi dengan punggung tangan, tapi sebelum sempat merasa malu, Hans mengulurkan sapu tangan.
“Untuk kamu,” katanya ringan. Aku menangkap tatapan matanya sesaat. Lembut. Seperti memahami tanpa perlu aku bercerita.
Kami keluar dari bioskop, dan untuk beberapa saat aku hanya mengikuti langkah Hans dalam diam.
“Aku ingin mengajakmu ke tempat yang mungkin kamu akan suka,” katanya tiba-tiba.
Aku menunduk melihat layar ponselku. Sudah berapa lama kami di sini? Rasanya cukup. Aku sempat membuka mulut, ingin bilang kalau aku harus pulang.
“Sebentar saja,” tambahnya cepat, seperti bisa membaca pikiranku. “Hanya duduk dan menikmati secangkir coklat panas.”
Coklat panas?
Entah kenapa, ajakan sesederhana itu terasa sulit ditolak. Mungkin karena caranya bicara.
Aku mengangguk pelan. “Oke, tapi sebentar saja ya.”
Kafe itu kecil dan tersembunyi, berada di sudut mall yang sepi. Lampu-lampunya hangat, musiknya pelan, dan aroma manis dari coklat yang sedang dipanaskan memenuhi udara. Kami duduk di pojok, dekat jendela, dengan cangkir masing-masing di depan kami.
Rasanya nyaman.
Kami bicara seadanya. Tentang film. Tentang selera makanan. Tentang hal-hal remeh yang terasa ringan di hati.
Sampai Hans terdiam cukup lama, dan aku menoleh padanya.
“Nadira,” katanya pelan.
Aku menatapnya, menunggu.
“Kita bisa berteman,” ucapnya sambil menunduk ke cangkirnya. “Kamu bisa datang ke aku kapan saja. Entah hanya untuk minum coklat panas… atau untuk bersandar, kalau kamu lagi sedih.”
Aku tak langsung menjawab. Hanya menatap cairan coklat panas di dalam cangkirku yang mengepul pelan.
Ada sesuatu dalam suaranya yang berbeda. Bukan karena dia ingin mengisi kekosongan, tapi karena dia benar-benar ingin hadir.
Aku tersenyum kecil. “Makasih, Hans.”
Lalu ia menatapku, dan kali ini matanya lebih jujur dari sebelumnya.
“Nadira, aku sedang tidak mencoba menggantikan siapapun di hidupmu. Aku hanya ingin… kau terlepas dari rasa lelahmu sejenak.”
Aku mengatupkan bibirku erat-erat, menahan sesuatu di dalam dada yang tiba-tiba bergemuruh. Kata-katanya sederhana, tapi terasa seperti pelukan. Bukan untuk tubuhku, tapi untuk hati yang bahkan aku sendiri lupa cara menjaganya.
Aku kembali menunduk, meminum secangkir coklat panas di hadapanku. Lalu kemudian terdengar lagi, suara kamera yang memotret diri ku.
"Hans!" Kata ku melihat ke arahnya, agak tidak terima karena di foto diam diam.
Hans tersenyum, menunjukkan foto itu kepadaku. "Aku tidak mengambil foto wajahmu, aku mengambil foto dua cangkir coklat panas kita," Katanya, sedikit membuatku malu.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu