"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tuan
...Antari...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
"Kamu cewek yang menarik, Maurice. Mama seneng banget…"
Suara nyokap masih terus melemparkan pujian ke Maurice, sementara gue nyeruput whiskey pelan-pelan.
Semua orang sudah cabut, tinggal gue, bokap-nyokap, sama cewek gue di ruang tamu, ngobrol santai. Nyokap kelihatan sumringah, jelas banget kalau Maurice sudah lebih dari cukup buat standar dia.
Bokap akhirnya angkat tangan, mengeluh capek, terus pergi ke kamar.
"sudah waktunya tidur," kata nyokap ke Maurice, terus berdiri. "Mama bakal minta Ellaine siapin kamar tamu buat kamu."
Gue langsung nangkep pergelangan tangannya, nahan dia pelan. "Nggak usah, Maurice tidur sama Antari."
Gue lihat Maurice langsung merah padam, matanya nunduk. Senyum sinis keangkat di bibir gue, mengingat semua hal yang sudah gue lakuin ke dia.
Nyokap langsung pasang muka nggak setuju. "Antari…"
"Kita sudah dewasa, Ma. Mama nggak perlu jagain kesucian siapa pun di sini."
Gue lepas tangannya, berdiri. "Biar Antari aja yang minta Ellaine bawain handuk sama beberapa camilan ke kamar."
Nyokap kelihatan mau protes, tapi dengan Maurice di situ, dia nggak bakal berani. Gue taruh gelas whiskey di meja, masukin tangan ke saku celana, terus jalan ke dapur.
Begitu sampai di ambang pintu, gue berhenti. Ellaine lagi beres-beres, membelakangi gue.
Waktu memang sudah merubah dia. Badannya sekarang jauh lebih feminin. Lebih dewasa. Lekuknya makin kelihatan. Gaun ketat yang dia pakai membentuk tubuhnya seperti kulit kedua. Rambut merah menyalanya dikuncir tinggi.
Dia bukan lagi cewek lima belas tahun yang dulu gue suka. Sekarang dia perempuan yang bakal kelihatan luar biasa seksi di ranjang gue. Perempuan yang bakal gue tiduri habis-habisan.
Bakal gampang banget buat membuka gaun itu…
Sial.
Gue geleng-geleng kepala, ngusir pikiran bodoh itu. Akhirnya gue buka mulut.
"Capek?"
Gue lihat bahunya menegang sebelum dia memutarkan badan ke arah gue. Matanya yang penuh api itu melihat gue dengan…
Apa, ya?
Takut?
Nafsu?
Gue nggak tahu, tapi suasana di antara kita berubah drastis.
Tegang.
"Nggak." Suaranya datar, tapi tajam.
Sebagian dari diri gue pengen nanya kabar nyokapnya, kuliahnya bagaimana, tapi buat apa?
Ellaine sudah bukan temen gue lagi. Dia sekarang cuma pekerja di rumah ini, dan gue bakal pastiin dia ingat itu.
"Nggak?" Gue nyengir. "Kayaknya lo harus bilang ‘Nggak, Tuan.’ atau lo lupa bagaimana cara ngomong ke majikan yang tinggal di rumah ini?"
Tatapannya langsung mengeras, jelas dia kepengen banget membalas, tapi dia tahan.
"Nggak, Tuan." Dia ngelanjutin kata terakhirnya dengan nada penuh kemarahan, tapi anehnya, denger dia ngomong gitu malah bikin gue seneng.
Ellaine selalu sebuas warna merah di rambutnya. Susah buat menundukkan dia, dan itu justru bikin gue makin pengen ngelakuin itu.
"Bawain handuk sama camilan ke kamar gue!" perintah Gue dengan nada dingin.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
...Ellaine...
...────୨ৎ────જ⁀➴...
Nggak, Tuan?
Serius, sih?
Jelas banget Antari sudah nggak suka sama gue. Gue nggak percaya dia masih dendam sama sesuatu yang sudah kejadian lama banget. Sudah seharusnya dia move on, atau mungkin… dia sudah lupa dan cuma pengen ngerendahin gue karena gue sekarang cuma pekerja di rumah ini.
Dengan malas, gue ketuk pintu kamarnya pakai tangan yang kosong, karena di tangan satunya, gue membawa tumpukan handuk di lengan dan nampan berisi camilan di tangan. Gue telan ludah. Ada sesuatu yang bikin gue gelisah buat berdiri di depan pintu ini.
Pintu terbuka, dan pas gue lihat Antari, gue refleks menggenggam nampan lebih kuat. Kemejanya terbuka hampir sampe perut, nunjukin dada bidangnya. Gue buru-buru mengalihkan pandangan, terus mengulurkan bawaan gue.
"Ini handuk sama camilannya, Tuan."
Gue benci harus manggil dia kayak gitu.
Dia nggak langsung ambil, malah jalan masuk ke kamarnya. "Taruh handuk di kasur, camilannya di meja samping."
Gue males banget masuk, tapi tetep nurut. Baru aja gue masuk, suara air dari shower kedengeran. Gue menyipitkan mata, lalu…
"Sayang, lama banget sih!"
Suara cewek dari kamar mandi.
Oh, jadi ada orang lain di sini.
Gue nggak tahu kenapa, tapi tiba-tiba satu kenangan muncul di kepala gue.
Gue sama dia, bertahun-tahun lalu, duduk di lantai kamarnya, main monopoli.
Gue waktu itu sempet melihat sekeliling kamar yang berantakan.
"Lo harusnya beresin kamar lo. Gue denger kamar cowok berantakan bisa bikin cewek kabur."
Antari waktu itu langsung menjawab dengan yakin "Nggak bakal ada cewek yang masuk kamar gue."
Gue langsung mengernyit. "Terus gue apa?"
Dia natap gue sebentar sebelum jawab "Kecuali lo."
Kayaknya sekarang gue sudah bukan pengecualian lagi, ya?
Ada sesuatu yang nggak enak di perut gue, tapi gue paksa buat nggak peduli. Harusnya gue nggak peduli.
Gue buru-buru taruh handuk di kasur dan camilan di meja, fokus biar bisa cepet keluar dari sini. Tapi pas gue balik badan, gue langsung berhenti.
Antari sudah pindah posisi dan sekarang berdiri di depan pintu. Nutupin jalan keluar gue.
Apa-apaan dia?
Gue narik napas dalam, terus jalan ke arahnya. "Permisi, Tuan."
Dia diam aja.
Suara shower masih terdengar, sementara dia… mulai membuka sisa kancing kemejanya. Otot di bahunya kelihatan tegang waktu dia melepas kemeja sepenuhnya. Gue buru-buru mengalihkan pandangan ke tembok, ngerasain pipi gue panas.
Apa-apaan sih ini?!
Gue denger dia melangkah lebih dekat. Gue akhirnya berani natap dia lagi.
"Tuan…"
Dia condong ke arah gue. Gue hampir dorong dia menjauh, tapi dia malah nyodorin kemejanya ke gue sambil berbisik di telinga gue:
"Cuci ini. Ini salah satu baju favorit gue."
Abis itu, dia jalan ke kamar mandi. "Tutup pintunya pas keluar."
Gue bengong satu detik sebelum buru-buru keluar.
Gue jalan cepat di lorong, masih ngerasa panas di pipi, sampe tiba-tiba
...Brakkkk...
Gue nabrak seseorang.
"Eh, lo kenapa buru-buru banget?"
Asta.
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔
btw, apa asta suka sama ella ya🤔
kayaknya sih antari blm bisa move on dari kisah 5 thn lalu deh.
sabar ya ellaaaa