Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Pelindung Dalam Diam
Rumi duduk di kursi samping tempat tidur, tangan kecilnya menggenggam erat tas selempang yang masih diletakkan di pangkuan. Waktu sudah hampir magrib. Ruangan itu sunyi, hanya suara alat monitor detak jantung yang berdetak stabil menemani pikirannya yang mengembara jauh.
Sejak Radit pergi karena pekerjaan mendesak, Rumi merasa kehampaan makin besar. Kata-kata Radit tadi masih terngiang jelas.
"Kamu udah jadi bagian dari hidupku, Rum ...."
Tapi benarkah? Atau itu hanya kalimat penghibur karena rasa kasihan?
Rumi memandangi ayahnya yang masih terbaring tak sadarkan diri. Matanya berkaca-kaca. Ini semua terlalu berat. Ia menghela napas panjang, mencoba kuat. Sampai ....
Anwar mengerang pelan dan mulai membuka mata.
"Bapak," bisik Rumi cepat-cepat mendekat.
Namun reaksi yang ia dapat justru di luar dugaan.
"Kamu lagi?" suara Anwar parau tapi penuh amarah. "Untuk apa datang ke sini? Menatapku seperti aku orang gagal?"
Rumi terhenyak. "Bapak, Rumi—"
"Aku mencuri karena aku kepepet! Tak punya uang! Dan itu semua karena kamu! Kamu pergi seenaknya, tinggal di rumah orang kaya, dan lupa sama orang tua sendiri!"
"Rumi nggak pernah lupa, Pak," suara Rumi bergetar. "Rumi ... Rumi hanya ingin bantu Bapak."
Anwar mencibir. "Omong kosong. Perempuan seperti kamu itu cuma bisa bikin malu!"
Ucapan itu seperti pisau. Rumi diam, menunduk, dan membiarkan air matanya menetes satu-satu.
"Keluar dari sini! Aku nggak butuh belas kasihan dari anak yang nggak berguna!"
Rumi berdiri perlahan. Suaranya nyaris tak terdengar.
"Maafin Rumi, Pak ...."
Dan tanpa menoleh lagi, Rumi keluar dari ruangan. Langkahnya pelan, bahunya sedikit bergetar, tapi matanya kosong. Semua yang ia tahan sejak tadi, akhirnya runtuh dalam sekali hentakan.
...****************...
Rumi duduk di pojok ruang tunggu. Kursi besi itu dingin, lampu-lampu rumah sakit terasa terlalu terang untuk suasana hatinya yang kelam. Di tangannya ada tisu yang sudah lecek karena terlalu sering menyeka air mata.
Ia tak sadar kalau seseorang sudah berdiri tak jauh darinya.
Radit datang diam-diam, masih mengenakan kemeja kerja yang sedikit kusut. Di tangannya ada segelas kopi susu hangat dari kantin rumah sakit.
"Rum ...."
Rumi menoleh pelan. Matanya sembab. Radit duduk di sebelahnya tanpa banyak bicara, lalu menyerahkan kopi susu itu dengan hati-hati.
"Minum ini dulu. Biar hatimu sedikit hangat."
Rumi menatapnya sesaat, lalu menerima gelas itu tanpa suara. Saat menyeruputnya perlahan, matanya kembali berkaca-kaca.
"Bapak marah ..." suara Rumi lirih. "Katanya semua ini salahku. Katanya aku cuma bikin malu."
Radit menoleh cepat. "Rumi ...."
"Aku udah berusaha, Mas. Aku kerja, aku nggak pernah lupa sama Bapak. Tapi kenapa rasanya aku selalu salah?"
Radit tak bisa diam lagi. Ia menaruh tangannya di bahu Rumi, lalu dengan lembut menarik tubuh gadis itu ke pelukannya. Rumi tak menolak. Ia menangis lagi di dada Radit, kali ini tanpa menahan.
"Sstt ... cukup, Rum. Kamu nggak salah. Kamu udah luar biasa kuat. Biarkan aku ada buat kamu, ya?"
Rumi menggenggam baju Radit, erat. Seakan tak ingin melepaskannya.
Malam itu, di antara bau obat dan kopi susu yang perlahan mendingin, Rumi untuk pertama kalinya merasa benar-benar didengarkan. Dipeluk. Ditenangkan. Tanpa perlu menjelaskan panjang lebar.
Rumi perlahan melepaskan diri dari pelukan Radit. Ia menatap gelas kopi susu yang kini tinggal setengah. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan.
"Mas, boleh aku cerita sesuatu yang belum pernah aku buka ke siapa pun?"
Radit mengangguk tanpa ragu. "Tentu. Aku di sini dengerin kamu."
Rumi menarik napas dalam-dalam. "Waktu aku lahir, Ibu meninggal. Kata tetangga, Bapak berubah total sejak hari itu. Dulu katanya dia ceria, pekerja keras. Tapi sejak Ibu pergi, dia jadi dingin, kasar, dan penuh kebencian."
Tatapan Rumi kosong. Tangannya mengepal di pangkuannya.
"Bapak pernah bilang ke aku, kalau aku nggak lahir, Ibu masih hidup. Kalau aku adalah awal dari sialnya hidup Bapak."
Radit menahan napas. Sakit mendengar itu, padahal bukan dia yang mengalaminya.
"Sejak kecil aku terbiasa dengan makian dan bentakan. Aku pikir nanti akan berubah. Tapi ternyata sampai sekarang, Bapak masih belum bisa memaafkan aku, bahkan untuk sesuatu yang bukan salahku."
Radit menggenggam tangan Rumi, hangat dan lembut.
"Kamu nggak pernah salah, Rum. Kamu justru anugerah, bukan pembawa sial. Kamu berhak bahagia."
Rumi menatap Radit, matanya berkaca lagi, tapi kali ini bukan karena sedih—karena lega. Karena ada seseorang yang percaya padanya.
...****************...
Anwar tengah duduk termenung di ranjang rumah sakit. Tatapannya kosong menembus jendela. Pintu diketuk pelan, lalu terbuka. Radit masuk, tanpa membawa Rumi.
"Pak Anwar," sapanya singkat.
Anwar melirik, mendengus. "Mau apa lagi kamu datang?"
Radit menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. "Saya ingin bicara baik-baik. Tanpa Rumi."
Anwar menatap penuh curiga. Tapi diam.
Radit melanjutkan, tenang tapi tegas. "Saya tahu Bapak punya masa lalu yang nggak mudah. Kehilangan istri, membesarkan anak seorang diri. Tapi itu bukan alasan untuk terus menyakiti Rumi."
Anwar membuang muka.
"Saya sayang sama dia, Pak. Dan saya akan tetap ada di sisinya, apa pun yang terjadi."
Anwar tertawa kecil, sinis. "Sayang? Semua laki-laki bilang begitu. Ujung-ujungnya pergi juga."
Radit menggeleng. "Saya bukan semua laki-laki itu. Dan saya datang ke sini untuk menjanjikan satu hal."
Anwar diam.
"Saya akan tanggung semua kebutuhan Bapak, perawatan, kehidupan ke depan. Tapi dengan satu syarat—berhenti menyalahkan Rumi. Berubah jadi ayah yang pantas buat dia. Dia sudah cukup terluka."
Anwar terdiam, melihat Radit yang berdiri seraya mengulurkan tangan.
"Kalau Bapak siap, saya akan bantu. Tapi kalau tidak, saya akan tetap lindungi Rumi. Dengan atau tanpa izin Bapak."
Anwar memandang tangan itu. Tak menjabat. Tapi juga tak menolak.
Radit keluar dari ruangan Anwar dengan wajah datar, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kekecewaan. Di tangannya masih tergenggam plastik kecil berisi vitamin dan buah potong yang tadi dibawanya untuk Anwar.
Rumi duduk di kursi tunggu, berdiri cepat saat melihat Radit.
"Mas, gimana?"
Radit menghela napas panjang. Ia menatap mata Rumi sejenak, lalu menggeleng pelan.
Rumi diam. Matanya mulai memerah, tapi ia cepat-cepat menunduk. "Bapak nggak pernah berubah, Mas. Dia nggak akan pernah terima aku."
Radit mendekat, menyentuh bahu Rumi dengan lembut.
"Bukan kamu yang salah, Rum. Kamu nggak pernah salah."
Rumi akhirnya menangis. Tapi kali ini bukan karena kata-kata Anwar, melainkan karena kelelahan batin yang selama ini ia simpan.
Radit memeluknya, diam-diam berkata dalam hati, "Kalau dia gak bisa jadi ayah yang kamu butuhin, biar aku yang jadi pelindungmu, Rumi."