NovelToon NovelToon
Admiral Of Bismarck: The Second War Rises In Another World

Admiral Of Bismarck: The Second War Rises In Another World

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Reinkarnasi / Kelahiran kembali menjadi kuat / Perperangan / Summon / Barat
Popularitas:304
Nilai: 5
Nama Author: Akihisa Arishima

Bismarck telah tenggelam. Pertempuran di Laut Atlantik berakhir dengan kehancuran. Kapal perang kebanggaan Kriegsmarine itu karam, membawa seluruh kru dan sang laksamana ke dasar lautan. Di tengah kegelapan, suara misterius menggema. "Bangunlah… Tebuslah dosamu yang telah merenggut ribuan nyawa. Ini adalah hukumanmu." Ketika kesadarannya kembali, sang laksamana terbangun di tempat asing. Pintu kamar terbuka, dan seorang gadis kecil berdiri terpaku. Barang yang dibawanya terjatuh, lalu ia berlari dan memeluknya erat. "Ana! Ibu kira kau tidak akan bangun lagi!" Saat melihat bayangan di cermin, napasnya tertahan. Yang ia lihat bukan lagi seorang pria gagah yang pernah memimpin armada, melainkan seorang gadis kecil. Saat itulah ia menyadari bahwa dirinya telah bereinkarnasi. Namun kali ini, bukan sebagai seorang laksamana, melainkan sebagai seorang anak kecil di dunia yang sepenuhnya asing.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Akihisa Arishima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Drachenburg Kota Kebebasan

Drachenburg, sebuah kota kecil yang terletak di selatan benua Eporue—daratan luas yang membentang dari utara ke selatan, dikelilingi oleh samudra luas serta gugusan pulau-pulau kecil yang tersebar di cakrawala. Kota ini berdiri di antara perbukitan hijau yang menjulur hingga ke tepian sungai, dengan benteng-benteng batu kokoh yang telah menjadi saksi bisu berbagai peristiwa bersejarah selama berabad-abad.

Meskipun ukurannya tak sebanding dengan kota-kota besar di pusat benua, Drachenburg memiliki daya tarik tersendiri. Letaknya yang strategis di jalur perdagangan menjadikannya tempat pertemuan berbagai ras dan budaya, menciptakan sebuah oasis kedamaian di tengah ketegangan yang masih mengakar di banyak wilayah Eporue.

Namun, di balik kedamaiannya, Drachenburg adalah simbol dari perjuangan dan perubahan. Di bawah kepemimpinan Viscount Heinrich von Siegfried, kota ini berkembang menjadi tempat di mana batasan ras tidak lagi menjadi penghalang, berbeda dengan kebanyakan wilayah bangsawan yang masih terikat oleh tradisi dan diskriminasi.

Meski hanya sebuah wilayah kecil, Drachenburg adalah rumah bagi banyak ras yang kini hidup berdampingan dengan damai. Semua itu berkat kebijakan Heinrich, yang selama lima tahun terakhir berusaha mewujudkan impian yang pernah dianggap mustahil—membangun kota di mana semua orang, tanpa memandang asal dan darah mereka, dapat hidup dengan bebas dan bermartabat. Keputusan itu semakin dikuatkannya setelah kelahiran putri pertamanya, Anastasia, yang menjadi simbol harapan bagi masa depan yang lebih baik.

Sejak mengambil alih posisi kepala keluarga, Heinrich kini menyandang gelar Viscount dan memimpin dengan kebijaksanaan. Namun, di balik wibawanya sebagai pemimpin, ada satu hal yang selalu ia simpan erat di hatinya—keinginannya untuk membawa kembali istri pertamanya, Seraphina, ke rumah mereka.

Seraphina, seorang Demi-Human, terpaksa meninggalkan Drachenburg karena aturan bangsawan yang tak memberi tempat bagi mereka yang bukan manusia. Perpisahan itu bukan keinginannya, bukan pula keinginan Heinrich, tetapi pada saat itu, mereka tak memiliki pilihan lain .

Namun, Heinrich tak pernah menganggapnya sebagai akhir. Ia bersumpah, suatu hari nanti, ia akan menghapus aturan kuno yang mengekang keluarganya dan membawa Seraphina kembali ke tempat yang seharusnya—di sisinya.

Yang tidak ia sadari saat itu adalah, Seraphina tengah mengandung anak mereka.

Tak ingin Seraphina menghadapi dunia sendirian, Heinrich mempercayakan seorang pria yang paling ia percaya untuk menjaganya—Hans.

Hans bukan sekadar seorang pengawal. Ia adalah sahabat dan tangan kanan yang sangat dipercayainya. Setia, tangguh, dan tak pernah mempertanyakan perintah tuannya. Ketika Heinrich memintanya untuk menjaga Seraphina, Hans tidak hanya menganggapnya sebagai tugas, melainkan sebagai janji yang harus ia tepati, apapun yang terjadi.

Setiap bulan, tanpa absen, Hans mengirimkan laporan kepada Heinrich. Ia memastikan bahwa Seraphina hidup dengan baik, bahwa tak ada yang berani menyentuhnya, dan bahwa anak yang belum lahir itu akan datang ke dunia dengan selamat.

Namun, hari itu, laporan yang ia bawa bukan sekadar kabar biasa.

Di bawah langit yang kelam, dengan napas tersengal dan pakaian basah oleh hujan, Hans memacu kudanya secepat mungkin menuju Drachenburg. Perjalanan yang seharusnya memakan waktu dua hari, ia tempuh dalam dua belas jam. Tanpa tidur, tanpa istirahat—karena ada satu pesan yang harus ia sampaikan, dan ia tidak boleh terlambat.

Saat tiba di hadapan Heinrich, ia langsung berlutut, suaranya masih terengah.

“Tuan Heinrich… Nona Seraphina telah melahirkan… seorang anak perempuan.”

Sejenak, waktu terasa berhenti. Heinrich menatap Hans dengan mata yang membelalak, sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya.

“Seraphina… melahirkan?” suaranya bergetar.

Hans mengangguk cepat. “Ya, Tuan. Anak perempuan yang sehat, dan Nona Seraphina juga dalam keadaan baik.”

Heinrich tak mampu berkata-kata. Perasaan yang selama ini terpendam di dadanya meledak begitu saja—campuran antara kebahagiaan, haru, dan rasa bersalah yang menghantam hatinya. Ia tidak ada di sana saat putrinya lahir. Ia tidak ada di sisi Seraphina ketika wanita itu menghadapi semuanya sendirian.

Liliana, yang berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya erat. “Kalau begitu, kita harus segera ke sana.”

Tanpa menunggu lebih lama, Heinrich dan Liliana bergegas ke desa tempat Seraphina tinggal. Dan saat mereka tiba, untuk pertama kalinya, Heinrich melihat putrinya—seorang bayi mungil yang tertidur lelap dalam pelukan ibunya.

Heinrich mendekat perlahan, matanya dipenuhi air mata kebahagiaan. "Seraphina... dia sangat cantik."

Seraphina tersenyum lemah, lalu menatap suaminya dengan penuh kasih. "Dia anak kita, Heinrich."

Liliana ikut mendekat, menatap bayi itu dengan kagum. "Apa kau sudah memilih nama untuknya?"

Seraphina mengangguk pelan. "Anastasia."

"Anastasia... Anastasia von Siegfried." Heinrich mengulangi nama itu dengan lembut. "Wanita yang terlahir dari garis keturunan pahlawan. Nama yang indah."

Saat itu juga, Heinrich bersumpah.

Ia akan menghapus semua batasan yang memisahkan keluarganya. Ia akan mengubah Drachenburg menjadi tempat di mana tidak ada lagi diskriminasi.

Karena hari itu, bukan hanya Anastasia yang lahir.

Hari itu, lahir pula tekad seorang ayah yang tak akan membiarkan dunia mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh ia cintai.

Di sebuah kamar sederhana yang diterangi cahaya lilin, Seraphina duduk di kursi dekat jendela, mengayun-ayunkan Anastasia yang tertidur lelap dalam pelukannya. Di seberangnya, Liliana duduk di tepian ranjang, tatapannya menerawang ke luar, ke arah bulan yang bersinar lembut di langit malam.

Seraphina tersenyum kecil, lalu menoleh ke arah Liliana. “Apa yang kau pikirkan?” tanyanya dengan suara lembut.

Liliana tersentak sedikit, seolah baru menyadari dirinya tengah diperhatikan. “Tidak ada,” jawabnya pelan, namun jelas ada kebohongan dalam nada suaranya.

Seraphina tertawa kecil. “Jangan berbohong. Aku sudah mengenalmu cukup lama, Liliana.” Ia menepuk tempat di sampingnya, mengisyaratkan agar Liliana mendekat. “Bicaralah padaku.”

Liliana menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan mendekat dan duduk di samping Seraphina. “Aku bahagia untukmu,” ujarnya akhirnya. “Aku benar-benar bahagia melihat kau dan Anastasia… Tapi, jauh di dalam hatiku, aku juga ingin merasakan kebahagiaan yang sama. Aku ingin memiliki anak dari Heinrich.”

Seraphina menatapnya dengan penuh pengertian. “Tentu saja kau menginginkannya. Itu wajar.”

“Tapi… aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya pada Heinrich.” Liliana tersenyum malu. “Dia selalu sibuk, selalu memikirkan kota ini… Aku takut jika aku mengatakannya secara langsung, dia akan menganggapnya bukan prioritas.”

Seraphina terkekeh kecil, menatap Liliana dengan tatapan penuh arti. “Liliana, kau ini istri Heinrich. Tidak perlu menunggu dia menyadarinya sendiri.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, senyum jahil tersungging di bibirnya. “Kau hanya perlu… sedikit menggoda.”

Liliana mengerutkan kening, ragu. “Menggoda?”

Seraphina tertawa ringan, matanya berbinar nakal. “Nyahahahaha~ Itu benar! Heinrich itu orangnya tidak tahan kalau digoda, apalagi kalau itu darimu.”

Liliana menunduk, pipinya mulai merona. “Aku tidak yakin bisa…”

Seraphina menggeleng, masih tersenyum. “Percayalah, kau bisa.” Ia menepuk punggung tangan Liliana dengan lembut. “Buat dia mengingat bahwa kau adalah wanita yang ia cintai. Sentuh dia dengan lembut, tatap dia dalam-dalam, dan bisikkan sesuatu yang membuatnya tidak bisa menolakmu.”

Liliana menggigit bibirnya, hatinya berdebar. “Tapi… bagaimana kalau dia terlalu sibuk?”

Seraphina menaikkan alis. “Liliana, bukan hanya aku, kau juga istrinya. Kau tidak butuh alasan untuk mendekatinya.” Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, berbisik dengan nada menggoda. “Kenakan gaun yang sedikit terbuka, duduk di dekatnya, dan sentuh lengannya dengan lembut. Kalau perlu, buat suaramu sedikit lebih manja.”

Liliana semakin memerah, tetapi tak bisa menahan senyum kecil yang mulai muncul di wajahnya. “Kau terdengar sangat ahli dalam hal ini.”

Seraphina menyandarkan tubuhnya ke kursi, tertawa puas. “Tentu saja. Aku sudah cukup lama bersama Heinrich untuk tahu kelemahannya.” Ia melirik Anastasia yang tertidur di pelukannya. “Lagipula, aku ingin putriku punya adik untuk bermain.”

Liliana tertawa pelan, sedikit rasa gugupnya mulai menghilang. Dengan napas dalam, ia akhirnya mengangguk. “Baiklah… Aku akan mencobanya.”

Seraphina tersenyum puas. “Itu semangat yang kuharapkan.”

Malam itu, dengan tekad baru dan debaran di dada, Liliana melangkah menuju kamar Heinrich—siap untuk melakukan apa yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.

Liliana menundukkan wajah, pipinya mulai merona. “Seraphina… aku tidak pandai melakukan hal seperti itu.”

Seraphina terkekeh. “Oh, percayalah, kau lebih mampu daripada yang kau kira.” Ia menyandarkan diri ke kursi dan menatap Liliana dengan senyum penuh arti. “Malam ini, datangilah Heinrich. Buat dia kehilangan akal sehatnya.”

Liliana masih tampak ragu, tetapi ada percikan keberanian di matanya. Ia menggigit bibirnya sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah… Aku akan mencobanya.”

Seraphina tersenyum puas. “Bagus. Jangan terlalu lembut, tapi juga jangan terlalu agresif.” Ia menatap bayi dalam pelukannya sejenak sebelum kembali menoleh ke Liliana. “Dan jangan khawatir soal suara gaduhnya nanti… Aku tidak terlalu memperdulikannya.”

Liliana menatap Seraphina dengan mata membelalak, sebelum akhirnya tertawa malu-malu. “Kau benar-benar keterlaluan.”

Seraphina hanya mengangkat bahu, masih dengan senyum menggoda di wajahnya. “Aku hanya ingin memastikan kau mendapatkan apa yang kau inginkan. Lagipula, aku ingin Anastasia punya adik untuk bermain.”

Liliana tersenyum lebar. Malam itu, dengan debaran jantung yang lebih cepat dari biasanya, ia bersiap menemui suaminya—dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya.

"Heinrich..." suaranya berbisik, hampir seperti nyanyian malam yang menggoda. "Malam ini... milik kita, bukan?"

Heinrich menatapnya, matanya menyelidik sebelum akhirnya tersenyum samar. Ia tak menjawab, hanya menarik Liliana ke dalam dekapannya, jemarinya menyusuri lekuk wajah istrinya dengan kelembutan yang membuat jantung Liliana berdebar kencang.

Astaga! aku lupa tentang seberapa ganasnya Heinrich ketika di atas ranjang! Ucap Seraphina dalam hati yang melupakan hal itu.

Beberapa saat kemudian, mereka menutup pintu kamar. Malam berlalu dengan penuh gairah. Liliana menyerahkan dirinya dalam pelukan Heinrich, merasakan setiap sentuhan dan kecupan yang membakar tubuhnya. Desahan lembut, erangan tertahan, dan kehangatan yang melingkupi mereka berdua memenuhi kamar itu. Liliana menggenggam erat tangan Heinrich, merasakan debaran jantung mereka yang berpadu seiring gerakan yang semakin menyatu.

Di luar kamar, Seraphina yang mendengar kegaduhan dari dalam hanya tersenyum tipis. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya berbinar penuh kepuasan. Dengan suara pelan, ia bergumam, “Jangan kasih kendor, Liliana… Kau pasti bisa bertahan dari gempuran Heinrich yang ganas itu.”

Ia terkekeh kecil, membiarkan kenangan lama mengalir kembali ke dalam benaknya. Malam-malam penuh gairah yang pernah ia lalui bersama Heinrich, saat di mana ia kehilangan dirinya dalam lautan cinta dan hasrat yang menyatukan mereka.

Dan malam ini… giliran Liliana yang merasakannya.

Keesokan paginya, Liliana keluar dari kamar lebih dulu. Langkahnya sedikit goyah, wajahnya terlihat lelah, tetapi di sudut bibirnya masih tersisa senyum tipis. Seraphina yang sedang menggendong Anastasia langsung menyambutnya dengan tatapan penuh arti.

“Bagaimana?” tanya Seraphina dengan nada menggoda. “Apa semalam sukses?”

Liliana mendesah panjang, duduk di sebelahnya dengan tubuh lemas. “Hah… Heinrich menggempurku tanpa ampun.” Ia memijat pelipisnya, mengingat kejadian semalam yang masih terasa di tubuhnya.

Seraphina tertawa kecil. “Itu tidak buruk, kau tahu?” Ia mengayun-ayunkan Anastasia pelan, lalu menatap Liliana dengan tatapan jahil. “Setidaknya tubuhmu lebih tinggi dariku. Dulu, karena tubuhku kecil, Heinrich menggempurku seperti orang gila yang kesurupan.” Ia menggeleng-geleng sambil terkekeh. “Kakiku bahkan tidak menyentuh lantai.”

Liliana menutup wajahnya dengan kedua tangan, tak tahu harus tertawa atau malu. “Kau benar-benar…”

“Tentu saja.” Seraphina tersenyum puas. “Aku hanya berbagi pengalaman, kau tahu?”

Mereka tertawa bersama, menghabiskan pagi itu dengan obrolan ringan sebelum akhirnya Heinrich keluar dari kamar, terlihat segar dan bersemangat. Ia menghampiri mereka dan menatap Liliana dengan penuh kasih, lalu mengusap lembut kepala Anastasia di pelukan Seraphina.

“Sudah waktunya kami pergi,” ujar Heinrich.

Seraphina mengangguk, meskipun ada sedikit kesedihan di matanya. Ia menatap Liliana dan Heinrich bergantian, lalu tersenyum. “Hati-hati di perjalanan.”

Liliana menggenggam tangan Seraphina dengan erat. “Terima kasih… untuk segalanya.”

Seraphina mengangguk kecil. “Aku hanya ingin kau merasakan kebahagiaan yang sama.”

Setelah berpamitan, Heinrich, Liliana, dan para pengawal mereka meninggalkan desa. Seraphina menatap punggung mereka yang semakin menjauh, lalu menunduk menatap Anastasia yang masih tertidur pulas.

“Suatu hari nanti…” gumamnya pelan. “Kita akan berkumpul kembali.”

Setahun kemudian, doa itu terkabul.

Di dalam kediaman Viscount, tangis bayi memenuhi udara. Liliana terbaring di tempat tidur dengan wajah lelah, tetapi matanya berbinar saat menatap bayi yang baru lahir dalam pelukannya.

Heinrich berdiri di sampingnya, wajahnya penuh kebanggaan. “Dia laki-laki…” bisiknya.

Liliana tersenyum. “August…” ucapnya pelan.

"August... August von Siegfried." Ucap Heinrich menggenggam tangan Liliana dengan erat. Di dalam hatinya, ia bersumpah akan melindungi keluarga yang telah ia bangun dengan penuh perjuangan.

Dan dengan kelahiran August, babak baru bagi keluarga mereka pun dimulai.

Lima tahun berlalu sejak hari itu. Heinrich berhasil mewujudkan janjinya. Dengan kegigihannya, ia menghapus aturan kuno yang membeda-bedakan ras. Meskipun membutuhkan waktu bertahun-tahun, Heinrich berhasil mengubah pemikiran kolot dewan bangsawan menjadi lebih adil.

Kini, Drachenburg dikenal sebagai Kota Kebebasan. Tempat di mana perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan.

Tidak ada lagi perbudakan, hanya ada persahabatan. Sebuah kota kecil yang sangat damai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!