Haii…
Jadi gini ya, gue tuh gay. Dari lahir. Udah bawaan orok, gitu lho. Tapi tenang, ini bukan drama sinetron yang harus disembuhin segala macem.
Soalnya menurut Mama gue—yang jujur aja lebih shining daripada lampu LED 12 watt—gue ini normal. Yup, normal kaya orang lainnya. Katanya, jadi gay itu bukan penyakit, bukan kutukan, bukan pula karma gara-gara lupa buang sampah pada tempatnya.
Mama bilang, gue itu istimewa. Bukan aneh. Bukan error sistem. Tapi emang beda aja. Beda yang bukan buat dihakimi, tapi buat dirayain.
So… yaudah. Inilah gue. Yang suka cowok. Yang suka ketawa ngakak pas nonton stand-up. Yang kadang galau, tapi juga bisa sayang sepenuh hati. Gue emang beda, tapi bukan salah.
Karena beda itu bukan dosa. Beda itu warna. Dan gue? Gue pelangi di langit hidup gue sendiri.
Kalau lo ngerasa kayak gue juga, peluk jauh dari gue. Lo gak sendirian. Dan yang pasti, lo gak salah.
Lo cuma... istimewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoe.vyhxx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kucing dan tikus
Jeevan terus melangkah pelan di koridor panjang yang remang-remang, menggendong Kian layaknya pengantin baru yang baru saja dijemput dari pelaminan. Dada Jeevan menjadi tempat persembunyian sempurna bagi wajah Kian yang kini bersembunyi malu-malu, pipinya merona bagai senja yang malu ditatap langit. Udara malam berhembus lembut menyentuh kulit, tapi tidak ada yang lebih menenangkan daripada kehangatan tubuh Jeevan, yang terasa seperti rumah setelah badai panjang.
"Om... jangan cepet-cepet. Ntar Kian muntah pelukannya kebanyakan," bisik Kian geli, cubitannya mendarat manja di pipi Jeevan.
Jeevan terkekeh, suaranya rendah dan penuh cinta. "Kalau kamu muntah, saya tampung. Saya minum. Soalnya cinta kamu itu mahal, Sayang."
"Om!! Jijik banget ahhh!" Kian tertawa keras sambil memukul pelan dada Jeevan. Tapi matanya berbinar, hatinya seperti dipeluk pelan-pelan dari dalam.
Mereka sampai di teras belakang mansion. Jeevan menendang pelan pintu agar terbuka. Langkah kakinya tenang, tapi matanya menatap penuh cinta ke arah Kian, yang masih setia meringkuk manja di gendongan.
Begitu masuk kamar, aroma lavender menyambut. Kian langsung minta turun, meronta seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri cokelat.
"Udah, Om... malu. Ntar dikira kita habis syuting sinetron episode keseribu ," keluhnya sambil sembunyi di balik rambutnya sendiri.
"Emang kita baru habis syuting… syuting cinta, episode mesra tak berkesudahan," balas Jeevan sambil meletakkan Kian dengan lembut di atas ranjang, seolah Kian adalah porselen rapuh yang paling berharga.
Kian langsung menggulung diri dalam selimut, hanya menyisakan matanya yang mengintip seperti sushi isi rasa baper.
Jeevan berjalan ke meja, membuka kotak P3K. “Kakinya mana, Sayang?”
“Ngapain?” sahut Kian, suaranya menggema dari dalam gulungan selimut.
“Mau saya tambalin perasaan kamu yang luka karena cemburu. Eh, maksudnya kaki kamu, yang lecet,” jawab Jeevan sambil terkekeh geli.
Dengan enggan tapi penuh manja, Kian menyodorkan kakinya. Saat antiseptik menyentuh kulit, desisan kecil lolos dari bibirnya.
"Aw…," katanya lirih.
“Ciee, anak kuat udah mulai lemah kalau disayang,” bisik Jeevan lembut, lalu meniup luka Kian dengan perhatian yang begitu tulus
Setelah selesai membalut luka, Jeevan naik ke ranjang. Ia menyelinap ke dalam selimut seperti sedang mencari harta karun paling berharga. Tangannya langsung melingkar di pinggang Kian, memeluknya dari belakang, mengisi setiap celah yang kosong dengan kehangatan.
“Kalau kamu ngilang lagi, saya pasang GPS di telapak kaki kamu,” gumam Jeevan, suaranya nyaris seperti angin yang menyapa lembut telinga Kian.
Kian tertawa pelan. “Yaudah sekalian pasang alarm. Kalau Kian cemberut, bunyi: ‘Om ganteng panggil Kian sayang sekarang juga!’
Jeevan mencium ujung telinga Kian singkat. “Tiap jam juga saya panggil. Biar kamu inget, yang punya hati kamu cuma saya. Dan saya enggak akan pernah bosan jadi rumah tempat kamu pulang.”
Mereka diam sejenak, tenggelam dalam pelukan yang bicara lebih dari kata-kata. Detak jantung mereka berpadu seperti irama lagu cinta yang hanya mereka berdua tahu liriknya.
Kian menarik napas dalam, lalu berbisik, “Om…” “Jangan pernah berhenti jadi tempat aku kembali, ya?”
Jeevan menarik Kian lebih dekat, seolah tubuh mereka belum cukup rapat.
“Selama kamu masih percaya sama cinta, saya akan selalu jadi tempat kamu pulang. Bahkan kalau dunia berubah sekalipun.”
......................
.
.
.
Cahaya matahari pagi menyelinap malu-malu melalui celah tirai, menari-nari di atas selimut putih yang membungkus dua insan yang masih terlelap. Suara burung terdengar samar, menjadi latar musik lembut untuk pagi yang penuh cinta.
Kian membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih terjebak dalam pelukan Jeevan, yang kini tertidur dengan wajah damai, bibirnya sedikit terbuka, dan rambutnya sedikit berantakan namun tetap menawan. Dada Jeevan naik turun pelan, menenangkan seperti irama ombak di pantai sepi.
Kian tersenyum kecil, jemarinya mengusap pelan garis rahang Jeevan. “Gantengnya kebangetan sih, Om. Pantes Kian nggak bisa pindah ke lain hati,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Tanpa membuka mata, Jeevan berbisik, “Jangan pindah, ya. Soalnya GPS-nya belum dipasang, nanti saya susah nyari.”
Kian langsung tertawa kecil. “Om pura-pura tidur ya?!”
Jeevan membuka satu mata dan tersenyum geli. “Gimana bisa tidur kalau pelukanku isinya orang yang bikin jantung saya marathon terus?”
Kian menenggelamkan wajahnya ke dada Jeevan lagi. Rasanya seperti waktu berhenti sejenak untuk mereka berdua. Tak ada notifikasi, tak ada gangguan, hanya dua hati yang saling menjaga dan mencintai.
Sambil mengusap punggung Kian, Jeevan berbisik, “Kamu tahu nggak? Tiap pagi bangun dan lihat kamu di pelukan saya, rasanya kayak... saya baru dikasih hadiah paling berharga dari semesta.”
Kian memejamkan mata. “Kalau gitu... jangan pernah lepasin aku, Om. Soalnya aku juga nggak mau bangun tanpa Om di sini.”
......................
.
.
.
Pagi itu terlalu manis untuk dilupakan. Matahari masuk dari jendela besar ruang makan, memantulkan kilau hangat di meja yang penuh dengan roti panggang, telur, dan buah segar. Jeevan duduk di samping Kian, tangannya sibuk menuangkan susu ke gelas bening, lalu menyodorkannya tanpa diminta.
Awalnya kepala pelayan ingin mengerjakan tugasnya seperti biasanya. Namun Jeevan ingin menyiapkan sendiri hanya untuk kian. Untuk yang lainnya seterserah.
Dari ujung meja, Bian menyendok serealnya dengan wajah datar. Sorot matanya secara tak sengaja mengarah ke Kian dan Jeevan, lalu tertangkap oleh Azel yang duduk di sebelahnya. Dengan cepat, Azel menyenggol kaki Bian keras.
“Matanya dijaga, bro. Itu bukan pemandangan umum,” sindir Azel sambil nyengir.
Bian langsung mendengus dan menunduk, menyendok sereal lebih cepat, suaranya nyaring seperti pertanda protes dalam diam.
Beberapa menit kemudian, Jeevan menepuk lembut bahu Kian. “Sayang, habis ini saya harus pergi bareng Darel. Kamu belajar ya sama Bian. Dia udah siap bantu kamu.”
Kian hanya mengangguk kecil, senyumnya menghilang sedikit. Tatapan mata Jeevan hanya sebentar, dan detik berikutnya ia sudah berdiri, mengenakan jas dan pamit ke orang-orang lain, tapi tidak pada Kian secara pribadi. Tak ada ciuman di kening, tak ada bisikan manja seperti biasanya
.
.
......................
.
.
Jam sembilan pagi, mereka mulai belajar di ruang baca pribadi yang sudah disiapkan Jeevan. Dindingnya tinggi dengan rak buku menjulang, lantainya karpet empuk, dan di pojok ruangan ada meja besar dengan dua kursi yang kini ditempati Bian dan Kian.
“Ini gimana cara ngerjainnya?” tanya Kian sambil menunjuk salah satu soal matematika yang membingungkannya. Suaranya lelah.
Bian melirik cepat. “Tadi kan udah diajarin. Masa lupa?”
Kian menyandarkan tubuhnya ke kursi, frustasi. “Duh... namanya juga otak. Kalo nggak diasah tiap menit ya lupa. Lagian lo ngajarnya juga asal. Gue jadi susah nangkepnya!”
Bian menarik napas, tapi belum sempat membalas, suara langkah terdengar di balik pintu. Mouris, kepala pelayan pribadi untuk Kian, sedang menguping diam-diam bersama Azel yang mencuri-curi waktu istirahatnya.
"Mouris.." panggil kian kepada kepala pelayan.
"Pengen makan.." rengek kian dan diangguk paham oleh mouris.
Dengan cepat mouris membawa camilan manis keatas meja belajarnya.
"Lagiii...??!!!" Bian marah.
Bian menatap Kian dengan nada tak suka. “Lo beneran seenaknya sendiri, ya. Mentang-mentang Pak Jeevan suka sama lo, lo pikir bisa minta apa aja kayak raja kecil?”
Kian menatap Bian tajam. Amarah mulai mendidih.
“Gue belajar dari jam 9 pagi sampai 4 sore, break cuma buat makan. Malemnya lanjut lagi dari jam 7 sampai jam 10. Lo pikir…” Kian berdiri, menunjuk ke kepalanya dengan emosi, “otak gue ini tahan belajar terus tanpa henti?”
Suaranya pecah sedikit. Matanya mulai memerah, dan Bian yang tadinya nyolot mulai diam, menyadari nada suara Kian berubah.
“Lo ngajar juga asal. Nggak ada penjelasan yang jelas, lo cuma baca doang dari catetan. Gimana gue bisa ngerti?” Kian kembali duduk, membenamkan wajahnya di tangan. Bahunya sedikit bergetar, tapi ia berusaha menahan tangis.
Di balik pintu, Azel hampir tertawa tapi cepat-cepat menutup mulut. Mouris menggeleng sambil berbisik, “Kucing dan tikus. Nggak bisa satu ruangan tanpa ribut.”
Kian bangkit lagi, berjalan bolak-balik seperti singa dalam kandang. Ia melirik Bian yang juga mulai terlihat kesal.
“Lo tuh ya…” Bian menunjuk Kian, mencoba menegaskan sesuatu, tapi kalimatnya terpotong.
Kian berjalan mendekat cepat, wajahnya setengah kesal, setengah menantang.
“Apa? Mau apa lo, ha?” katanya sambil menggeleng dan mendekat ke wajah Bian, nadanya mengejek. “Pura-pura pintar, tapi ngajarin aja nggak becus.”
Bian berdiri juga, wajahnya kini sejajar dengan Kian. Mata mereka saling menantang, nyaris bersentuhan. “Kalo lo nggak suka cara gue ngajarin, belajar aja sendiri. Gampang kan?”
Kian menahan napas. Jantungnya berdebar keras bukan hanya karena emosi. ada yang lebih rumit dari itu. Ia lelah, kesal, dan ada rindu yang menggumpal karena Jeevan pergi begitu saja tadi pagi tanpa sepatah kata. Tapi ia juga malu, karena Bian melihat sisi dirinya yang sedang kacau.
Suasana jadi hening sejenak. Sampai akhirnya Mouris masuk membawa camilan, disusul Azel yang pura-pura mau membersihkan rak buku.
“Wah, suasananya... hangat banget, ya?” celetuk Azel, mencoba mencairkan suasana.
Kian hanya melengos, duduk lagi, dan mulai membuka buku pelan-pelan. Ia tak bicara. Tapi hatinya masih kacau.
Sementara itu, Bian masih berdiri, memandangi Kian dalam diam. Untuk pertama kalinya, ia sadar. di balik mulut tajam dan gaya manja Kian, ada seseorang yang sedang berjuang keras untuk bertahan. Dan ia mulai bertanya-tanya… kenapa hatinya ikut merasa bersalah?
.
.
.
...****************...