Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 18 Rahasia dari Masa Lalu
Langit sore itu tampak muram, seolah menyimpan firasat tentang sesuatu yang akan datang. Awan menggantung rendah di atas kampus, membuat suasana sedikit sendu. Galuh dan Saras baru saja pulang dari kelas sore yang cukup melelahkan. Mereka berjalan berdampingan menuju kos, membiarkan langkah kaki mereka menapaki jalan setapak yang basah oleh sisa gerimis.
"Lo yakin enggak mau mampir dulu ke kantin? Gue denger tadi lo belum makan siang," kata Saras, menoleh ke arah Galuh.
Galuh menggeleng pelan. "Nggak, gue pengen langsung pulang aja. Lelah."
Saras tidak banyak bertanya. Tapi dari nada suara Galuh, ia tahu ada yang tidak biasa. Sejak pagi tadi, cowok itu tampak lebih pendiam dari biasanya. Bahkan saat mereka bertemu di kelas, Galuh lebih banyak diam dan melamun.
Setibanya di rumah, Galuh langsung masuk kamar tanpa sepatah kata pun. Saras yang biasanya santai kini merasa gelisah. Ada sesuatu yang disembunyikan Galuh, dan itu bukan hal sepele.
Saras berdiri di depan pintu kamar Galuh. Ia ragu sejenak, lalu mengetuk pelan.
"Galuh?"
Tidak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi, sedikit lebih keras. "Gue tahu lo ada di dalam. Kalau lo nggak mau cerita, nggak apa-apa. Tapi jangan pendam sendiri. Gue... di sini."
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka perlahan. Galuh berdiri di ambang pintu, wajahnya tampak lelah dan matanya sayu. Ia mempersilakan Saras masuk.
Di dalam kamar, suasana hening. Galuh duduk di tepi tempat tidur, sementara Saras duduk di kursi kecil dekat meja belajar.
"Lo kelihatan aneh hari ini," Saras membuka suara. "Ada apa?"
Galuh menatap lantai sejenak, seolah sedang menyusun kata-kata.
"Ada yang datang ke kampus tadi pagi. Nyariin gue," katanya pelan.
Saras menegang. "Siapa?"
"Orang dari masa lalu gue," jawab Galuh lirih. "Namanya Alvin. Dulu dia temen deket gue... sebelum semuanya kacau."
Saras menunggu, tidak ingin memotong.
"Dia dateng bukan buat ketemu gue. Tapi buat... ngingetin sesuatu."
Galuh menghela napas panjang.
"Dulu gue pernah terlibat kasus di kampus lama gue. Bukan kriminal sih... tapi cukup buat bikin nama gue jelek. Alvin itu satu dari sedikit orang yang tahu semuanya. Dan sekarang dia datang, katanya dia pindah ke kampus ini juga."
Saras menatap Galuh, mencoba memahami situasinya.
"Terus... lo takut dia bakal buka semua itu?"
Galuh mengangguk. "Gue takut lo denger dari orang lain. Gue takut semua berubah."
Saras bangkit dari kursinya, lalu duduk di lantai tepat di depan Galuh. Ia menatap langsung ke mata cowok itu.
"Galuh, denger ya. Gue enggak peduli masa lalu lo segelap apa. Yang gue tahu, lo yang sekarang bukan orang yang sama kayak yang dulu. Lo udah berusaha berubah, dan itu yang penting."
Galuh menunduk. "Tapi kalau lo tahu semua detailnya, lo mungkin bakal mikir beda."
Saras menggenggam tangannya. "Kalau lo siap, gue akan dengerin semuanya. Tapi kalau belum, gue akan tunggu. Tapi satu hal yang pasti, gue enggak akan ninggalin lo cuma karena masa lalu lo."
Perlahan, Galuh merasa beban di dadanya mulai berkurang. Ia tak menyangka Saras bisa sekuat itu, bahkan saat menghadapi kebenaran yang belum jelas bentuknya.
---
Beberapa hari kemudian, suasana kampus kembali ramai. Alvin mulai muncul di beberapa kelas. Ia memang tidak berada di jurusan yang sama dengan Galuh, tapi keberadaannya cukup mengganggu.
Suatu sore, saat Saras sedang duduk sendirian di kantin, Alvin datang menghampiri.
"Saras, kan?" tanyanya dengan senyum yang tak sepenuhnya tulus.
Saras menoleh. "Iya. Lo siapa?"
"Nama gue Alvin. Temennya Galuh dulu... waktu dia kuliah di Bandung."
Saras mengangguk. Ia tahu inilah sosok yang dimaksud Galuh.
"Gue cuma pengen ngobrol bentar," lanjut Alvin. "Gue dengar lo deket sama dia sekarang."
Saras tidak langsung menjawab.
"Galuh itu temen gue. Dulu dia orang yang luar biasa. Pinter, karismatik. Tapi dia juga... punya sisi gelap. Lo harus hati-hati."
Saras menatap Alvin, mencoba menebak maksud di balik kata-katanya.
"Kalau lo beneran temen dia," kata Saras dingin, "lo gak akan dateng cuma buat nyebar bayangan masa lalunya. Orang yang beneran peduli, bantuin, bukan malah ngancem."
Alvin tertawa pelan. "Lo cewek kuat, ya. Nggak heran dia milih lo. Tapi percaya deh, cepat atau lambat, sisi gelap itu bakal kelihatan."
Saras berdiri, merapikan tasnya.
"Gue gak takut sama masa lalunya. Yang gue lihat sekarang, dia berusaha berubah. Dan itu cukup buat gue."
Saras meninggalkan Alvin begitu saja, tanpa menoleh lagi.
---
Malam harinya, Saras menceritakan pertemuan itu pada Galuh. Cowok itu hanya mengangguk.
"Gue denger dia udah mulai cerita ke beberapa orang juga," kata Galuh.
"Lo nggak harus diem aja," ujar Saras. "Kalau lo siap, lo bisa mulai cerita. Bukan buat ngebela diri, tapi biar lo gak terus-terusan dihantui."
Galuh menatap Saras, lalu berdiri dan berjalan ke rak bukunya. Ia mengambil sebuah kotak kecil, usang, dan meletakkannya di meja.
"Ini... semua dokumen tentang kasus gue dulu. Surat skorsing, bukti-bukti, bahkan catatan dari dosen pembimbing gue."
Saras membuka kotak itu dengan hati-hati. Ia membaca lembar demi lembar, perlahan.
Dari situ, ia tahu bahwa Galuh pernah menjadi korban dari fitnah dan manipulasi dalam proyek skripsi kelompoknya. Ia dijadikan kambing hitam karena satu kesalahan teknis, dan dosen saat itu terlalu cepat mengambil keputusan. Nama Galuh hancur sebelum ia sempat membela diri.
Saras menatap Galuh, matanya berkaca-kaca.
"Lo nggak salah," katanya pelan. "Lo cuma... dijebak."
Galuh mengangguk. "Tapi tetap aja, gue nyerah waktu itu. Gue lari, gue keluar, gue hilangin semua kontak. Gue bahkan sempet nyalahin diri sendiri selama bertahun-tahun."
Saras berdiri dan memeluk Galuh dari belakang.
"Sekarang lo udah bangkit lagi. Dan gue bakal tetap di sini, buat temenin lo jalan ke depan."