NovelToon NovelToon
Paman, Aku Mencintaimu

Paman, Aku Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Enemy to Lovers
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.

Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 - Mencari Jawaban

Tari membuka kartu nama elegan berwarna putih keemasan itu untuk kesekian kalinya. Di sisi kiri tercetak nama “Tirtamarta Kartanegara” dengan font serif mewah, sementara di sisi kanan ada lambang daun berkilau yang tampak seperti logo sebuah kerajaan kecantikan. Ia masih tidak percaya kartu ini kini berada di tangannya.

Di belakang toko, di dapur kecil yang menyatu dengan rumah utama, Tari duduk bersila di kursi rotan reyot milik almarhum neneknya. Secangkir teh melati yang telah dingin dibiarkan terbengkalai di atas meja. Pikirannya tak bisa lepas dari tawaran yang datang kemarin pagi—tawaran yang bisa mengubah seluruh hidupnya.

“Pindah ke Jakarta. Belajar menjadi penerus. Menjadi bagian dari keluarga Kartanegara.”

Tari mendesah panjang. Ia menoleh ke arah jendela kecil yang menghadap ke taman belakang, tempat beberapa pot anggrek tergantung manis. Semua ini… semua yang sederhana tapi ia cintai—rumah tua, toko bunga mungil, dan kehidupannya yang damai di Bandung—akan ia tinggalkan kalau ia menerima tawaran itu.

Tapi bagaimana kalau ia menolaknya?

Toko bunganya sudah lama berjalan di garis tipis antara untung dan rugi. Beberapa bulan terakhir, pemasukan menurun drastis karena kompetitor baru dan harga bunga dari supplier terus naik. Tari bahkan belum membayar lunas tagihan bulan lalu.

Namun tetap saja… Jakarta terasa terlalu asing. Dunia Tirtamarta terlalu besar. Terlalu mewah. Terlalu jauh dari kehidupan yang selama ini ia jalani.

Hari itu Tari memutuskan mengunjungi sahabatnya, Aline, yang tinggal di kawasan Antapani. Aline sudah menikah dua tahun lalu dan kini tengah menikmati hari-hari sebagai ibu baru dari seorang bayi laki-laki bernama Bima. Mereka bersahabat sejak SMA dan hubungan mereka tetap dekat, meski hidup membawa mereka ke jalur berbeda.

“Eh, akhirnya datang juga! Aku kira kamu bakal sibuk terus di toko,” seru Aline begitu membuka pintu.

“Aku butuh udara segar,” jawab Tari pelan.

Aline memperhatikan ekspresi sahabatnya, lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuk. Kamu kelihatan… bingung.”

Tari tersenyum tipis. “Lebih ke… hidupku tiba-tiba kayak sinetron.”

Begitu masuk, Tari langsung disambut aroma khas rumah baru yang masih berbaur dengan wangi bedak bayi. Ruang tamunya rapi, dengan sofa abu-abu muda dan bantal berwarna pastel. Di pojok ruangan, ada keranjang bayi dengan mainan gantung berbentuk awan dan bintang-bintang kecil.

Bima sedang tidur, pipinya tembam dan merah muda.

Tari menghampiri, lalu duduk perlahan di sampingnya. Ia menyentuh tangan mungil bayi itu dengan penuh rasa ingin tahu. “Astaga, dia besar ya sekarang… terakhir aku lihat masih merah banget.”

“Sekarang udah pintar nangis tiap dua jam,” Aline tertawa sambil menuangkan teh. “Udah, cerita. Kenapa kamu bilang hidupmu kayak sinetron?”

Tari menarik napas dalam-dalam, lalu mulai menceritakan semuanya—tentang kunjungan Tirtamarta, foto ibunya, pengakuan mengejutkan, dan tawaran untuk pindah ke Jakarta menjadi penerus bisnis kosmetik.

Aline tidak langsung menanggapi. Ia menatap Tari dengan ekspresi tak percaya.

“Gila… Kartanegara Beauty? Ini kayak plot drama Korea.” Aline mengaduk tasnya mengeluarkan sebuah lipstik. “Ini, ini buatan Kartanegara Beauty, Gila gilaaaa.”

Tari mengangguk pelan. “Aku juga hampir gila.”

“Dan kamu nolak?”

Tari terdiam. “Iya tapi enggak. Aku nggak bisa bayangin ninggalin semua yang aku punya di Bandung. Rumahku, tokoku, Santi, bunga-bunga yang aku rawat sendiri… semuanya. Ini hidupku, Line.”

Aline menghela napas. Ia mengambil tempat duduk di sebelah Tari.

“Tar, kamu tahu aku orang pertama yang akan dukung kamu ngejar apapun yang kamu mau. Tapi dengerin aku baik-baik. Mungkin ini… bukan soal kamu meninggalkan hidupmu. Mungkin ini soal kamu disuruh Tuhan memperjuangkan hidupmu, tapi dari jalur yang beda.”

Tari menatapnya, bingung.

“Tokomu bisa tutup kapan saja kalau kamu terus begini. Kamu kerja siang malam, tapi tagihan tetap numpuk. Kamu hidup pas-pasan. Kamu bahkan nggak punya BPJS, Tar. Kalau kamu sakit, gimana?”

Tari menunduk.

“Kalau tawaran ini bisa jadi jalan buat kamu bangkit—buat menyelamatkan toko itu, buat membangun hidup baru… kenapa harus takut?” Aline melanjutkan.

“Aku takut… kehilangan hidupku,” bisik Tari.

Aline tersenyum dan menyentuh bahu sahabatnya. “Tari yang aku kenal nggak akan pernah kehilangan hidupnya hanya karena pindah kota atau pakai blazer mahal. Kamu tahu siapa dirimu. Dan itu nggak bakal berubah.”

Tari diam. Pikirannya semakin kacau. Namun, ada sesuatu dalam kata-kata Aline yang terasa benar. Ia merasa seperti berdiri di persimpangan jalan yang asing—satu jalur membawa kembali ke kehidupan yang dikenalnya, penuh tantangan tapi familiar. Jalur lain penuh ketidakpastian, tapi mungkin… mungkin saja, itu jalur yang selama ini ditakdirkan untuknya.

“Tar…” Aline menepuk tangannya. “Coba pikirin bukan dari sudut pandang kamu aja. Tapi dari sudut pandang Toko Bunga Dara. Tempat itu butuh diselamatkan. Pegawaimu butuh kamu. Kamu bisa dapat ilmu di Jakarta, pulang ke Bandung suatu hari nanti, dan bangun bisnis lebih besar. Siapa tahu, bisa buka cabang.”

Tari tersenyum kecil. “Kamu pinter banget ngomong kayak motivator, ya.”

Aline mengangkat alis. “Yah, sejak jadi ibu, otak aku otomatis lebih tajam. Harus mikir makanan, popok, imunisasi, semua!”

Mereka berdua tertawa. Suasana menjadi sedikit lebih ringan.

Beberapa saat kemudian, Bima terbangun. Aline langsung menggendongnya dan membawanya ke Tari.

“Nah, nih. Kamu butuh alasan untuk nggak terlalu banyak mikir. Main dulu sama ponakanmu!”

Tari menerima bayi itu dengan hati-hati. Bima menggeliat pelan, menguap kecil lalu menatap Tari dengan mata bulat besar. Tangannya yang mungil mencengkeram jari Tari, dan sesuatu di dalam dada Tari menghangat seketika.

“He’s… perfect,” bisik Tari.

Aline tersenyum sambil duduk di lantai, mengamati keduanya. “Kadang kita baru tahu hidup bisa berubah dalam semalam… pas kita udah punya seseorang atau sesuatu yang kita mau lindungi.”

Tari menatap bayi itu lama, membiarkan tawa kecil dan tangisan pelan Bima mengisi ruang hening di pikirannya. Bayi ini tidak tahu betapa dunia luar bisa begitu rumit. Tapi dari matanya, Tari bisa merasakan harapan. Sederhana. Jujur.

“Line…” Tari berkata pelan. “Kalau kamu di posisiku, kamu bakal pergi?”

Aline tidak butuh waktu lama untuk menjawab. “Aku bakal pergi. Tapi aku nggak bakal lupa jalan pulang.”

Tari terdiam, lalu tersenyum tipis.

Mungkin… mungkin dia memang harus mempertimbangkan ulang tawaran itu

Saat sore menjelang, Tari berpamitan pulang. Ia berjalan kaki kembali ke rumah, melewati deretan rumah-rumah tua dengan pagar kayu dan tanaman rambat yang menjuntai liar. Angin sore menyentuh pipinya, membawa aroma khas Bandung yang lembut dan menenangkan.

Sesampainya di depan rumah, ia berdiri sejenak menatap paviliun kecil tempat tokonya berdiri. Lampu gantung masih menyala. Pot-pot bunga tertata seperti biasa, tapi ada perasaan berbeda yang kini mengisi dadanya.

Tempat ini adalah hidupnya.

Tapi mungkin, untuk menyelamatkan tempat ini…

Ia harus pergi sejenak dari rumah yang ia cintai.

1
Rendi Best
lanjutkan thor🙏🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!